Rektorat Universitas Mulawarman, di Kota Samarinda, Kalimantan Timur (dok: @bemkm_unmul)

Dosen Fakultas Hukum Unmul Nilai Revisi UU Minerba Hilangkan Kritisisme Akademika

Penulis : Galang
 | Editor : Agung
29 January 2025
Font +
Font -

SAMARINDA — Akademisi Universitas Mulawarman (Unmul), Orin Gusta Andini, kritisi kebijakan pemerintah dalam revisi Undang-undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) soal kampus dapat mengelola konsesi pertambangan.

Dosen Fakultas Hukum itu menilai kebijakan tersebut cenderung menghadang kritisisme kampus yang selama ini berada di garis depan menentang kebijakan ihwal kerusakan lingkungan.

"Selama ini pengelola sumber daya alam kan sering berhadap-hadapan dengan kampus, saya kira itu upaya untuk membujuk rayu perguruan tinggi ya," ucapnya kepada katakaltim, Selasa 28 Januari 2025.

Baca Juga: Hasbar, Analis Kebijakan Ahli Muda di Bidang Pemberdayaan Pemuda Dispora Kaltim. (aset:puji/katakaltim)Dispora Kaltim Salurkan Bantuan Laptop dan Printer untuk Karang Taruna

Orin menjelaskan, kampus memiliki tugas yang mulia untuk memproduksi ilmu pengetahuan. Jika kampus ikut mengelola pertambangan, maka ini akan membuat corong para akademikus melenceng dari orientasinya.

Baca Juga: Ilustrasi pertambangan batubara. Saat ini Jatam menyampaikan penolakannya terhadap revisi UU Mineral dan Batubara (dok: canva/katakaltim)Jaringan Advokasi Tambang Mengecam Keras Revisi UU Mineral dan Batubara

"Kalau kampus mengelola tambang, itu bukan orientasi kampus, kampus kan PT ya, Perguruan Tinggi, bukan Perseroan Terbatas. Jadi tugasnya memproduksi ilmu pengetahuan," terangnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia, Didin Muhafidin, beralasan bahwa biaya kuliah dapat diringankan jika kampus mengelola tambang, daripada harus menarik pembayaran besar dari mahasiswa.

Menanggapi itu, Orin mengatakan ada banyak sektor lain yang lebih ramah lingkungan dan lebih minim potensi konflik yang dapat dimanfaatkan.

"Kalau untuk meringankan biaya pendidikan karena ada profit dari situ, kan ada banyak sektor lain," ujar dia.

Belum lagi, efek pengelolaan tambang tidak sejalan dengan orientasi kampus sebagai laboratorium ilmu, justru hanya akan menyeret kampus ke dalam konflik kepentingan.

"Efeknya untuk kampus apa? Kampus malah akan terseret ke dalam konflik kepentingan, soal UKT, saya kira itu klise saja," tukas Orin.

Menurut dia, masalah keringanan pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) merupakan tanggung jawab negara.

Kampus adalah institusi yang harus independen, menjaga marwahnya sesuai dengan Tri Darma Perguruan Tinggi.

Kampus harus selalu hadir ketika ada kebijakan yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat.

Jika kampus ikut dalam mengelola pertambangan, siapa lagi yang akan mengawal kebijakan pemerintah dengan kacamata objektif.

"Kalau selama ini apa yang dikritisi soal keselamatan SDA, belum lagi korupsi yang rentan dalam pengelolaan SDA. Kemudian kita ikut terlibat di dalamnya, maka siapa lagi yang akan memberikan kritikan objektif terhadap itu?,” cecarnya.

Tanggapan Jatam

Sebelumnya, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan rencana revisi UU Minerba yang keempat kalinya ini dilakukan secara mendadak melalui rapat pleno yang digelar secara tiba-tiba pada Senin, 20 Januari 2025.

Berbagai media massa menyebutkan Baleg DPR mengebut proses revisi dan mengambil keputusan pada pukul 19.00 WIB. Proses revisi ini jauh dari kata transparan dan dilakukan secara serampangan.

Pihak Jatam mengatakan, selain tak melibatkan partisipasi publik, agenda revisi UU Minerba tersebut tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2025.

Setelah dicermati, setidaknya terdapat sejumlah poin krusial dalam naskah revisi UU Minerba, antara lain:

1. Prioritas pemberian IUP dengan luas kurang dari 2.500 hektar ke UMKM;
2. Memberikan dasar hukum pemberian WIUP kepada organisasi kemasyarakatan keagamaan;
3. Memprioritaskan pemberian WIUP kepada perguruan tinggi;
4. Memprioritaskan pemberian WIUP dalam rangka hilirisasi;
5. Pengelolaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) oleh menteri tanpa disebutkan secara jelas kementerian yang berwenang.

Modus Gerombolan Sirkus Parlemen dan Istana

Revisi UU Minerba yang keempat kalinya ini tak dapat dibaca secara parsial hanya sebagai langkah untuk mengeksekusi 2 putusan Mahkamah Konstitusi semata.

