Payload Logo
a-609420251125191023885.jpg
Dilihat 0 kali

Aji Cahyono, Pemerhati Isu Geopolitik Indonesia, Program Master Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga, Founder Indonesian Coexistence (Dok: pribadi)

OPINI: Menakar Konsekuensi Geopolitik di Balik Gelar Pahlawan Soeharto

Penulis: | Editor: Agu
23 November 2025

Penulis: Aji Cahyono, Pemerhati Isu Geopolitik Indonesia, Program Master Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga, Founder Indonesian Coexistence

KATAKALTIM — Pemberian gelar “Pahlawan Nasional” kepada Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto, pada 10 November 2025, kembali menjadi perbincangan publik, dalam maupun luar negeri.

Klaim pemerintah, keputusan tersebut bukanlah spontanitas, melainkan proses penganugerahan gelar tersebut sudah melalui berbagai kajian dan usulan formal sesuai persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Gelombang pro-kontra mewarnai berbagai kalangan—mulai dari akademisi, aktivis hingga korban pelanggaran HAM era Orde Baru. Mereka mempersoalkan jejak pemerintahan Soeharto selama 32 tahun berkuasa berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), sistem korupsi, dan otoritarianisme.

Keputusan pemerintah dibawah Presiden Prabowo, memberikan gelar ini memunculkan sinyal kuat bahwa pengakuan terhadap jasa Soeharto dinilai lebih utama dibandingkan penuntasan sejarah yang tuntas.

Di luar perdebatan moral dan historis yang lazim, satu dimensi yang jarang disentuh secara mendalam, yakni risiko geopolitik dan implikasi simbolik internasional, langkah tersebut terhadap citra dan posisi Indonesia di mata dunia.

Oleh karena itu, jika menggunakan perspektif politik luar negeri dan geopolitik kontemporer, bagaimana penghargaan simbolik terhadap figur otoritarian dapat mempengaruhi persepsi global terhadap komitmen Indonesia pada demokrasi, hak asasi manusia, dan tata dunia yang lebih adil.

Bayang Otoritarianisme dan Politik Memori

Soeharto menjabat selama 3 dekade (1966-1998), ia dinilai mampu memimpin stabilitas ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang diakui banyak pihak. Di saat yang sama, ia memelihara sistem kekuasaan yang menindas oposisi, membungkam kebebasan pers, dan diduga melakukan pelanggaran HAM berat, seperti tragedi 1965-1966, Timor Timur, Tanjung Priok dan Talangsari.

Secara ekonomi-politik, Orde Baru dikenal dengan corak developmentalisme—yakni orientasi pembangunan ekonomi yang kuat namun bergantung pada stabilitas politik dikendalikan secara represif.

Indonesia pada masa itu memang berhasil keluar dari krisis inflasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun dibayar dengan mahal—melalui subordinasi terhadap kekuatan modal asing, penguasaan sumber daya oleh kroni, dan pengerdilan masyarakat sipil.

Dalam konteks geopolitik Perang Dingin, Soeharto memainkan peran penting sebagai “benteng anti-komunis” di Asia Tenggara. Setelah tragedi 1965, ia dianggap sebagai mitra strategis Amerika Serikat dan sekutunya.

Dukungan ekonomi dan militer Barat terhadap Orde Baru bukan hanya karena kepentingan stabilitas kawasan, melainkan bagian dari strategi global menahan pengaruh Tiongkok dan Uni Soviet (sekarang Rusia).

Ketika Soeharto berkuasa, Indonesia berubah haluan dari ekonomi berdikari ala Sukarno menjadi ekonomi terbuka yang dikontrol lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.

Hubungan ini membawa investasi besar sekaligus menjerat Indonesia dalam ketergantungan struktural. Ketergantungan ini menjadikan Indonesia rentan terhadap fluktuasi politik global—risiko yang masih diwariskan hingga kini.

Dengan demikian, Soeharto bukan hanya pemimpin nasional, melainkan simbol geopolitik dari orientasi global Indonesia selama tiga dekade—yakni negara integrasi ke orbit kapitalisme Barat melalui rezim stabilitas dan kontrol.

Pemberian gelar Pahlawan Nasional bukan hanya menyoal urusan administrasi atau penghormatan personal. Ia menjadi politik memori—cara negara mengatur narasi masa lalu untuk kepentingan ideologis dan legitimasi politik masa kini.

Dalam teori politik memori (Assmann, 2011), setiap tindakan penghormatan terhadap figur masa lalu sesungguhnya adalah bentuk komunikasi politik tentang apa yang ingin diingat dan apa yang sengaja dilupakan.

