Ilustrasi pendidikan di Indonesia

Inspirasi Pendidikan: Anekdot Peramal dan Sang Raja

Penulis : Caca
10 January 2024
Font +
Font -

KATAKALTIM.COM - Ada sebuah dongeng yang amat terkenal, di mana seorang peramal raja mengajarkan kepada anaknya ilmu tentang meramal, dengan harapan kelak si anak dapat menggantikan kedudukannya sebagai peramal sangat raja di istana.

Dengan begitu, banyak harta dari istana yang bakal diperolehnya. Lalu, sang peramal itu mendidik anaknya dengan mengajarkan ilmu-ilmu ihwal ramalan dan tindakan-tindakan ghaib.

Kemudian, ia memperkenalkan anaknya kepada sang raja, dan memberitahukan bahwa ia telah mempersiapkan anaknya agar kelak dapat menggantikannya sebagai peramal kerajaan.

Baca Juga: Filosof berkebangsaan Persia, Murtadha Muthahhari (aset: isfdiscourse)Epistemologi Pendidikan Pandangan Murtadha Muthahhari: Pentingnya Membangun Kepribadian

Mendengar niatan sang peramal itu, raja hendak menguji kemampuan ilmu ramal yang dimiliki anak tersebut, seraya sang raja memanggilnya.

Baca Juga: Filosof berkebangsaan Persia, Murtadha Muthahhari (aset: isfdiscourse)Epistemologi Pendidikan Pandangan Murtadha Muthahhari: Pentingnya Membangun Kepribadian

Raja menggenggam sebutir telur di tangannya dan berkata kepada anak itu, "Coba kamu terka apa yang ada di dalam genggaman tangan saya ini?". Anak itu berpikir sejenak lalu menjawab, "Saya tidak tahu".

Kemudian, raja memberikan sedikit penjelasan, "Benda ini, di tengah-tengahnya berwarna kuning, sedangkan di pinggir-pinggirnya berwarna putih, maka benda apakah ini?".

Anak itu pun terdiam sejenak, kemudian menjawab, "Itu adalah sebuah adonan roti yang masih basah, yang di dalamnya terdapat mentega kuning".

Mendengar jawaban anak itu, sang Raja amat kecewa, lantas memanggil ayahnya yang peramal itu. Raja bertanya kepada peramal, "Sebenarnya ilmu apakah yang telah engkau ajarkan kepada anakmu?".

Sang peramal lalu menjawab, "Sesungguhnya saya telah ajarkan secara baik kepadanya ilmu meramal. Tetapi sayangnya dia tidak menggunakan nalarnya. Sesungguhnya sewaktu ia pertama kali menjawab pertanyaan Anda, bahwa ia tidak tahu, berarti di saat itu ia menggunakan nalarnya. Tetapi jawaban kedua kalinya menunjukkan kebodohannya lantaran tidak menggunakan nalarnya. Sangat mustahil adonan roti yang masih cair dan basah dapat digenggam."

Apa hikmah di balik ini? Ya jelas..Demikian lah juga dengan persoalan pengembangan potensi berpikir rasional dan berkreasi secara profesional dengan keahlian (skill) yang dimiliki, merupakan persoalan yang sangat penting untuk dilakukan.

Institusi-institusi maupun lembaga- lembaga yang bergerak di sektor pendidikan dan pengajaran harus benar-benar melaksanakan peran dan fungsinya.

Peran seorang pendidik tentunya tidak hanya terbatas kepada pemberian informasi dan mengajarkan kepada pelajar agar mampu menguasai ilmu. Karena hal ini hanya akan menjadikan otak para pelajar membeku sehingga tidak termotivasi agar menggunakan nalar dan kreasi mereka.

Kita melihat banyak para ulama yang telah menghabiskan waktunya guna menimba ilmu dari banyak guru.

Namun, saya pribadi belum begitu yakin akan kemampuan mereka. Kebanyakan dari mereka terkesan mengalami kemandekan (stagnancy) dalam kemampuan mengembangkan pemikirannya. Atau katakanlah bahwa mereka berpikiran jumud, tidak berkembang serta tidak kreatif.

Bahkan ada yang telah menghabiskan waktu selama 30 tahun demi menimba ilmu kepada beberapa guru (masyaikh) yang sangat alim. Adapula yang berguru kepada para ahli selama 25 tahun secara terus menerus.

Namun, sayang mereka tidak memiliki kreasi apapun. Boleh jadi karena terlalu lama dalam proses belajar secara formal sehingga menyita waktunya untuk berkreasi dan mengembangkan potensi-potensi berpikirnya.

Sisa umurnya hanya dihabiskan untuk menerima ilmu secara formal sehingga tidak ada lagi ruang dan waktu baginya untuk berkiprah dan berkreasi dengan ilmu dan potensi berpikir yang dimilikinya.

Referensi: Dasar-dasar Epistemologi Pendidikan Islam (Murtadha Muthahhari)

Font +
Font -