Dibaca
18
kali
Andi Muhammad Awaluddin Alhaq (Mahasiswa Hukum Tata Negara, Universitas Mulawarman) (dok: pribadi)

Dua Revisi, Satu Arah: Menakar Dampak Revisi UU TNI dan Potensi Revisi UU Polri terhadap Demokrasi

Penulis : Awaluddin
25 March 2025
Font +
Font -

Opini penulis: Andi Muhammad Awaluddin Alhaq (Mahasiswa Hukum Tata Negara, Universitas Mulawarman)

KALTIM — Hari ini, masyarakat masih gaduh membahas revisi Undang-Undang TNI yang baru saja disahkan DPR RI. Gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat tidak menyurutkan langkah legislatif untuk meloloskan regulasi yang membuka jalan bagi semakin luasnya keterlibatan prajurit aktif dalam jabatan sipil. Namun, di tengah kegaduhan ini, ada hal lain yang patut dicermati: kemungkinan besar DPR akan segera membahas revisi Undang-Undang Polri. Hal ini bukan sekadar spekulasi, tetapi sudah masuk dalam rancangan inisiatif DPR yang pembahasannya telah dimulai sejak 2024.

Jika kita melihat pola yang ada, pembahasan revisi UU Polri setelah pengesahan revisi UU TNI tampaknya bukan kebetulan. Ada indikasi bahwa dua lembaga yang memiliki peran penting dalam keamanan nasional ini sedang dipersiapkan dengan regulasi yang memberikan mereka kewenangan lebih besar. Salah satu pasal yang patut mendapat perhatian adalah Pasal 16 ayat (1) huruf q dalam rancangan revisi UU Polri, yang menyatakan bahwa Polri berwenang melakukan penindakan, pemblokiran, pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber dengan alasan keamanan dalam negeri.

Baca Juga: Ketua Komite I DPD RI, Andi Sofyan Hasdam, saat melakukan kunjungan dapil dan konferensi pers di Kota Bontang, Minggu 23 Maret 2025 (dok: agu/katakaltim)Prediksi DPD RI Dapil Kaltim soal Revisi UU TNI

Ketentuan ini tentu mengundang banyak pertanyaan. Dalam sistem demokrasi, akses terhadap informasi dan kebebasan berekspresi adalah hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi. Jika Polri diberikan kewenangan luas untuk melakukan pemblokiran atau perlambatan akses di ruang siber tanpa batasan yang jelas, hal ini berpotensi menjadi alat kontrol yang mengancam kebebasan sipil. Ruang digital yang selama ini menjadi wadah ekspresi dan kontrol sosial terhadap pemerintah dapat dengan mudah dibatasi dengan dalih keamanan.

Baca Juga: Presiden Indonesia, Joko Widodo (foto:x/jokowi)Jokowi Resmi Naikkan Gaji TNI Polri, Berikut Besarannya...

Jika kita tarik ke konteks revisi UU TNI yang baru disahkan, ada benang merah yang dapat ditarik. Revisi UU TNI membuka ruang lebih besar bagi militer untuk masuk ke ranah sipil, sedangkan revisi UU Polri berpotensi memberikan kewenangan lebih besar bagi kepolisian dalam mengontrol ruang digital. Dengan dua perubahan regulasi ini, ada potensi pergeseran dalam tatanan demokrasi yang kita jalani. Sebab, di dalam sistem hukum yang demokratis, prinsip supremasi sipil dan kontrol terhadap aparat keamanan harus selalu dijaga agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.

Masyarakat saat ini perlu lebih aktif dalam mengawal pembahasan revisi UU Polri. Pembelajaran dari revisi UU TNI menunjukkan bahwa ketika masyarakat lengah atau hanya bersuara setelah undang-undang disahkan, ruang perlawanan menjadi semakin sempit. Oleh karena itu, penting bagi akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat umum untuk lebih proaktif dalam menyuarakan kritik dan melakukan kajian akademis terhadap setiap pasal yang berpotensi mengurangi hak-hak sipil.

Saat ini, kita bukan hanya menghadapi potensi meningkatnya keterlibatan militer dalam jabatan sipil, tetapi juga kemungkinan semakin besarnya kendali negara terhadap ruang digital. Jika kedua revisi ini berjalan tanpa pengawasan ketat dari masyarakat, kita sedang menuju situasi di mana kebebasan sipil bisa tergerus perlahan dengan legitimasi hukum.

Demokrasi bukan hanya tentang pemilu, tetapi juga tentang bagaimana hak-hak rakyat tetap terlindungi dari potensi penyalahgunaan kekuasaan. Inilah saatnya masyarakat bergerak, bukan hanya sebagai pengamat, tetapi sebagai pengawal demokrasi. (*)

Font +
Font -
# ePaper
Lebih Banyak >