Jatam menambahkan, tindakan gerombolan politikus di parlemen tersebut harus dimaknai sebagai upaya membancak kekayaan alam, terutama mineral tambang secara berjamaah, sistematis, dan seolah-olah legal.

“Pembancakan kekayaan alam itu tak terlepas dari latar belakang dan kepentingan elit politik istana dan parlemen yang mayoritas di antaranya datang dari latar belakang pebisnis,” ungkap pihak Jatam.

Berdasarkan penelusuran ICW, komposisi anggota parlemen, misalnya, terdapat sekitar 61 persen atau 354 individu dari total 580 anggota DPR periode 2024–2029 memiliki latar belakang atau afiliasi dengan sektor bisnis.

Demikian juga dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto dan keluarganya yang juga memiliki kepentingan langsung dengan bisnis pertambangan.

Prabowo merupakan pengendali utama sejumlah perusahaan batu bara yang memiliki konsesi di Kalimantan Timur, di antaranya PT Nusantara Energy, PT Nusantara Kaltim Coal, dan PT Erabara Persada Nusantara.

Sedangkan adik kandungnya, Hashim Djojohadikusumo merupakan pengendali utama Arsari Group yang memiliki lebih dari dua konsesi tambang timah di Bangka Belitung dan baru saja membeli saham PT Tambang Mas Sangihe (Baru Gold), yang menambang emas di pulau kecil Sangihe.

Selain itu, Kabinet Merah Putih besutan Prabowo juga disesaki para pebisnis di sektor industri ekstraktif.

Berdasarkan catatan JATAM, setidaknya 34 dari 48 menteri dalam Kabinet Merah Putih terafiliasi dengan bisnis, dan 15 di antaranya terkait dengan bisnis ekstraktif.

Termasuk Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang memiliki gurita bisnis nikel di Maluku Utara.

Persoalan lainnya, para pencoleng tersebut terkesan mendompleng pasal 33 UUD 1945 demi memoles citra semata saat memprioritaskan pemberian WIUP kepada perguruan tinggi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Dalam naskah revisi, salah satu basis argumen yang digunakan adalah mineral dan batu bara merupakan kekayaan alam yang harus dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Kedua entitas tersebut akan menyusul ormas keagamaan yang sudah diberi karpet merah oleh bekas presiden Jokowi untuk mendapatkan jatah konsesi tambang melalui Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

“Dalam naskah revisi, prioritas pemberian WIUP kepada kampus dan usaha kecil dan menengah tersebut termaktub dalam Pasal 51,” ungkap pihak Jatam.

Pemberian konsesi kepada kampus dan UMKM tersebut sekaligus menunjukkan watak gerombolan pebisnis di parlemen dan istana yang tampak memanfaatkan nama besar perguruan tinggi sebagai alat legitimasi belaka.

Ini merupakan satu bentuk pelecehan terhadap institusi perguruan tinggi yang seharusnya berpihak kepada masyarakat korban di lingkar tambang, bukan sebagai alat untuk merampok negara dan mengakumulasi daya rusak akibat usaha pertambangan.

Upaya melibatkan perguruan tinggi dalam urusan pertambangan ini juga dapat dipandang sebagai cara pemerintah 'cuci tangan' atas kesejahteraan para akademikus.

Ketidakbecusan negara (pemerintah) dalam menjamin kesejahteraan para akademikus hendak diselesaikan dengan cara culas: membiarkan kampus menghidupi dirinya sendiri dengan cara menambang.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian utama adalah usulan Pasal 141 B yang mengatur sebagian penerimaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dikelola oleh menteri, namun tanpa menyebutkan secara jelas kementerian mana yang akan mengelola.

Apabila pengelolaan PNBP jatuh kepada Kementerian ESDM, semakin terlihat jelas revisi UU Minerba ini hanya untuk bagi-bagi 'gula' dari usaha pertambangan.

Ini serupa malapetaka baru mengingat sudah ada dua dirjen dari kementerian
tersebut yang terbukti melakukan korupsi.

Alih-alih mengutamakan keselamatan rakyat dengan menghentikan operasi pertambangan yang merusak beserta hilirisasinya, revisi UU Minerba ini justru menunjukkan watak sesungguhnya dari para pengurus negara dan gerombolan pebisnis di parlemen, yang tamak dan culas.

Jatam Mengecam

Jatam berpandangan apa yang disuguhkan kepada publik dari revisi UU Minerba keempat tersebut adalah praktik sempurna dari kejahatan korupsi sistemik yang melibatkan korporat atau kepentingan swasta secara langsung dalam pengelolaan kebijakan negara.

Untuk itu, Jatam mengecam keras revisi UU Minerba tersebut, sekaligus menuntut pemerintah dan DPR RI agar hentikan seluruh proses revisi tersebut. (*)

Font +
Font -
# ePaper
Lebih Banyak >