Payload Logo
DPRD Kutim
u-337820251125184530151.jpg
Dilihat 695 kali

Aktivis Filsafat, Ahmad Ali Aswar (empat dari kanan) (dok: pribadi)

OPINI: Membaca Ulang Karbala sebagai Tafsir Kemanusiaan dan Etika Islami dalam Relevansinya terhadap Tragedi Gaza

Penulis: | Editor: Agu
10 Juli 2025

Penulis: Ahmad Ali Aswar (Aktivis Filsafat Nusantara

Katakaltim — “Aku tidak bangkit untuk menciptakan kekacauan, bukan karena keinginan akan kekuasaan atau kesombongan. Aku bangkit untuk menegakkan amar makruf dan nahi mungkar, demi membangkitkan kembali ajaran kakekku, Rasulullah.” (Imam Husain a.s)

Muharram: Saat Umat Melupakan Darah Keluarga Nabi sebagai Awal Normalisasi Genosida

Bulan Muharram sering kali dirayakan sebagai momen tahun baru hijriah, penuh doa dan harapan. Namun di balik itu, tersembunyi luka sejarah yang kerap diabaikan: terbunuhnya keluarga Nabi Muhammad saw. sendiri di padang Karbala. Imam Husain, bukan sekadar cucu Nabi, tapi pelanjut risalah kenabian, dibantai bersama keluarganya oleh kekuasaan yang mengatasnamakan Islam.

Sebagian umat Islam mulai menyadari makna penting tragedi ini. Di banyak tempat, selain memperingati tahun baru Islam, umat juga mengadakan majelis duka—sebagai media refleksi untuk mengenang perjuangan Imam Husain dan mengikat diri secara emosional dalam peristiwa tersebut. Tapi apakah cukup hanya berkabung dan menangis?

Jika akhirnya kita harus membuka lembar sejarah itu, maka pertanyaan paling penting yang harus diajukan bukan sekadar "kenapa cucu Nabi dibantai?", tetapi lebih jauh: apakah kita benar-benar memahami mengapa Imam Husain memilih jalan syahadah itu? Mengapa ia tidak pulang ke Madinah ketika diberi jalan? Mengapa ia menolak tawaran perlindungan dari pasukan Yazid? Mengapa ia meninggalkan tawaran harta, jabatan, dan keselamatan untuk memilih mati di Karbala?

Secara manusiawi, tentu kita sedih, marah, dan tidak terima: bagaimana mungkin cucu Rasulullah, pemuda penghuni surga, dipenggal kepalanya oleh pasukan yang diperintah oleh pemimpin ilegal umat saat itu? Tapi secara filosofis, kita juga harus bertanya: apakah Imam Husain ingin dikenang hanya sebagai simbol kesedihan—atau sebagai pemimpin nilai, yang perjuangannya harus diteladani?

Karena jika hanya untuk ditangisi, Husain tidak akan memilih jalan sunyi itu. Ia bisa hidup damai, namun ia memilih syahid. Bukan karena tidak punya pilihan, tapi karena ia sadar bahwa agama tidak boleh dibiarkan dikendalikan oleh kekuasaan yang fasik dan zalim.

Dan di sinilah letak pesan Karbala hari ini: bahwa Islam sejati tidak akan pernah menoleransi kekuasaan yang batil, fasik, dan zalim, termasuk dalam konteks tragedi kemanusiaan yang kini menimpa Palestina dan Gaza. Jika umat tidak sanggup menolak kebatilan yang nyata seperti penjajahan Zionis, bagaimana mungkin kita merasa mewarisi semangat Husain?

Substansi: Karbala Sebagai Manifestasi Etika Profetik

Secara ontologis, peristiwa Karbala bukan hanya duel antara dua kubu politik. Ia adalah kristalisasi dari pertarungan nilai antara hak dan batil, antara kekuasaan yang korup dan suara moralitas yang tak dapat dibungkam. Ketika Yazid menuntut bai’at, yang diminta bukan sekadar pengakuan simbolik, tetapi penghianatan terhadap amanat profetik. Maka Husain menjawabnya bukan dengan senjata, tetapi dengan prinsip:

“Orang seperti aku tidak akan membaiat orang seperti dia.” (مِثْلِي لَا يُبَايِعُ مِثْلَهُ)

Penolakan bai’at Imam Husain bukan sekadar sikap politik. Ia adalah ikhtiar menjaga moral umat. Sebab kepemimpinan dalam Islam bukan hanya tentang legitimasi kuasa, tetapi legitimasi akhlak. Yazid dikenal sebagai penguasa yang fasik, terbiasa mabuk, dan terang-terangan bermaksiat. Imam Husain tidak rela simbol kepemimpinan umat diserahkan pada pribadi seperti itu. Bahkan ketika diancam akan dipenggal kepalanya jika tidak berbai’at, Husain tetap memilih mati mulia:

“Bagiku, kematian adalah kebahagiaan dan hidup bersama orang-orang zalim adalah kehinaan.”

‎(الْمَوْتُ فِي حَيَاتِكُمْ مَقْهُورِينَ، وَالْحَيَاةُ فِي مَوْتِكُمْ قَاهِرِينَ)

Lebih jauh, penolakan Husain juga berakar pada kesepakatan damai antara Hasan bin Ali dan Muawiyah. Salah satu poin penting dari perjanjian itu adalah bahwa setelah Muawiyah wafat, kepemimpinan akan kembali kepada umat untuk memilih, bukan diwariskan. Namun, Muawiyah mengkhianati perjanjian itu dengan mengangkat Yazid sebagai penerus. Maka perlawanan Husain bukan insubordinasi, tapi perlawanan terhadap pelanggaran etika dan perjanjian.

