Penulis: Abdul Jabar, Pengamat Pendidikan & Ekonomi UIN SAIZU
Katakaltim — Di tengah gelombang Revolusi Industri 4.0 dan cepatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan, dunia pendidikan Indonesia dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana memastikan bahwa generasi muda tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi pencipta masa depan.
Dalam konteks inilah, penguasaan coding dan artificial intelligence (AI) bukan lagi sekadar pilihan tambahan, melainkan kebutuhan fundamental pendidikan abad ke-21.
Baca Juga: Investasi Masa Depan: Mengapa Setiap Anak Sekolah Butuh Belajar AI dan Coding Hari Ini
Secara yuridis, hal ini sejalan dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan bahwa pendidikan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, cerdas, terampil, dan mampu berpartisipasi dalam masyarakat.
Baca Juga: Toxic Parenting: Warisan Budaya Kita
Filosofisnya, pendidikan bukan hanya proses menghafal, melainkan pembebasan dan penciptaan. Dalam ranah sosiologis, teknologi kini menjadi ruang sosial baru, dan anak-anak harus dibekali literasi digital agar tidak menjadi korban dari teknologi yang tak mereka pahami.
Di sinilah urgensi pengenalan coding dan AI sejak jenjang Sekolah Dasar menjadi titik strategis. Anak usia dini dikenal memiliki plasticity otak tinggi—mampu menyerap konsep baru dengan lebih fleksibel.
Coding, yang mengasah logika dan pemecahan masalah, serta AI, yang melatih pemahaman data dan pengambilan keputusan berbasis teknologi, menjadi dua kompetensi dasar dalam dunia kerja digital.
Lebih dari itu, data UNICEF/TechNode (2022) menunjukkan bahwa 94% siswa Indonesia menilai pembelajaran daring terlalu mahal, sementara 60% sekolah kekurangan infrastruktur digital.
Hanya 5% siswa SD di Indonesia memiliki akses komputer pribadi, dan 72% bergantung pada ponsel pintar untuk mengakses pembelajaran (Statista, 2023).
Angka-angka ini menunjukkan bahwa transformasi digital pendidikan harus memperhatikan konteks keterbatasan akses. Maka, pendekatan pengajaran coding dan AI berbasis mobile dan metode unplugged menjadi jawaban strategis yang inklusif.
Studi MDPI (2025) mencatat bahwa 52% implementasi AI dalam pendidikan digunakan untuk pembelajaran adaptif dan penilaian otomatis, meningkatkan personalisasi pembelajaran.
Bahkan, Carrisi et al. (2025) membuktikan bahwa pendekatan AI unplugged di kelas 5 SD meningkatkan pemahaman konsep siswa hingga 20% dan keterampilan evaluatif sebesar 15%.
Menanggapi tantangan tersebut, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) merespons dengan kebijakan transformatif: menjadikan coding dan AI sebagai mata pelajaran pilihan mulai tahun ajaran 2025–2026, dari jenjang SD hingga SMA.
Ini bukan keputusan reaktif, melainkan hasil dari perencanaan kolaboratif yang matang.
Salah satu tonggak penting adalah kegiatan Diskusi Kelompok Terpumpun yang digelar 29 November hingga 7 Desember 2024.
Acara ini menghadirkan tokoh-tokoh strategis seperti Mendikdasmen Abdul Mu’ti, Wamen Fajar Riza Ul Haq, Wamen Atip Latipulhayat, Staf Khusus Muchlas Rowi, hingga Sekretaris Ditjen PAUD Dikdasmen, Praptono. Forum ini merumuskan strategi pembelajaran coding dan AI berdasarkan tiga model utama:
1. Internet-based – Mengandalkan koneksi daring dan platform pembelajaran digital.
2. Plugged – Menggunakan perangkat lunak yang terinstal pada perangkat komputer.
3. Unplugged – Mengajarkan konsep logika dan algoritma tanpa bantuan perangkat elektronik, cocok bagi sekolah yang belum memiliki akses digital memadai.
