Payload Logo
p-927720251125190057128.jpg
Dilihat 378 kali

Ketua Yayasan RASI, Danielle Kreb (kiri) saat mengevakuasi Pesut Mahakam yang terluka (dok: RASI)||||||

Dari Amsterdam ke Bumi Etam, 3 Dekade Danielle Kreb Menjaga Pesut Mahakam dari Ambang Kepunahan

Penulis: Ali | Editor: Agu
6 Oktober 2025

SAMARINDA — Hampir tiga puluh tahun terakhir, perjuangan menyelamatkan pesut Mahakam tak bisa dilepaskan dari satu sosok perempuan asal Belanda, Danielle Kreb.

Namanya kini melekat erat dengan upaya pelestarian satwa endemik Kalimantan Timur (Kaltim) yang kian kritis.

Warga setempat bahkan mengenalnya dengan panggilan penuh kasih, Ibu Pesut Mahakam.

Sejak tahun 1997, Danielle menetap di Kaltim dan kini memimpin program ilmiah di Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI).

Bersama suaminya, Budiono, yang juga menjabat Direktur RASI, keduanya mendedikasikan hidup untuk penelitian, edukasi, serta aksi konservasi demi menyelamatkan populasi pesut yang tersisa di Sungai Mahakam.

"Pertama kali saya lihat pesut di Muara Kaman tahun 1997. Rasanya kagum sekali, karena biasanya lumba-lumba hanya hidup di laut, tapi ternyata bisa juga hidup di sungai. Dari situ saya merasa harus meneliti lebih dalam," ujar Danielle saat ditemui di kediamannya, Sabtu (4/10/2025).

Dari Amsterdam ke Bumi Etam

Perjalanan panjang Danielle dimulai dari ruang kuliah Universitas Amsterdam. Niat awalnya adalah meneliti lumba-lumba sungai di Cina. Namun, rencana itu tak kesampaian karena populasi di sana telah punah.

Ia kemudian sempat meneliti kucing hutan di Skotlandia sebelum akhirnya mendapat kabar dari seorang rekan bahwa Indonesia memiliki lumba-lumba air tawar di Sungai Mahakam.

"Saya dikasih tahu ada lumba-lumba sungai juga di Mahakam. Saat itu informasinya sangat sedikit. Saya lalu bergabung dengan survei BKSDA, bikin proposal singkat, akhirnya diizinkan berangkat ke Kalimantan," kenangnya.

Setibanya di Bumi Etam pada 1997, Danielle langsung jatuh hati pada Mahakam. Sungai besar itu bukan hanya tempat penelitian, tetapi juga menjadi bagian dari hidupnya hingga kini.

Ancaman Rengge dan Kematian Pesut

Dalam riset-risetnya, Danielle menemukan fakta mencemaskan: pesut Mahakam banyak mati karena terperangkap jaring insang atau rengge milik nelayan.

"Bukan sengaja ditangkap, tapi mereka terjerat lalu tenggelam. Itu penyebab terbesar kematian pesut," jelasnya.

Data Yayasan RASI mencatat, rata-rata 2–4 ekor pesut mati setiap tahun sejak 1995 hingga 2022. Dari angka itu, sekitar 70 persen akibat rengge, 9 persen tertabrak kapal, dan 7 persen karena racun atau limbah.

Sadar bahwa penelitian saja tak cukup, Danielle mulai menggandeng masyarakat agar ikut terlibat menjaga kelestarian pesut.

Lahirnya Yayasan RASI

Pada tahun 2000, Danielle bersama Budiono mendirikan Yayasan RASI, yang kini dikenal sebagai garda depan konservasi pesut Mahakam.

"Kalau hanya mengandalkan pemerintah, kami merasa masih kurang dekat dengan masyarakat. Jadi, kami bentuk LSM supaya bisa langsung turun ke warga," kata Danielle.

RASI menerapkan pendekatan berbeda, masyarakat sendiri yang menentukan zona konservasi. Dengan cara ini, warga merasa lebih memiliki dan ikut menjaga kawasan tersebut.

"Kami hanya mendampingi, tapi keputusan tetap dari masyarakat. Itu membuat mereka lebih merasa memiliki," lanjutnya.

Inovasi “Pinger”, Penyelamat dari Jaring Nelayan

Selain melakukan edukasi, Danielle dan tim RASI juga menciptakan inovasi teknologi sederhana namun berdampak besar, "pinger". Alat ini menghasilkan suara ultrasonik yang membuat pesut menjauh dari jaring nelayan.

"Inspirasi pinger ini sebenarnya dari industri perminyakan di laut. Mereka memakainya untuk menjauhkan lumba-lumba dari area pengeboran. Kami coba adaptasi di Mahakam," ungkapnya.

Meski alat ini membantu menekan risiko terjeratnya pesut, ancaman lain terus bermunculan.

Lalu lintas kapal batu bara, pencemaran air, dan praktik illegal fishing (pemancingan ilegal) yang masih marak di perairan Mahakam.

Hidup dan Cinta di Tanah Borneo

Di balik dedikasinya, perjalanan hidup Danielle di Indonesia penuh cerita menarik. Ia sempat khawatir akan sulit diterima masyarakat karena latar belakang sejarah kolonial antara Indonesia dan Belanda. Namun, yang ia temukan justru sebaliknya.

"Orang Kalimantan sangat ramah. Bahkan ada yang masih bisa bahasa Belanda dan mengajak saya bicara. Saya justru merasa disambut dengan hangat," katanya.

Belajar bahasa Indonesia juga menjadi tantangan tersendiri baginya. Berbekal kamus dan CD, ia belajar selama satu setengah bulan sebelum berangkat ke Kalimantan.

"Awal-awalnya otak capek sekali karena harus memproses bahasa baru, tapi lama-lama bisa," tuturnya sambil tertawa.

Tak hanya soal kerja, Indonesia juga menjadi tempat ia menemukan cinta. Danielle bertemu Budiono saat penelitian tahun 2000, dan mereka menikah setahun kemudian.

Kini, pasangan itu dikaruniai seorang putri yang juga tumbuh dekat dengan alam.

"Kami memang berbagi tugas. Saya lebih fokus riset, sementara Pak Budi lebih ke penguatan masyarakat. Tapi semua untuk pesut," ujarnya.

Populasi Menyusut, Harapan Tetap Menyala

Meski perjuangan konservasi sudah berlangsung puluhan tahun, tantangan terbesar masih membayangi, populasi pesut Mahakam yang kian menurun.

Data terakhir pada 2025 menunjukkan hanya sekitar 60 ekor yang tersisa di perairan Sungai Mahakam.

"Kami sadar LSM saja tidak cukup. Harus ada dukungan kuat dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan terutama masyarakat. Kalau tidak, dalam beberapa dekade ke depan, pesut bisa hilang dari Mahakam," tegas Danielle.

Setengah hidupnya telah ia abdikan untuk menjaga keberlangsungan spesies yang kini nyaris punah itu. Namun bagi Danielle, semua kerja kerasnya bukan tentang popularitas atau pengakuan.

"Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melindungi mereka? Saya selalu percaya, pesut masih punya harapan kalau kita semua peduli," pungkas perempuan paruh baya yang dijuluki Ibu Pesut Mahakam itu. (*)