Situs cagar budaya Gua Kongbeng di Kabupaten Kutai Timur (aset: ist)

Asal-Usul Nama dan Patung di Gua Kongbeng Kabupaten Kutai Timur

Penulis : Redaksi
7 November 2024
Font +
Font -

KUTIM — Tahukah Anda asal-usul nama Gua Kongbeng di Kutai Timur? Berikut ini katakaltim akan memaparkan sejarah singkatnya menurut versi tertentu sebagaimana yang dikutip dari karya berjudul “Serpihan Cerita Rakyat Kalimantan Timur” terbitan Kemendikbud RI.


Konon nama penyematan nama Kongbeng setelah seorang pangeran dari Kerajaan Cina mendapat malapetaka saat ia berkunjung ke gua itu. Pangeran Cina itu bernama Lo Kong Beng.

Ia datang dari tanah Cina untuk melihat bekas Kerajaan Pantun dan rakyatnya yang menjadi batu. Di sekitar gua itu terdapat danau yang besar dan dalam airnya. Di sana mengalir sebuah sungai yang bernama Puan Cepak bermuara ke Muara Kaman.

Melalui sungai dan danau itu si pangeran dari Cina berlayar menuju gua tempat manusia yang menjadi patung batu itu. Setelah beberapa lamanya berlayar, sampailah wangkang Cina itu ke dekat gua.

Ketika hari mulai petang, wangkang pangeran Cina itu melabuhkan jangkarnya dan bermalam di dekat gua. Mereka berencana esok hari barulah mereka naik ke darat dan masuk dalam gua itu memeriksa patung-patung tersebut.

Cuaca pada malam itu sangat indah, langit bersih tiada berawan, bulan purnama tampak terbit di kaki Iangit di pinggir danau yang maha luas. Sang pangeran petualang itu duduk santai di atas geladak wangkang-nya dikelilingi oleh para pengiringnya.

Mereka sedang asyik bercerita tentang tanah leluhurnya, kejayaan tanah air, dan kepahlawanan para nenek moyang mereka mempersatukan tanah Cina.

Air danau yang membiru tiada bertepi malam itu tenang tiada berombak, berkilau-kilauan terkena sinar bulan pumama. Sang Pangeran tampaknya sangat gembira karena membayangkan keesokan hari niat mereka melihat manusia yang menjadi batu dalam gua dekat danau itu dapat terwujud.

Selama ini, ia hanya mendengar dongeng peristiwa itu di tanah Cina. Sekarang ia berharap akan dapat berbangga, sebab ia orang yang pertama melihat kebenaran cerita itu dan akan menceritakan di tanah Cina nanti tentang keberhasilannya.

Ketika ia mengkhayal dikelilingi oleh para pengikutnya, malam semakin larut. Karena Ielah, pangeran tertidur dan sebagian dari awak perahu masih terjaga karena secara bergiliran, mereka berjaga-jaga malam itu.

Setelah lewat tengah malam, cuaca cerah tiba-tiba menjadi kelam berkabut. Angin bertiup kencang. Danau yang tadinya tenang bergelombang setinggi gunung. Sang pangeran dari Cina itu mati tenggelam dengan sebagian anak perahunya.

Sebagian awak Cina yang selamat berjalanlah mengembara di sekitar danau dan mencari tempat atau kampung yang didiami oleh manusia. Mereka menceritakan tentang kejadian yang mengerikan ketika kapal wangkang mereka tenggelam dan mereka mengatakan bahwa punggawa mereka bernama Lo Kong Beng. Sejak itulah daerah tempat kejadian itu disebut Kombeng.

Patung di Gua Kongbeng

Dahulu, sebelum berdirinya Kerajaan Mulawarman Nala Dewa, di udik Sungai Mahakam, tepatnya di dekat Muara Wahau, telah berdiri Kerajaan Pantun. Di sana mengalir Sungai Pantun yang berhulu di daerah gua Kongbeng. Di daerah itu tanahnya subur dan penduduknya makmur.

Di dekat gua Kongbeng itu tinggal lah seorang petani miskin. Saking miskinnya, suami istri itu hanya mempunyai selembar sarung yang dipakai secara bergantian.

Pada suatu hari sang suami berkata kepada istrinya, “Istriku yang kucintai, hari ini kanda mencoba mencari rezeki pergi berburu. Mudah-mudahan, dengan karunia Tuhan Yang Maha Pencipta, kita akan mendapat binatang perburuan dan jika ada kelebihan daging kita tukarkan untuk mengganti sarong kita yang sudah burok ini."

"Baiklah, adinda berdoa moga-moga keinginan Kanda itu bisa terkabul," jawab istrinya.

Penduduk yang mendiami lamin besar hidup makmur dan berkecukupan. Mereka sanggup mengadakan pesta. Tahun ini mereka mengadakan pesta erau besar-besaran, selama empat puluh hari empat puluh malam, karena panen penduduk lamin melimpah jauh melebihi dari keperluan mereka untuk setahun.