Metodologi: Kritik Profetik dan Keteladanan Eksistensial

Imam Husain tidak menabuh genderang perang. Ia tidak memprovokasi umat. Ia bahkan tidak memulai kekerasan. Ia pergi karena dipanggil—bukan oleh ambisi, tapi oleh suara nurani umat yang sedang sekarat. Ia tahu bahaya di hadapan, tapi memilih untuk tetap melangkah, karena dalam diamnya umat, seseorang harus berbicara.

Inilah metodologi Karbala: bukan retorika, tapi keteladanan; bukan agitasi, tapi pembuktian; bukan kekuatan fisik, tapi daya spiritual dan keberanian moral. Imam Husain mengubah dirinya menjadi teks hidup, menjadi manuskrip cinta dan keberanian yang ditulis dengan darah, bukan tinta.

Ali Syariati, seorang pemikir progresif, menambahkan:“Yazid adalah simbol sistem penindas. Husain adalah esensi pembebasan. Maka setiap zaman punya Yazid-nya dan butuh Husain-nya.”

Lebih jauh Ibnu Taimiyah, tentang Imam Husian mengatakan ; “Husain terbunuh dalam keadaan dizalimi dan syahid. Dia dan para sahabatnya mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Allah.”

(Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah)

Relevansi: Duka yang Harus Menjadi Daya

Jika hari ini kita hanya menangis tanpa bertanya, mengapa Husain menangis sebelum kita, maka kita telah menjadikan Karbala museum, bukan madrasah.

Air mata karbala sejati nya bukan bukan tangisan yang melahirkan kebencian negatif dan ceremony emosional sesaat tapi ia adalah ratapan yang melahirkan transformasi diri dan spirit perubahan sosial . Duka Husain bukan duka pasif. Itu adalah duka yang melahirkan tekad, kesedihan yang melahirkan gerak, dan penderitaan yang melahirkan solidaritas kemanusiaan yang bersifat universal.

Karbala mengajarkan bahwa keberpihakan kepada yang lemah adalah hukum moral yang bersifat fitrawi, bukan pilihan opsional. Bahwa diam di hadapan kezaliman adalah bentuk kekafiran sosial yang nyata . Bahwa agama tanpa keberanian moral hanyalah topeng pragmatisme dan egoistik.

Islam Tanpa Karbala: Keterputusan Spirit Perlawanan

Keterputusan umat Islam dari sejarah Karbala bukan sekadar kehilangan narasi tragis, tetapi kehilangan sumbu etika profetik. Umat tercerabut dari dimensi terdalam Islam: keberanian eksistensial untuk melawan kezaliman dengan akhlak mulia, bukan dengan kemarahan destruktif. Karbala adalah laboratorium spiritual di mana moralitas diuji bukan saat damai, tetapi di ambang kematian.

Ketika umat tidak lagi mengenal Imam Husain secara substansial, maka Islam pun menyempit hanya menjadi formalitas lima rukun, bukan gerakan ruhani yang membebaskan. Amar makruf dan nahi mungkar tidak lagi dianggap keharusan, melainkan slogan. Padahal di Karbala, dua prinsip itu menjelma darah dan nyawa. Ketika nilai-nilai itu dipisahkan dari sejarah hidupnya, Islam menjadi kering, steril, dan kehilangan daya transformatifnya.

Di titik inilah kita menyaksikan disorientasi umat hari ini: mereka bingung menyikapi kezaliman, gamang bersuara saat ada ketidakadilan. Padahal cinta kepada Husain adalah cinta kepada nilai, bukan sekadar cinta simbolik.

Sikap diam terhadap penjajahan atas Gaza, terhadap sistem dunia yang dibangun di atas kekerasan dan manipulasi, adalah bentuk keterputusan spiritual dari ruh Karbala. Karbala mengajarkan bahwa iman bukan sekadar ibadah individual, tapi juga perlawanan kolektif terhadap sistem bathil—termasuk zionisme yang hari ini menodai nilai kemanusiaan di hadapan mata dunia.

Gaza Hari Ini: Karbala yang Terulang

Apa yang terjadi di Gaza hari ini adalah bentuk Karbala yang lain. Rakyat Palestina, seperti keluarga Husain, sedang dikepung, dibantai, ditinggalkan oleh dunia, dan dikhianati oleh sebagian umat. Anak-anak mati dalam pelukan ibunya. Rumah sakit dibom. Masjid dibungkam. Dan sebagian umat hanya menonton, seperti penduduk Kufah yang bungkam ketika kebenaran berteriak.

Jika Husain tidak sudi membaiat pemimpin fasik, bagaimana mungkin kita hari ini bisa berdamai dengan penjajahan Zionis yang kafir dan terang-terangan membantai? Jika kita diam, maka kita bukan hanya kehilangan kemanusiaan, tapi juga kehilangan warisan Husaini dalam jiwa kita.

Penutup: Menjadi Husain di Tengah Yazid-Yazid Baru

Hari ini, kita tidak melihat Yazid dengan pakaian perang, tapi kita melihat wajahnya dalam berbagai bentuk: dalam kekuasaan yang membungkam, dalam agama yang diperdagangkan dan manipulasi dalil kepentingan duniawi, dalam umat yang memilih diam atas penderitaan Palestina, Rohingya, atau masyarakat tertindas di pelosok negeri.

Maka, setiap tempat adalah Karbala, dan setiap hari adalah Ashura, selama masih ada ketidakadilan dan kemunafikan berjubah agama.

Imam Husain tidak mati. Ia hidup dalam setiap orang yang memilih berdiri ketika yang lain duduk. Ia hidup dalam pena yang menolak diam, dalam suara yang menyuarakan keadilan meski sendiri. Ia hidup… dalam diri kita—jika kita berani memilih kebenaran meski harus kehilangan segalanya. (*)