Dibaca
8
kali
Pelajar (dok: pixabay)

Investasi Masa Depan: Mengapa Setiap Anak Sekolah Butuh Belajar AI dan Coding Hari Ini

 | Editor : Agu
16 June 2025
Font +
Font -

Penulis: Fikri Ahmad Faadhilah, Mahasiswa UIN SAIZU Purwokerto

Katakaltim — Pendidikan selalu menjadi investasi jangka panjang yang paling strategis dalam menentukan arah dan nasib suatu bangsa. Dalam era yang ditandai dengan percepatan teknologi dan disrupsi digital, pendidikan tidak lagi cukup hanya mencetak lulusan yang cakap membaca dan berhitung.

Ia dituntut untuk melahirkan generasi yang siap menghadapi tantangan dunia yang terus berubah, kompleks, dan berbasis teknologi. Dalam konteks ini, penguasaan keterampilan abad ke-21—seperti berpikir kritis, literasi digital, dan kolaborasi—tidak lagi menjadi keunggulan tambahan, melainkan kebutuhan mendasar. Dan dari sekian banyak kompetensi yang dibutuhkan, penguasaan terhadap Artificial Intelligence (AI) dan coding menjadi pilar utama.

Mengenalkan coding dan AI kepada siswa sejak jenjang dasar hingga menengah bukan sekadar langkah inovatif dalam pengembangan kurikulum, tetapi sebuah bentuk konkret dari investasi peradaban.

Kita tidak hanya berbicara tentang menambahkan mata pelajaran baru, melainkan membekali anak-anak kita dengan bahasa masa depan—bahasa algoritma, logika pemrograman, dan kecerdasan buatan yang akan menguasai hampir seluruh sektor kehidupan dalam satu dekade ke depan.

Dari sisi yuridis, langkah ini mendapatkan legitimasi yang kuat. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara eksplisit menyebutkan pentingnya sistem pendidikan yang adaptif dan relevan dengan perkembangan zaman.

Artinya, pengenalan teknologi mutakhir seperti AI dan coding bukan sekadar inisiatif kebijakan, melainkan bagian dari amanat konstitusional untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa agar selaras dengan arus global.

Secara historis, sistem pendidikan Indonesia memang telah melalui berbagai fase transformasi kurikulum—mulai dari CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), KTSP, hingga Kurikulum Merdeka. Masing-masing lahir sebagai respons terhadap perubahan sosial, politik, dan teknologi yang terjadi di masyarakat.

Dalam catatan Suryadi (2021), tiap reformasi kurikulum selalu mencerminkan kehendak negara untuk menyelaraskan pendidikan dengan realitas zamannya. Maka, pengenalan AI dan coding hari ini adalah kelanjutan logis dari semangat reformasi kurikulum yang telah ada sejak lama.

Lebih dalam lagi, secara filosofis, pendidikan dimaknai sebagai proses memerdekakan manusia. Di era digital, kemerdekaan itu tidak cukup hanya dimaknai sebagai kebebasan berpikir atau berpendapat, melainkan juga kemampuan untuk menguasai teknologi—bukan menjadi budak dari teknologi.

Seperti yang dikemukakan oleh Fahmi (2023), pendidikan seharusnya membekali manusia agar mampu menjadi subjek dalam dunia digital, bukan sekadar objek yang pasif dan dikendalikan oleh arus teknologi global.

Dari perspektif sosiologis, pengenalan teknologi sejak dini juga berkontribusi besar dalam mengatasi kesenjangan sosial yang berbasis digital. Digital divide tidak hanya memisahkan kelompok kaya dan miskin, kota dan desa, tetapi juga menentukan siapa yang memiliki akses terhadap masa depan, dan siapa yang tertinggal. Dengan memberikan kesempatan kepada semua anak—apa pun latar belakangnya—untuk belajar coding dan AI, kita sejatinya sedang memperluas peluang ekonomi dan sosial di masa mendatang. Seperti dicatat oleh Puspitasari dan Suparman (2022), literasi digital yang merata adalah salah satu kunci utama dalam memperkecil ketimpangan sosial dan membuka jalan ke arah inklusi ekonomi yang lebih luas.