Ketika wacana gelar pahlawan untuk Soeharto muncul, persoalan bukan hanya “jasa pembangunan” atau “lama masa kepemimpinan” tetapi tentang narasi apa yang sedang dibangun oleh negara mengenai relasi antara kekuasaan dan kebenaran sejarah. Apakah ini bagian dari upaya rekonsiliasi nasional, atau sebuah revisi historis yang mengaburkan pelanggaran masa lalu ?

Secara simbolik, pemberian gelar pahlawan kepada figur secara internasional identik dinilai sebagai pelanggar HAM dan korupsi dapat dipersepsikan sebagai langkah mundur dari semangat reformasi dan demokratisasi yang telah diperjuangkan sejak 1998.

Lebih jauh, keputusan semacam itu berpotensi menimbulkan gesekan geopolitik simbolik dengan jejaring masyarakat sipil internasional, lembaga HAM global, serta mitra strategis yang menilai Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara.

Risiko Geopolitik: Stabilitas atau Demokrasi

Dalam diplomasi modern, simbol politik memainkan peran besar dalam membentuk persepsi global. Penghargaan negara terhadap figur otoritarian dapat memunculkan pertanyaan serius tentang arah demokrasi Indonesia di mata dunia.

Ini penting karena reputasi demokrasi Indonesia selama dua dekade terakhir sering dijadikan modal diplomatik dalam forum G20, ASEAN, dan Dewan HAM PBB.

Laporan The Economist Intelligence Unit (2024) menempatkan Indonesia dalam kategori “flawed democracy”, dengan skor 6,7 dari 10. Sementara Freedom House (2024) menilai status kebebasan Indonesia “partly free” dengan catatan menurun sejak 2019 akibat pembatasan kebebasan sipil, tekanan terhadap jurnalis dan impunitas aparat.

Dalam konteks seperti ini, penghargaan terhadap Soeharto berpotensi memperkuat persepsi kemunduran demokrasi (democratic backsliding) di Indonesia.

Dunia internasional mungkin akan membaca langkah tersebut sebagai tanda bahwa rezim politik saat ini sedang berupaya menormalkan warisan otoritarianisme dengan dalih stabilitas nasional.

Lebih jauh lagi, pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto bisa dimanfaatkan oleh kekuatan politik konservatif dan populis di kawasan—terutama yang berupaya menghidupkan kembali pola pemerintahan sentralistik dan anti-demokrasi sebagai pembenaran moral.

Artinya, dampak simbolik tak hanya bersifat domestik, melainkan beresonansi dalam politik regional Asia Tenggara, dimana model “demokrasi terkelola” (managed democracy) sering dijadikan alasan untuk membenarkan represi.

Argumen pembela Soeharto sering kali bertumpu pada klaim bahwa Orde Baru berhasil membawa stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi. Namun, dalam kerangka geopolitik kontemporer, stabilitas yang lahir dari represi justru berpotensi melemahkan ketahanan nasional jangka panjang.

Ketahanan sejati di era global tidak lagi ditentukan semata oleh kekuatan militer atau kendali politik, melainkan kekuatan masyarakat sipil, transparansi institusi, dan legitimasi moral negara di mata warganya sendiri maupun dunia.

Negara-negara seperti Korea Selatan dan Taiwan menunjukkan bahwa keberanian menghadapi masa lalu otoritarian justru memperkuat posisi mereka sebagai demokrasi yang dihormati.

Dalam konteks inilah, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto berisiko memperlemah ketahanan geopolitik normatif Indonesia—yakni kapasitas negara mempertahankan nilai-nilai dasar seperti HAM, demokrasi, dan keadilan sosial sebagai fondasi soft power-nya.

Indonesia sering menampilkan diri sebagai “penjaga demokrasi dan Islam moderat” di kancah global. Namun pesan moral ini akan berkontradiksi bila negara justru memuliakan figur yang di masa lalu menjadi simbol represi terhadap kebebasan dan pluralisme politik.

Mitra Internasional, Dunia Islam dan Tantangan Politik Domestik

Soeharto juga memiliki dimensi geopolitik dalam konteks hubungan luar negeri. Ia pernah berperan dalam diplomasi ASEAN, memainkan peran kunci dalam pembentukan APEC, dan menjaga hubungan stabil dengan negara-negara Barat dan dunia Islam.

Namun, era itu juga diwarnai kebijakan luar negeri yang state-centric, sangat terpusat pada kepentingan kekuasaan domestik.

Jika gelar pahlawan diberikan, muncul interpretasi beragam di dunia internasional. Di dunia Barat, langkah ini dibaca sebagai sinyal konservatisme politik dan penurunan standar akuntabilitas HAM.