Setiap ada erau, tidak ada seorang penduduk pun yang tinggal betah diam di rumah. Semua pasti pergi ke pesta erau. Sudah hampir seminggu orang berpesta pora di lamin dan selama itu pula si istri miskin merasa gundah karena tidak dapat melihat keramaian itu.

Kemauan si istri sangat kuat untuk melihat erau. Ia teringat pohon bambu yang ditanam suaminya di dekat pondok. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia pergi menebang pohon bambu yang muda, dibelah-belahnya batang bambu muda itu kecil-kecil. Kulitnya yang keras dibuangnya, lalu dirautnya tipis-tipis.

Kemudian, batang-batang bambu dianyam menjadi penutup badan pengganti sarung. Bagian atas diikatnya dengan tali, kemudian dikelilingkan ke pinggang seperti memakai sarung.

Ia merasa gembira karena bambu yang menyerupai sarung itu dapat menutup auratnya, walaupun hanya bagian depan saja dan bagian paha belakang masih kelihatan, dan segera pergi ke tempat erau.

Pada sore hari pergilah ia ke erau. Ia langsung menari bersama-sama dengan warga. Mereka tertawa bersama. Sebagian dari mereka bukannya tertawa gembira, melainkan tertawa mengejek melihat anyaman bambu yang dikenakan oleh sang wanita miskin.

Sang suami yang berburu akhirnya mendapat seekor binatang buhis yang besar dan sedikit sagu pohon nangak. Tidak lama kemudian ia pun kembali ke pondoknya.

Sesampai di pondok ia kaget. Ia tidak menemukan istrinya di pondok. Ia berkata di dalam hati, bagaimana istrinya dapat pergi dari pondok padahal sarung mereka hanya selembar dan dipakainya pergi berburu. Apakah istrinya pergi dalam keadaan telanjang? Tidak mungkin.

Bermacam-macam omelan dan cemoohan orang ramai yang sedang berpesta pora itu terus ditujukan pada si istri. Adapun si istri petani miskin itu berdiam diri saja mendengar ejekan dan hinaan orang banyak. Ia sangat sedih hatinya menerima penghinaan dan ejekan orang lamin itu.

Mereka sedang mabuk berpesta pora. Mereka lupa bahwa perbuatan mengejek dan menghina sesama manusia di keramaian apalagi pesta syukuran erau adalah tuhing besar.

Si istri pulang dan bercerita kepada suaminya. Petani miskin itu merasa bahwa perbuatan orang-orang lamin itu sudah keterlaluan dan melampaui batas. Sang suami memutuskan untuk memotong ekor kera buhis lalu diasapinya di atas pedupaan.

Kemudian ia menaruh jerangan dan kemenyan. Setelah itu ia ber-sawai atau membaca mantra dan memohon kepada para dewa dan Sang Hyang.

Sesudah ia merasa cukup membaca doa, pergilah ia mendatangi lamin pada waktu dini hari. Ketika itu orang-orang lamin sedang tertidur nyenyak karena sudah beberapa hari mereka terus-menerus melakukan erau, siang dan malam.

Perlahan-lahan petani miskin itu mendatangi gendang panjang dekat tiang agung lamin. Setelah ia berada di dekat gendang panjang itu, ia memejamkan mata, meminta kepada Sang Hyang Dewata Raya keadilan.

Dipukulnya gendang panjang dekat tiang agung itu dengan ekor kera buhis. Begitu gendang berbunyi, guruh dan guntur berbunyi dengan hebatnya, udara menjadi kelam, petir dan kilat menyambar-nyambar, angin bertiup dengan kencangnya. Seluruh pen duduk lamin terbangun.

Semua menjadi panik dan berlari tunggang-langgang menuju tangga behek berebut-rebutan turun ke tanah. Wanita dan anak-anak menangis meraung-raung, anak-anak dara menjerit-jerit ketakutan.

Tiba-tiba terdengar petir tunggal dengan suara keras, yang menyebabkan manusia dan binatang menjadi tuli. Cuaca yang gelap gulita menjadi cerah kembali, tetapi semua penduduk lamin dengan segala isinya serta binatang piaraan sudah berubah menjadi batu.

Sang Hyang Dewata Raya telah berjanji akan memberikan kutukan jika ada yang melanggar tuhing besar, yaitu memukul gendang panjang dengan ekor kera buhis.

Dewa-dewa yang bertugas memelihara kedamaian, ketentraman, dan kasih sayang juga akan menjadi murka apabila pesta erau sebagai ajang bersyukur disalahgunakan untuk sekedar berpesta pora, bermabuk-mabukan, bermegah-megahan, dan melakukan penghinaan terhadap sesama manusia.

Mereka yang durhaka dan melanggar tuhing besar itu akan dikutuk menjadi batu. Orang-orang lamin akhirnya dikutuk menjadi batu. (*)

Font +
Font -