Pentingnya Pengenalan Coding dan AI Sejak Dini

Coding bukan hanya tentang bahasa pemrograman, melainkan tentang pola pikir logis, sistematis, dan kreatif. AI mengajarkan siswa memahami bagaimana teknologi dapat meniru dan melengkapi kecerdasan manusia. Penelitian oleh Susilowati dan Yuniarti (2023) menunjukkan bahwa siswa sekolah dasar yang dikenalkan pada coding melalui platform visual seperti Scratch menunjukkan peningkatan signifikan dalam kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah.

Hal ini membuktikan bahwa mengenalkan coding dan AI sejak dini berkontribusi positif terhadap kualitas kognitif dan kesiapan menghadapi tantangan masa depan. Integrasi AI dan coding dalam kurikulum sekolah dasar bukanlah sebuah tren sesaat, melainkan kebutuhan sistemik.

Negara-negara seperti Korea Selatan dan Estonia telah membuktikan bahwa pendidikan teknologi sejak dini berdampak pada ketangguhan ekonomi digital mereka (OECD, 2022). Oleh karena itu, Indonesia harus merancang roadmap integrasi coding dan AI sebagai bagian wajib dari mata pelajaran TIK dan matematika terapan di sekolah dasar dan menengah.

Kita hidup dalam dunia yang nyaris tak bisa dipisahkan dari teknologi. Dari sistem transportasi, layanan kesehatan, keuangan, hingga pendidikan—semuanya bertumpu pada teknologi digital. Oleh karena itu, pendidikan yang tidak membekali siswa dengan kemampuan teknologi, termasuk AI dan coding, berarti melepaskan mereka ke dunia kerja tanpa alat yang memadai.

Studi dari UNESCO (2022) juga menunjukkan bahwa negara-negara yang sejak awal mengintegrasikan pembelajaran digital mengalami peningkatan ketahanan pendidikan terhadap krisis seperti pandemi.

Penguasaan teknologi juga erat kaitannya dengan akses terhadap peluang ekonomi. Siswa dari daerah tertinggal yang tidak memiliki dasar digital akan tertinggal dalam seleksi masuk universitas, pekerjaan berbasis teknologi, dan peluang ekonomi kreatif. Karenanya, integrasi coding dan AI juga menjadi strategi pemerataan akses terhadap pendidikan bermutu.

Akselerasi Digitalisasi Pendidikan dan Kualitas SDM

Transformasi pendidikan digital di Indonesia bukan lagi sebuah wacana, melainkan telah menjadi arah kebijakan strategis nasional. Melalui program Merdeka Belajar, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) berupaya mentransformasi paradigma pendidikan dari yang sebelumnya berpusat pada guru dan materi, menjadi berpusat pada peserta didik dan kebutuhan zaman.

Salah satu inisiatif penting dalam kebijakan ini adalah peluncuran Platform Merdeka Mengajar, yang tidak hanya menyediakan konten belajar bagi guru dan siswa, tetapi juga memperkuat ekosistem digital di lingkungan sekolah.

Ekosistem ini tak akan berkembang tanpa keterlibatan aktif guru sebagai ujung tombak perubahan. Karena itu, pelatihan-pelatihan berbasis teknologi digital terus digalakkan. Guru tidak hanya diajarkan cara menggunakan perangkat, tetapi juga diajak memahami bagaimana teknologi dapat diintegrasikan secara pedagogis dalam pembelajaran.

Riset dari Balitbangdiklat Kemendikbudristek (2023) menunjukkan bahwa pelatihan coding dan kecerdasan buatan (AI) bagi guru memberikan dampak nyata dalam proses pembelajaran di kelas. Guru yang terlatih mampu menerapkan metode pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) dan mengaitkan materi ajar dengan konteks dunia nyata yang lebih relevan dan bermakna bagi siswa.

