Payload Logo
DPRD Kutim
Hutan Kalimantan Timur
Dilihat 746 kali

Hutan Kalimantan Timur (Dok: kolase/istimewa)

Cacat Pikir Gubernur Kaltim, Antara Kerusakan Lingkungan dan Analogi Air Kencing

Penulis: Agu | Editor:
9 Desember 2025

KALTIM — Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) seringkali menyembulkan pernyataan yang jangankan masuk di akal, dengkul pun sulit menerimanya.

Salah satu contoh paling rusak dari logika atau pikiran politisi Golkar itu adalah berkaitan dengan kerusakan lingkungan. Tapi, semoga saja dia sedang dalam keadaan khilaf.

Pada 9 Desember 2025 ketika awak media menemuinya di Kota Samarinda, Gubernur Kaltim menanggapi pernyataan pewarta ihwal hutan dan kerusakan lingkungan.

Rudy Mas’ud

Dia tanpa ragu-ragu mengeluarkan argumentasi atau pendapat melalui logika perbandingan antara jumlah luasan pembalakan hutan dan jumlah luasan hutan di Kaltim.

Katanya luasan hutan di Kaltim mencapai 8,5 juta hektar. Sementara kerusakan atau hutan yang sudah dibabat mencapai 40 sampai 60 ribu hektar.

Terhadap omongannya itu, Gubernur tampaknya ingin meyakinkan masyarakat bahwa sebenarnya kenyataan tersebut bukanlah sebuah masalah yang perlu dibesar-besarkan.

Alasannya jelas, hanya sekian persen saja hutan yang dibabat dari jumlah luasan hutan di kawasan dengan julukan Benua Etam ini.

“Itu cuma 0,0 sekian persen. Tapi bukan berarti deforestasi itu dibolehkan. (Itu) tidak boleh!,” tegas Gubernur meyakinkan awak media bahwa dia tidak mendukung adanya pembalakan hutan.

Ucapan Gubernur Keliru

Sebelum menunjukkan ketidaketisan logika Gubernur Kaltim, sebaiknya lebih dahulu harus diluruskan pernyataan dia soal jumlah luasan hutan di Kaltim.

Berdasarkan penelusuran redaksi di Keputusan Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 397 Tahun 2025 tanggal 17 Juli 2025, Kawasan Hutan Kaltim seluas + 8.151.056 hektar, bukan 8,5 juta hektar. Gubernur salah menyampaikan informasi.

Adapun rincian 8,1 juta hektar tersebut menurut fungsi dan luasnya antara lain Kawasan Konservasi (Kawasan Suaka Alam (KSA) atau Kawasan Pelestarian Alam (KPA) seluas + 460.377 hektar. Lalu Kawasan Hutan Lindung (HL) + 1.748.792 hektar

Kemudian Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) + 2.920.146 hektar. Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) + 2.943.554 hektar. Dan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) + 78.187 hektar

Berdasarkan data monitoring Provinsi Kalimantan Timur terdapat Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang eksisting sebanyak 108 Unit dengan luas total 5.056.657 hektar

Mencermati SK Menhut tersebut sudah ditetapkan Peta Arahan Pemanfaatan Hutan (PAPH) untuk perizinan berusaha pemanfaatan hutan tahun 2025 seluas ± 2.494.069 hektar.

Peta arahan ini sebagai dasar pemberian PBPH pada hutan lindung dan hutan produksi, menjadi acuan Gubernur memberi rekomendasi, serta kemudahan bagi investor untuk memperoleh lokasi yang dapat diberikan PBPH.

Rusaknya Logika Gubernur Kaltim

Kerusakan logika Gubernur Kaltim itu sangat jelas. Pikiran sederhana akan memahaminya. Saat dia mencampur-baurkan antara logika universal (umum) dan logika partikular (bagian) yang tidak pada tempatnya.

Logika universal Gubernur Kaltim tampak dari pernyataannya tentang luas hutan di Kaltim sebanyak 8,5 juta hektar (walaupun data dia sudah salah, tapi pakai saja). Itu secara keseluruhan.

Kemudian, pikirannya bergerak cepat untuk melakukan perbandingan dengan menggunakan logika partikular (bagian/spesifik).

Bahwa dari sekian juta hektar hutan yang terhampar di Bumi Etam, hanya sekitar 40 hingga 60 ribu hektar saja yang dibabat. (44 ribu data 2024).

Analogi Air Kencing

Berdasarkan analisa bahasa (hermeneutika), Gubernur ingin menyampai-analogikan bahwa air jernih sebanyak 1 kolam tidak akan berubah menjadi najis apabila tersentuh oleh setetes air kencing.

Padahal, analogi “Air Kencing” dan “Kerusakan Lingkungan” betul-betul jauh berbeda. Sangat jelas berbeda. Artinya, logika Gubernur Kaltim itu hanya dapat diterapkan pada Air Kencing yang masuk ke dalam kolam.