Di dunia Islam, sebagian mungkin melihatnya sebagai penghormatan kepada tokoh stabilitas Asia Tenggara, tetapi sebagian lain—kalangan progresif memandangnya sebagai glorifikasi terhadap kekuasaan yang menindas ekspresi politik Islam di masa lalu.

Kondisi ini menciptakan ambiguitas diplomatik—Indonesia mungkin kehilangan posisi moral yang selama ini menjadi kekuatannya dalam berbagai forum, terutama ketika membicarakan isu-isu kemanusiaan seperti Palestina, Rohingya, atau perdamaian global.

Negara yang memuliakan pelaku represi di masa lalu akan sulit dipercaya ketika berbicara tentang keadilan dan HAM di tingkat global.

Tidak dapat diabaikan, wacana penganugerahan gelar pahlawan kepada Soeharto juga memiliki dimensi politik domestik. Ia muncul dalam konteks meningkatnya romantisisme terhadap masa Orde Baru di kalangan generasi muda, yang sering membandingkan “keterlibatan masa lalu” dengan “kekacauan politik masa kini”.

Fenomena ini diperkuat dengan algoritma media sosial yang menyebarkan narasi nostalgia—sebuah gejala disebut authoritarian nostalgia dalam kajian politik transisi (Haggard & Kaufman, 2021).

Narasi ini sering meminjam simbol-simbol lama untuk membangun legitimasi baru bagi kekuatan politik kontemporer yang memiliki afiliasi ideologis atau genealogis dengan Orde Baru.

Dalam konteks ini, pemberian gelar pahlawan menjadi instrumen politik memori untuk merehabilitasi kekuasaan lama dalam wajah baru.

Ia bukan sekadar penghargaan, melainkan bagian dari strategi geopolitik domestik—menata ulang sejarah untuk menata ulang arah kekuasaan masa depan.

Risiko terbesar bukan hanya bagi demokrasi, melainkan unity in diversity itu sendiri. Sebab, negara mengabaikan luka kolektif masa lalu, ia juga mengikis kepercayaan publik terhadap proses transisi demokrasi yang adil.

Membaca Ulang Konsep “Pahlawan” dan Geopolitik Ingatan

Kata “pahlawan” dalam tradisi bangsa Indonesia selalu mengandung nilai moral, bukan hanya soal prestasi politik. Pahlawan merupakan mereka yang berkorban demi rakyat, menegakkan keadilan, dan memerdekakan manusia dari penindasan.

Dalam konteks modern, heroisme juga harus dibaca ulang sebagai keberanian menegakkan kebenaran, bukan sekadar keberhasilan memimpin pembangunan.

Negara yang memberikan penghargaan kepada figur yang kontroversial tanpa penyelesaian sejarah yang jujur mereduksi makna kepahlawanan menjadi alat legitimasi politik.

Sebagai negara demokrasi yang terus berkembang, Indonesia perlu menegaskan bahwa pahlawan nasional adalah simbol etika publik—bukan simbol kekuasaan.

Menghargai jasa pembangunan tidak harus diikuti dengan pemutihan sejarah. Jalan tengah yang lebih bijak adalah melalui pendidikan sejarah kritis dan rekonsiliasi yang terbuka, bukan glorifikasi yang menutup luka.

Dalam geopolitik kontemporer, kekuatan sebuah negara tidak hanya diukur dari kemampuan ekonomi atau militernya, tetapi juga dari kekuatan moral narasinya.

Indonesia dikenal dunia sebagai negara berhasil melakukan transisi damai dari otoritarianisme menuju demokrasi. Reputasi ini adalah aset diplomatik sekaligus modal geopolitik yang tak ternilai.

Namun reputasi itu bisa tergerus bila negara sendiri justru merayakan figur yang menjadi simbol pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan yang kini dijunjung tinggi. Dunia akan membaca, dan diplomasi moral Indonesia bisa kehilangan daya pengaruhnya.

Menimbang risiko geopolitik, diplomatik, dan moral tersebut, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto seharusnya tidak dilihat semata sebagai penghormatan pribadi, melainkan keputusan politik berisiko tinggi yang menyangkut ingatan kolektif bangsa dan posisi Indonesia di dunia.

Di tengah tantangan global yang semakin kompleks, Indonesia membutuhkan legitimasi moral, bukan glorifikasi historis. Sebab dalam politik dunia yang semakin terbuka, bangsa yang kuat bukanlah yang melupakan masa lalunya, melainkan berani menghadapinya dengan jujur. (*)