Korpus FPK Ayatullah Khomeini (aset: syam/katakaltim)

FPK Nilai Bupati Berau Abai Terhadap Warga, Lebih Mesra Dengan Perusahaan

Penulis : Syam
 | Editor : Agu
26 August 2024
Font +
Font -

BERAU — Front Pemuda Kaltim (KFP) menyampaikan situasi terkini di Kabupaten Berau semakin kompleks ketika warga setempat berhadapan dengan PT. Berau Coal.


Masyarakat telah dikhianati oleh orang nomor satu Berau, yang lebih tampak mendukung perusahaan tambang daripada membela hak rakyat yang tengah menghadapi dampak aktivitas pertambangan.

Baca Juga: Paslon Bupati dan Wakil Bupati Berau Madri Pani – Agus Wahyudi (MP-AW) kampanye di Kampung Pilanjau dan Kampung Suaran, Kecamatan Sambaliung (aset: syam/katakaltim)Madri Pani dan Agus Wahyudi Sebut 24 Program Pro Rakyat Tak Hanya Janji

Untuk itu FPK pun menyoroti beberapa isu krusial, antara lain peran pemerintah daerah, penggunaan aparat, hingga hak asasi manusia.

1. Pelayanan Bupati Terhadap Masyarakat yang Diabaikan

Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Bupati memiliki tanggung jawab untuk melayani dan melindungi masyarakat.

Dalam Pasal 24 UU tersebut, disebutkan "Kepala daerah bertugas melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat."

Namun, masyarakat Berau justru merasa diabaikan oleh pemimpin daerah mereka, terutama saat berhadapan dengan PT Berau Coal yang memiliki kekuatan ekonomi besar.

Sikap bupati yang lebih banyak terlibat dalam kegiatan bersama PT Berau Coal, termasuk pemberian penghargaan kepada perusahaan, menambah kekecewaan FPK yang merasa hak-hak masyarakat sedang terancam. Malah, Bupati Berau ‘bangun kemesraan’ dengan pihak perusahaan.

Padahal, sebagai pemimpin daerah, Bupati seharusnya lebih peduli pada masalah yang dihadapi oleh warganya, seperti dampak operasi pertambangan yang berhubungan langsung dengan hidup warg.

2. Ambisi Politik Berdampak Abai Terhadap Kebutuhan Masyarakat

FPK melihat adanya indikasi bahwa Bupati lebih memfokuskan perhatiannya pada Pilkada dan usaha untuk mempertahankan kekuasaannya ketimbang menyelesaikan konflik-konflik yang dihadapi oleh masyarakat.

Pasal 28G UUD 1945 (Amandemen) menyebutkan setiap orang berhak atas perlindungan diri dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya. Namun, ketika rakyat berusaha mempertahankan tanah mereka, justru tidak mendapatkan perlindungan dari pemimpin daerah.

Ambisi politik yang terlalu dominan membuat Bupati dianggap lebih mementingkan hubungan baik dengan perusahaan seperti PT Berau Coal daripada memperjuangkan hak-hak masyarakatnya.

Sikap tersebut tentu saja membuat masyarakat merasa semakin jauh dari pemerintah daerah yang seharusnya hadir sebagai penyeimbang dan pelindung.

3. Penggunaan Aparat untuk Menghadapi Rakyat

Lebih parah lagi, FPK menduga adanya penggunaan aparat untuk menghadapi masyarakat dalam konflik dengan PT Berau Coal.

Penggunaan aparat dalam konflik-konflik masyarakat menimbulkan tanda tanya besar terkait komitmen pemerintah daerah terhadap hak asasi manusia (HAM).

Harusnya Bupati Berau menyampaikan kepada Kapolres yang bertugas untuk memperhatikan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas perlindungan dari kekerasan dan intimidasi, termasuk dalam situasi konflik dengan PT. Berau Coal.

Pasal 2 Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2020 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan kelompok rentan, khususnya dalam konflik agraria.

Menghadapi rakyat dengan kekuatan aparat justru berlawanan dengan prinsip-prinsip HAM dan hukum yang berlaku di Indonesia.

Dugaan sementara FPK melihat datangnya aparat di konflik-konflik masyarakat bersama perusahaan baik perusahaan batu bara atau perusahaan apapun itu bisa saja jadi simbol bahwa perusahaan coba mengintimidasi warta dengan menunjukkan kekuatannya secara ekonomi sehingga bisa mengirimkan aparat untuk berhadapan dengan masyarakat.

Sementara Bupati yang menjabat saat ini disibukkan dengan ambisi kekuasaannya untuk melakukan pendaftaran untuk bertarung di Pilkada 2024.

DPRD Berau pun tampaknya sudah kehilangan marwah yang dibuktikan telah memanggil PT. Berau Coal hadir ke DPRD beberapa waktu lalu, namun PT. Berau Coal tidak hadir. Kemana lagi para aktivis dan masyarakat ini mengadu?

4. Kewajiban Perusahaan terhadap Lingkungan

Selain isu sengketa lahan, FPK menyoroti perusahaan tambang yang juga memiliki kewajiban dalam menjaga lingkungan hidup.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.59/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 tentang Pemulihan Fungsi Ekosistem mewajibkan perusahaan tambang untuk melakukan pemulihan lahan pasca tambang.

Sayangnya, FPK merasa bahwa masyarakat yg terdampak oleh aktivitas pertambangan yang dirasakan tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah maupun perusahaan PT. Berau Coal.

5. Etika Seorang Pemimpin

Sikap Bipati yang lebih memprioritaskan hubungan dengan perusahaan besar seperti PT Berau Coal dan mengabaikan penderitaan warganya jelas bertentangan dengan tanggung jawab yang diatur dalam berbagai regulasi.

Pemerintah daerah seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi hak-hak rakyat, bukan menjadi sekutu perusahaan yang memiliki kepentingan ekonomi.

Masyarakat Berau berhak mendapatkan perlindungan dari negara, sesuai dengan UUD 1945, UU HAM, dan regulasi yang mengatur hak-hak Agraria. Jika Bupati terus bersikap abai, maka masyarakat harus kemana lagi.

Bupati harus segera terlibat dalam penyelesaian konflik ini membersamai front pemuda kaltim dengan PT. Berau Coal memastikan bahwa perusahaan tambang bertanggung jawab sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, serta tidak menggunakan aparat untuk mendatangin masyarakat. Bupati Berau juga perlu terlibat sesuai dengan PP No. 27 Tahun 2021, agar konflik ini bisa diselesaikan secara damai dan hak-hak rakyat dihormati. (*)

Opini FPK
Ayatullah Khomeini

Disclaimer: katakaltim.com tidak bertanggungjawab atas isi tulisan. Konten ini sepenuhnya diserahkan kepada penulis.

Font +
Font -