Penjelasannya, setetes air kencing yang jatuh ke dalam kolam tidak membuat air kolam itu seketika menjadi najis. Bahkan, air kolam tidak akan najis sebagian, dan tidak akan najis pula secara keseluruhan.

Berbeda dengan pembabatan hutan. Pun dalam perbandingan tertentu hanya mencapai sekitar 40 hingga 60 ribu hektar—0,6 hingga 0,8 persen dari luasan hutan Kaltim—tetap saja bahwa pembabatan hutan adalah pembabatan hutan.

Kerusakan lingkungan yang terjadi di Papua misalnya, juga tidak begitu signifikan persentasenya ketimbang jumlah hutan yang ada di Indonesia dengan luas 125,76 juta hektar menurut data KLHK.

Lantas, apakah benar secara etis Gubernur Kaltim membandingkan antara pembabatan dan kerusakan hutan sebanyak 60 ribu hektar dengan luasan hutan sebanyak 8,1 juta hektar di Kaltim? Jawabannya sangat jelas: tidak etis!

Atau, dalam contoh lain, bobroknya tatanan sosial di salah satu wilayah di sebuah kota, tidak menjadikan kota itu secara keseluruhan adalah kota yang bobrok.

Pun demikian, tidak bobroknya kota secara keseluruhan, tidak menjadikan salah satu wilayah yang bobrok itu adalah wilayah yang tidak bobrok.

Pada intinya, supaya lebih jelas dan paham, pengrusakan lingkungan yang terjadi di salah satu wilayah Kaltim, tidak menjadikan seluruh wilayah Kaltim itu rusak. Tetapi faktanya jelas sekali ada wilayah yang rusak, tercemari.

Berbeda dengan—kembali lagi ke air kencing—bahwa meskipun air kencing masuk dan bercampur baur ke dalam kolam, tetap saja tidak menjadikan sebagian pun dari air di dalam kolam itu adalah air dengan status najis.

Akan tetapi, jika menelisik lebih jauh, dalam sudut pandang logika komprehensif dan paragimatik, alam ini sebenarnya adalah bentangan yang satu dalam kesatuan.

Kejadian bencana di Sumatera, menggerakkan Pemerintahan Kaltim untuk turun membantu. Menggerakkan rakyat Kaltim untuk mengumpulkan donasi.

Atau, contoh lainnya, kesalahan kebijakan pemerintah di suatu kota, tentu saja jelas akan berdampak pada kehidupan rakyat. Sebab pemimpin, rakyat dan kota adalah satu kesatuan.

Dengan contoh sederhana ini, benar lah bahwa dalam hal tertentu kata Gubernur Kaltim tidak boleh ada deforestasi. Sebab itu akan merusak tatanan alam, yang pada gilirannya merusak tatanan masyarakat.

Kecuali jika Gubernur Kaltim melihat alam ini secara terpisah satu dengan yang lainnya. Atau Gubernur Kaltim memandang bahwa alam dan manusia ini benar-benar terpisah? Namun semoga Gubernur Kaltim sedang khilaf saat mengeluarkan bahasa itu.

Tapi pak Gubernur! Anda pasti paham dan rasakan bahwa jika kepala sedang sakit, akan berpengaruh terhadap kinerja pikiran dan tubuh.

Kondisi Hutan di Indonesia

Sebagai tambahan informasi untuk sidang pembaca budiman, Indonesia punya bentangan hutan sangat luas, mulai dari Sumatera hingga Papua. Bentangan hutan Indonesia ini menjadi salah satu hutan terbesar di dunia.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hutan Indonesia meliputi daratan seluas 125,76 hektar atau setara dengan 62,97 persen dari total luas daratan Indonesia.

Sementara itu, data Badan Informasi Geospasial (BIG) tahun 2023 menyebut luas hutan Indonesia mencapai 102,53 juta hektar. Sebagian besarnya di Pulau Papua, yakni 33,12 juta hektar atau sekitar 32,2 persen dari total luas tutupan hutan Indonesia.

Hutan terluas kedua ada di Kalimantan, mencapai 31,10 juta hektar (30,3 persen), Sumatera 16,01 juta ha (15,6 persen), dan Sulawesi 10,86 juta ha (10,6 persen).

Kemudian Maluku 6,37 juta ha (6,2 persen), Jawa 2,77 juta ha (2,7 persen), dan Bali-Nusa Tenggara 2,3 juta ha (2,2 persen).

Luas keseluruhan hutan di Indonesia ini hanya bisa ditandingi oleh Negara Brasil dan Republik Demokrasi Kongo.

Mengutip FWI, sebagian besar hutan Indonesia adalah hutan hujan tropis yang tersebar di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Ini merupakan 10 persen dari hutan tropis yang tersisa di dunia.

Hutan tropis menjadi habitat flora dan fauna dengan keanekaragamannya yang luar biasa tinggi.

Indonesia punya 10 persen dari total spesies tumbuhan dunia, 12 persen mamalia, 16 persen reptil dan amfibi, serta 17 persen burung.

Sebagian besar spesies tersebut dapat ditemukan di hutan-hutan Indonesia. (Agu)