Ini bukan sekadar meningkatkan minat belajar, tetapi juga melatih kemampuan problem solving dan berpikir komputasional siswa—dua kompetensi yang amat dibutuhkan di era digital.
Namun, proses transformasi ini tidak boleh berjalan lambat. Di tengah perkembangan teknologi yang begitu pesat, percepatan justru menjadi kata kunci. Tanpa langkah strategis dan masif, ketimpangan akan melebar, dan sekolah-sekolah yang belum tersentuh digitalisasi akan semakin tertinggal.

Karena itu, sudah saatnya pemerintah mengambil langkah berani untuk mewajibkan pelatihan literasi teknologi bagi seluruh guru dan kepala sekolah. Pelatihan ini tidak boleh lagi menjadi pilihan, melainkan bagian integral dari pengembangan profesi. Untuk memastikan efektivitasnya, pelatihan tersebut harus diiringi dengan insentif nyata seperti sertifikasi kompetensi digital, tunjangan profesi berbasis kompetensi, hingga percepatan kenaikan pangkat sebagai bentuk penghargaan terhadap pendidik yang adaptif terhadap zaman.
Di sisi lain, investasi terhadap infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) juga tidak dapat ditunda.

Masih banyak sekolah, terutama di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), yang belum memiliki akses internet stabil atau bahkan belum memiliki perangkat digital yang memadai. Ketika sebagian sekolah di kota besar mulai mengajarkan coding dan AI, sekolah di pelosok masih berkutat dengan ketiadaan listrik atau jaringan. Ini adalah ketimpangan yang tidak boleh dibiarkan berlarut. Negara harus hadir melalui peningkatan Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan yang diarahkan secara spesifik untuk pembangunan infrastruktur digital sekolah.

Karena pada hakikatnya, keadilan digital adalah bagian dari keadilan pendidikan itu sendiri. Dan pendidikan yang adil adalah prasyarat mutlak bagi kemajuan bangsa. Jika kita serius ingin menjadikan teknologi sebagai fondasi masa depan, maka memastikan seluruh guru terlatih dan setiap sekolah terhubung adalah langkah paling logis dan mendesak yang harus segera diwujudkan.

Sistem Evaluasi Pembelajaran melalui TKA
Evaluasi pendidikan yang efektif harus mencerminkan tuntutan zaman. TKA (Tes Kemampuan Akademik) dirancang tidak hanya untuk mengukur kemampuan hafalan, tetapi juga logika berpikir, kemampuan numerik, dan literasi digital.

Data dari Pusat Asesmen Pendidikan (2023) menunjukkan bahwa sekolah yang menerapkan simulasi TKA berbasis digital mengalami peningkatan rerata nilai literasi numerik sebesar 17% dibanding sekolah konvensional. Artinya, sistem evaluasi ini mampu menstimulasi kebutuhan belajar yang lebih adaptif dan relevan dengan masa depan.

TKA juga berfungsi sebagai sistem monitoring kualitas nasional. Dengan memadukan TKA dan penguasaan dasar coding, Indonesia dapat memetakan kekuatan dan kelemahan digital anak bangsa sejak jenjang dasar. Data ini berguna untuk merancang intervensi kebijakan dan alokasi sumber daya yang lebih tepat sasaran.

Pendidikan berkualitas tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah pusat. Pemerintah daerah, sekolah, guru, dunia usaha, dan masyarakat memiliki peran strategis. Kolaborasi lintas sektor harus diwujudkan, misalnya melalui program adopsi sekolah oleh industri teknologi atau inkubasi digital yang didukung pemerintah daerah.

Studi OECD (2022) menegaskan bahwa negara dengan sistem pendidikan paling adaptif adalah yang mampu membangun triple helix antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil.

