Penulis: Silvi Aris Arlinda (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Slamet Riyadi)
KATAKALTIM — Di era digital seperti sekarang, setiap krisis tidak lagi berlangsung dalam ruang tertutup, melainkan terbuka di hadapan publik melalui media sosial.
Fenomena trending topic di platform seperti X (Twitter), Instagram, maupun TikTok telah menjadikan krisis sebagai konsumsi publik secara real-time.
Krisis yang dulunya membutuhkan waktu untuk muncul ke permukaan, kini dapat viral hanya dalam hitungan menit.
Inilah tantangan baru dalam komunikasi krisis yang harus dipahami, tidak hanya oleh praktisi humas dan public relations, tetapi juga oleh akademisi dan mahasiswa ilmu komunikasi.
Di Indonesia, kita melihat bagaimana isu-isu kecil bisa berkembang menjadi krisis besar karena meluas di media sosial.
Misalnya, keluhan seorang konsumen terhadap layanan transportasi, komentar publik figur yang dianggap kontroversial, hingga pernyataan pejabat negara yang menimbulkan polemik.
Semua bisa berubah menjadi krisis ketika publik memperbincangkannya secara masif, membentuk trending topic, dan mengundang opini publik yang sulit dikendalikan.
Hal ini menunjukkan bahwa krisis tidak hanya soal substansi masalah, tetapi juga persepsi publik yang terbentuk.
Dalam teori komunikasi, krisis erat kaitannya dengan image restoration dan situational crisis communication theory (SCCT), di mana respon awal menjadi faktor penentu apakah krisis akan mereda atau justru semakin membesar.
Fenomena trending topic mengajarkan bahwa kecepatan, transparansi, dan konsistensi adalah kunci komunikasi krisis. Institusi atau individu yang menghadapi sorotan publik harus mampu:
1. Merespons cepat sebelum isu berkembang liar.
2. Menggunakan saluran komunikasi yang tepat agar pesan langsung sampai ke audiens
yang relevan.
3. Menjaga konsistensi narasi, karena publik mudah menemukan kontradiksi.
4. Menggunakan empati dan keterbukaan, bukan sekadar defensif atau menutup diri.
Contoh nyata dapat kita lihat ketika perusahaan atau tokoh publik memilih untuk meminta maaf secara terbuka dan menjelaskan langkah perbaikan.
Meski tidak langsung menghapus krisis, pendekatan ini sering kali lebih dihargai publik dibandingkan diam atau bersikap defensif.
Krisis komunikasi di media sosial tidak hanya diciptakan oleh pejabat, artis, atau perusahaan, tapi juga oleh masyarakat yang memberi komentar, menyebarkan informasi, dan membentuk opini publik.
Jadi, setiap orang sebenarnya punya peran dalam memperbesar atau meredakan krisis. Komunikasi krisis di era trending topic menuntut kepekaan tinggi terhadap opini publik, kecepatan dalam pengambilan keputusan, dan kemampuan memanfaatkan media digital secara strategis.
Bagi para praktisi maupun akademisi, pelajaran terpenting adalah bahwa krisis tidak bisa dihindari, tetapi bisa dikelola. Yang membedakan hanyalah bagaimana kita merespons, apakah mampu memulihkan kepercayaan atau justru kehilangan legitimasi di mata publik. (*)








