Redaksi katakaltim baru saja menerima unek-unek tentang pembangunan infrastruktur di wilayah Kutai Timur. Ini keresahan. Keresahan soal pemerataan. Keresahan soal minimnya perhatian pemerintah. Baca tulisan orisinal dari Pemuda Muara Ancalong di bawah ini.
Penulis: Angga Gilang Permadi, Pemuda Muara Ancalong
KUTIM — Kerusakan jalan selalu menjadi isu klasik di banyak wilayah Kutai Timur. Namun beberapa hari terakhir, perhatian publik tersedot pada protes warga Singa Geweh, Sangatta Selatan, yang menutup Jalan Pertanian dengan menanam pohon pisang di badan jalan. Aksi itu viral, diliput media, dan langsung mencuri fokus pemerintah.
Sebagai pemuda Muara Ancalong, saya justru melihat fenomena ini dengan rasa ganjil. Kerusakan di Singa Geweh sebenarnya kecil, pendek, dan relatif ringan, dibandingkan kerusakan panjang dan berat di wilayah pedalaman Kutim yang telah puluhan tahun menjadi masalah serius. Lalu mengapa justru Singa Geweh yang menjadi sorotan besar?
Sorotan Tak Seimbang dengan Skala Kerusakan
Saya tidak menafikan keluhan warga RT 26 yang sudah sejak 2023 menunggu perbaikan. Lubang-lubang di Jalan Pertanian memang mengganggu aktivitas harian. Gotong royong dilakukan agar akses tidak lumpuh total. Itu wajar.
Namun jika dibandingkan dengan jalur di pedalaman—Muara Ancalong, Busang, Batu Ampar, Long Mesangat, Karangan—yang rusaknya kilometer demi kilometer, bahkan menghentikan distribusi logistik, maka kerusakan Singa Geweh jelas bukan yang terparah.
Tetapi mengapa pemberitaannya jauh lebih besar? Pada titik ini, saya melihat ada ketimpangan sorotan, isu yang kecil bisa terlihat besar hanya karena dekat pusat kota.
Dekat Kota, Dekat Sorotan Media
Saya memahami bagaimana media bekerja. Singa Geweh lokasinya dekat, akses mudah, dokumentasi cepat, sinyal kuat, dan protes sekecil apa pun mudah viral.
Sebaliknya, keluhan warga pedalaman sering tidak terliput: Perjalanan jauh dan mahal. Akses sulit. Sinyal hampir tidak ada. Nihil dokumentasi yang bisa viral. Kemudian protes warga tidak terekam kamera.
Akibatnya, isu besar yang jauh dari kota menjadi sepi, sementara isu kecil yang dekat dengan akses media menjadi headline. Sebagai anak daerah pedalaman, saya melihat ini sebagai ironi yang terus berulang.
Pengaruh Tekanan Publik
Ini juga harus diakui, pemerintah sering bergerak cepat ketika sorotan publik besar. Ini bukan kritik personal, tetapi realitas pola respons yang umum terjadi di banyak daerah.
Masalahnya, ketika prioritas pembangunan ditentukan oleh siapa yang paling terlihat, bukan siapa yang paling membutuhkan, maka ketimpangan penanganan infrastruktur akan terus terjadi.
Protes Warga Singa Geweh: Wajar, Tapi Konteks Harus Dilihat
Saya memahami aksi warga menanam pohon pisang. Dua tahun menunggu bukan waktu yang singkat. Mereka butuh perhatian. Itu hak mereka sebagai warga.
Namun di sisi lain, sebagai orang yang tumbuh di wilayah dengan kerusakan jalan yang jauh lebih parah, saya juga memahami kenapa publik menilai sorotan terhadap Singa Geweh terasa “berlebihan”.
Ini bukan soal menyalahkan warga Singa Geweh. Ini soal bagaimana komunikasi pemerintah, distribusi perhatian media, dan persepsi publik membentuk narasi yang kadang tidak seimbang.
Perlu Peta Prioritas yang Berbasis Realitas
Menurut saya, momentum ini harus menjadi pengingat penting bagi pemerintah Kutim.
Infrastruktur tidak boleh ditangani berdasarkan viral atau tidaknya sebuah video. Prioritas harus ditentukan lewat kebutuhan objektif, bukan tekanan sorotan. Daerah kota dan pedalaman harus mendapatkan ruang yang sama untuk didengar.
Kerusakan kecil tetap perlu diperbaiki. Kerusakan besar harus lebih diperhatikan. Dan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat harus diperbaiki agar suara pedalaman tidak selalu tenggelam.
Sebagai pemuda Muara Ancalong, saya melihat kasus Singa Geweh sebagai gambaran bagaimana ukuran masalah sering ditentukan oleh seberapa terlihat ia di mata publik, bukan seberapa berat kenyataannya.
Sudah saatnya kita lebih jujur melihat realitas: bahwa masih banyak wilayah Kutai Timur yang membutuhkan perhatian jauh lebih serius tetapi tidak mendapatkan sorotan setara.
Dan di sinilah keberanian pemerintah diuji. Berani menata prioritas bukan karena tekanan, tetapi karena kebutuhan masyarakat secara menyeluruh. (*)