Karenanya, kerja sama lintas sektor antara Kementerian, pemerintah daerah, swasta, dan organisasi masyarakat sipil harus diformalkan dalam bentuk konsorsium pendidikan digital. Program ini dapat berfokus pada pelatihan guru, pembangunan laboratorium coding sekolah, dan kompetisi teknologi bagi siswa sebagai media evaluasi non-formal.

Program Strategis Menuju Pendidikan Bermutu

Dalam upaya mewujudkan transformasi pendidikan digital di Indonesia, berbagai kebijakan strategis telah diluncurkan oleh Kemendikbudristek sebagai bagian dari komitmen untuk menghadirkan pendidikan yang adaptif dan relevan dengan zaman. Program Sekolah Penggerak, Kurikulum Merdeka, dan Digital Talent Scholarship menjadi tiga inisiatif utama yang memperlihatkan arah baru pendidikan nasional: bahwa teknologi bukan sekadar alat bantu, tetapi instrumen utama dalam peningkatan mutu pembelajaran.

Program Sekolah Penggerak, misalnya, secara progresif telah mendorong sekolah-sekolah untuk mengintegrasikan coding dalam muatan lokal dan kegiatan ekstrakurikuler.

Di banyak sekolah, kita mulai melihat anak-anak belajar logika pemrograman sejak dini—sebuah lompatan besar dari paradigma pendidikan lama yang cenderung teoritis. Kurikulum Merdeka pun hadir memberi ruang bagi pendekatan pembelajaran yang fleksibel dan berbasis proyek, yang memungkinkan eksplorasi teknologi secara lebih kreatif dan kontekstual.

Lebih dari itu, kolaborasi antara pemerintah dengan mitra teknologi global seperti Google, Microsoft, dan Dicoding telah membuka akses pelatihan bersertifikasi secara cuma-cuma bagi para guru dan siswa.

Ini bukan hanya soal transfer ilmu, tetapi juga transfer kultur digital dan nilai-nilai inovasi. Kolaborasi semacam ini menjadi bukti bahwa pendidikan abad ke-21 membutuhkan keterlibatan banyak pihak dan tidak bisa lagi berjalan dalam sekat birokrasi tradisional.

Namun, langkah-langkah tersebut masih belum cukup bila kita ingin menjangkau seluruh lapisan pendidikan nasional secara merata. Masih banyak sekolah, terutama di wilayah terpencil, yang belum menikmati fasilitas pembelajaran digital yang memadai.

Karena itu, perlu ada perluasan kebijakan yang lebih radikal dan berkeadilan. Pertama, integrasi AI dan coding perlu diresmikan sebagai bagian dari kurikulum nasional, bukan hanya melalui kegiatan ekstrakurikuler, tetapi juga dalam pelajaran inti sejak tingkat dasar.

Kedua, pemerintah daerah perlu diberikan ruang dan dorongan berupa insentif untuk mendorong sekolah-sekolah agar berani berinovasi dan mengadopsi teknologi dalam proses belajar mengajar. Sekolah yang berhasil melakukan terobosan seharusnya mendapat penghargaan, bukan sekadar pengakuan simbolik, tetapi juga dukungan nyata untuk pengembangan lebih lanjut.

Ketiga, standarisasi minimal fasilitas teknologi di setiap satuan pendidikan harus segera diwujudkan. Tidak seharusnya di era digital ini, ada sekolah yang masih kesulitan mengakses internet atau tidak memiliki perangkat digital yang layak.

Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pendidikan harus dialokasikan secara tepat dan berorientasi pada pemerataan akses teknologi. Sebab hanya dengan itulah, kita dapat menjamin bahwa transformasi digital dalam pendidikan bukan hanya terjadi di sekolah-sekolah unggulan di kota besar, melainkan menjadi hak semua anak Indonesia, di mana pun mereka berada.

Transformasi digital dalam pendidikan bukan sekadar proyek jangka pendek. Ini adalah fondasi untuk masa depan bangsa. Dan fondasi itu harus dibangun secara kokoh, adil, dan menyeluruh.