Dalam sambutannya, Abdul Mu’ti menekankan bahwa pengenalan coding dan AI sejak dini dimaksudkan agar anak Indonesia menjadi inovator, bukan hanya konsumen teknologi. Wamen Fajar menambahkan bahwa digitalisasi pendidikan akan membantu guru menjadi lebih kreatif, bukan tergantikan.
Sebagai bentuk pelengkap, Kemendikdasmen juga memperkuat sistem evaluasi pembelajaran melalui Tes Kemampuan Akademik (TKA).
Tidak seperti ujian tradisional, TKA bersifat formatif dan diagnostik. Guru dibekali kemampuan untuk mengevaluasi proses belajar siswa secara individual, bukan sekadar menilai nilai akhir.
Studi Gomez et al. (2022) menunjukkan bahwa metode evaluasi diagnostik seperti ini meningkatkan penguasaan konsep siswa hingga 18%. Zhang & Liu (2021) juga mencatat bahwa 73% guru merasa lebih mampu merancang pembelajaran personal setelah menggunakan evaluasi formatif.
Pilot program TKA di 230 sekolah yang dilakukan Kemendikbudristek pada 2023 menyatakan bahwa 67% guru menilai TKA lebih akurat dalam memetakan kelemahan siswa.
Tentu saja, semua ini hanya mungkin terlaksana dengan kerja kolektif lintas sektor.
Kementerian merancang, pemerintah daerah mengimplementasikan, dan komunitas pendidikan menjadi ujung tombaknya. Data BPS (2023) mencatat bahwa baru 38,5% SD di Indonesia yang memiliki koneksi internet stabil. Maka, kolaborasi dengan sektor swasta dan masyarakat sipil menjadi kunci dalam pemerataan infrastruktur digital.
Implementasi pembelajaran coding dan AI bukan hanya soal kurikulum baru, tetapi tentang arah baru pendidikan yang menggabungkan teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan.
AI tidak boleh diposisikan sebagai pengganti guru atau sebagai mesin jawaban instan, melainkan sebagai mitra kreatif dalam proses belajar. Praktisi dari Google DeepMind menyebut AI sebagai alat co-creation—membantu, bukan menggantikan manusia dalam berpikir dan mencipta.
Model AI seperti Origin dan Khanmigo yang telah digunakan di beberapa sekolah di Amerika Serikat menunjukkan bahwa peran guru tetap tak tergantikan, terutama dalam aspek emosional, afektif, dan kontekstual pembelajaran. Dengan kata lain, teknologi harus melayani pendidikan, bukan sebaliknya.
Strategi Kemendikdasmen yang menggabungkan pengajaran coding dan AI dengan evaluasi TKA dan pendekatan lintas sektor menunjukkan arah yang benar. Ini bukan lagi mimpi, melainkan langkah strategis berbasis data, masukan lapangan, dan diskursus publik.
Tantangan memang nyata—dari infrastruktur yang belum merata hingga kesiapan SDM guru—namun arah kebijakannya sudah mulai selaras dengan kebutuhan zaman.
Saat ini, kita tidak sedang membicarakan teknologi tinggi untuk elit kota besar saja, melainkan tentang bagaimana semua anak Indonesia, dari Aceh hingga Papua, bisa memiliki kesempatan yang sama untuk memahami bahasa masa depan: kode dan kecerdasan buatan.
Akhirnya, langkah ini bukan hanya tentang teknologi, melainkan tentang membangun manusia Indonesia yang utuh—kritis, kreatif, beretika, dan mampu bersaing secara global tanpa kehilangan akar nilai lokal.
Kemendikdasmen telah membuka gerbangnya; kini saatnya seluruh elemen bangsa melangkah bersama. (*)
Disclaimer: Seluruh kandungan tulisan dikembalikan kepada penulisnya.