Penutup

Dengan menanamkan pemahaman tentang coding dan kecerdasan buatan (AI) sejak dini, kita sejatinya sedang menanam benih masa depan. Ini bukan sekadar soal kecakapan teknis semata, melainkan tentang membentuk generasi yang mampu berpikir logis, berinovasi, dan bersaing dalam tatanan global yang kian digerakkan oleh algoritma. Dalam kompetisi global berbasis teknologi dan kecerdasan buatan, bangsa yang memimpin bukanlah mereka yang memiliki sumber daya terbanyak, tetapi mereka yang paling adaptif dan siap dengan kompetensi digital sejak usia dini. Oleh sebab itu, mengenalkan AI dan coding bukan lagi pilihan, melainkan keharusan historis.

Langkah awal yang mendesak untuk diwujudkan adalah mengintegrasikan pembelajaran AI dan coding ke dalam kurikulum nasional sejak jenjang dasar. Ini dapat dilakukan secara bertahap, dimulai dari pembelajaran tematik, ekstrakurikuler, hingga pembelajaran formal di mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan Matematika Terapan.

Kurikulum yang adaptif dan kontekstual akan menjadi fondasi agar materi tersebut tidak menjadi beban tambahan, tetapi justru menjadi jembatan kreativitas dan pembentukan logika berpikir.

Namun, kurikulum yang baik tak akan berjalan tanpa guru yang siap. Maka, pelatihan literasi teknologi bagi para pendidik perlu menjadi agenda prioritas nasional. Guru dan kepala sekolah harus dibekali bukan hanya dengan keterampilan teknis, tetapi juga pemahaman pedagogis untuk mengajarkan AI dan coding secara inklusif dan bermakna.

Pemberian insentif berupa sertifikasi, tunjangan profesi, maupun percepatan kenaikan pangkat akan menjadi pemantik semangat agar transformasi digital di sekolah menjadi gerakan yang masif dan terukur.

Transformasi ini juga menuntut kolaborasi yang luas. Dunia usaha dan industri teknologi memiliki peran strategis untuk tidak hanya menjadi penyedia perangkat, tetapi juga sebagai mitra pembinaan sekolah dalam membangun ekosistem digital.

Industri dapat menjadi penyokong pelatihan, mentor pengembangan kurikulum, dan bahkan fasilitator inkubasi talenta muda di bidang teknologi. Di sinilah pentingnya negara hadir sebagai penyambung antara dunia pendidikan dan dunia industri.

Namun, semua ikhtiar itu akan sia-sia jika infrastruktur TIK di sekolah-sekolah, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), masih timpang. Ketimpangan akses digital hanya akan memperdalam jurang ketidaksetaraan.

Oleh karena itu, investasi negara untuk memperluas dan memeratakan akses internet, pengadaan perangkat belajar, serta pendampingan teknologi di seluruh wilayah Indonesia merupakan prasyarat mutlak dari pendidikan yang berkeadilan.

Lebih jauh lagi, gerakan ini perlu diformalisasi dalam bentuk konsorsium lintas sektor. Pemerintah pusat, kementerian terkait, dunia usaha, lembaga riset, komunitas teknologi, hingga organisasi masyarakat sipil harus disatukan dalam satu barisan untuk menyusun konten pembelajaran yang kontekstual, adaptif, dan menjawab kebutuhan masa depan.

Pendidikan yang hanya dikerjakan oleh satu pihak akan kehilangan daya dorongnya. Tetapi pendidikan yang digerakkan bersama akan menjadi kekuatan nasional.

Karena pada akhirnya, masa depan Indonesia tidak hanya ditentukan oleh kekayaan sumber daya alamnya, tetapi oleh sejauh mana anak-anak hari ini disiapkan untuk hidup, tumbuh, dan bersaing dalam dunia yang sepenuhnya digital. Dan masa depan itu, tanpa diragukan lagi, dibangun di atas pondasi teknologi. (*)

Font +
Font -
# ePaper
Lebih Banyak >