Payload Logo
w-291220251125190432627.jpg
Dilihat 0 kali

Putri Wulandari, Mahasiswi Ilmu Pemerintahan Universitas Mulawarman (dok: Pribadi)

OPINI: Polemik Program Utama Bergizi atau Beracun

Penulis: | Editor: Ali
23 Oktober 2025

Penulis: Putri Wulandari (Mahasiswi Ilmu Pemerintahan Universitas Mulawarman)

KATAKALTIM — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu kebijakan besar yang menjadi sorotan publik sejak masa Kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Gagasan ini sebenarnya bukan hal baru, karena telah dicetuskan oleh Prabowo Subianto sejak tahun 2006 melalui gerakan yang dikenal dengan nama “Revolusi Putih”.

Pada masa itu, program Revolusi Putih berfokus pada pemberian susu gratis kepada anak-anak sekolah dengan tujuan memperbaiki status gizi, meningkatkan daya tahan tubuh, dan menekan angka stunting di Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, gagasan tersebut berkembang menjadi program unggulan Prabowo sebagai Presiden Indonesia dengan cakupan yang lebih luas dan menyeluruh, hingga akhirnya dikenal dengan nama Makan Bergizi Gratis (MBG).

Dalam masa kampanye Pemilu 2024, Prabowo menjadikan MBG sebagai janji politik utama yang memiliki daya tarik besar di masyarakat. Program ini dinilai sebagai solusi konkret terhadap dua permasalahan mendasar bangsa, yaitu ketahanan pangan dan peningkatan kualitas gizi anak.

Melalui program MBG, pemerintah berkomitmen untuk memberikan makanan bergizi gratis bagi anak-anak sekolah dasar, ibu hamil, dan balita agar dapat memperbaiki status gizi masyarakat sekaligus menurunkan angka stunting yang masih tinggi di Indonesia.

Selain itu, MBG juga dirancang untuk memperkuat ekonomi rakyat dengan melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal sebagai penyedia bahan makanan dan pengelola dapur produksi.

Pendekatan ini diharapkan mampu menciptakan dampak ganda (multiplier effect), yaitu meningkatkan kualitas gizi anak-anak sekaligus membuka lapangan pekerjaan baru di sektor pangan. Tidak mengherankan apabila MBG mendapat sambutan positif dari masyarakat karena dinilai menyentuh kebutuhan dasar rakyat.

Dukungan yang besar terhadap program ini bahkan menjadi salah satu faktor penting kemenangan Prabowo dan Gibran dalam Pemilu 2024, karena masyarakat melihatnya sebagai kebijakan yang humanis dan relevan dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.

Namun, meskipun memiliki tujuan yang sangat baik, pelaksanaan program MBG di lapangan justru menimbulkan banyak persoalan serius. Sejak awal pelaksanaannya, sejumlah kasus keracunan massal dilaporkan terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.

Kasus ini tidak hanya menimbulkan korban sakit, tetapi juga menimbulkan keresahan di masyarakat dan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Berdasarkan data dari Badan Gizi Nasional (BGN) hingga Oktober 2025, tercatat lebih dari 8.500 kasus keracunan yang diduga berkaitan dengan makanan dari program MBG.

Beberapa daerah yang melaporkan kejadian tersebut antara lain Bandung Barat (Jawa Barat), di mana ratusan siswa dari SMPN 1, SMKN 1, dan SDN 1 Cisarua dilaporkan keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program ini.

Kasus serupa terjadi di Yogyakarta dan Sleman (DIY) dengan ratusan siswa SMA yang mengalami gejala yang sama. Di wilayah Tomori (Sulawesi Utara), Wonorejo (Jawa Tengah), Tulungagung (Jawa Timur), Tanah Sareal (Bogor), Lebong (Bengkulu), hingga Sumba Timur (NTT), peristiwa serupa juga dilaporkan.

Kasus-kasus tersebut menjadi bukti bahwa implementasi MBG dilapangan masih jauh dari kata siap dan belum diiringi dengan sistem pengawasan yang kuat.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya masalah ini. Salah satunya adalah ketidaksiapan sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam pelaksanaan program.

Banyak dapur dan unit layanan gizi (SPPG) yang baru dibentuk secara mendadak, sehingga petugasnya belum memiliki pengalaman dan keterampilan dalam mengelola makanan dalam skala besar.

Selain itu, penggunaan bahan makanan yang tidak layak konsumsi, proses distribusi yang kurang higienis, serta pelanggaran terhadap prosedur operasi standar (SOP) juga menjadi penyebab utama terjadinya keracunan. Beberapa laporan juga menyebutkan bahwa kondisi air yang tidak bersih serta sanitasi lingkungan yang buruk turut memperburuk situasi ini.

Dari sisi pembiayaan, program MBG didanai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan total dana mencapai Rp335 triliun. Rinciannya, sekitar 67% atau Rp223,6 triliun berasal dari anggaran Pendidikan karena penerima manfaat utamanya adalah siswa sekolah.

Kemudian, 7% atau Rp24,7 triliun berasal dari anggaran kesehatan yang dialokasikan bagi ibu hamil dan balita, serta 6% atau Rp19,7 triliun dari fungsi ekonomi untuk mendukung ketahanan pangan nasional.

Pemerintah daerah juga diminta ikut menyalurkan dukungan melalui APBD, meskipun hal ini cukup berat mengingat banyak daerah sedang mengalami keterbatasan fiskal akibat pengurangan dana transfer dari pusat.

Melihat dari berbagai permasalahan tersebut, banyak pihak menilai bahwa pelaksanaan MBG dilakukan terlalu terburu-buru tanpa perencanaan yang matang. Dalam program berskala nasional seperti ini, keamanan pangan seharusnya menjadi prioritas utama yang tidak boleh diabaikan.

Makanan yang disalurkan untuk masyarakat, terutama anak-anak sekolah, harus benar-benar memenuhi standar gizi, kebersihan, dan kualitas yang ketat. Satu kesalahan kecil dalam pengolahan atau distribusi dapat menimbulkan dampak besar terhadap Kesehatan masyarakat dan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Pemerintah perlu segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh aspek pelaksanaan program. Evaluasi ini meliputi peningkatan kompetensi SDM melalui pelatihan dan sertifikasi bagi pengelola dapur, memperbaiki sistem pengawasan bahan makanan, serta melakukan inspeksi rutin terhadap proses produksi dan distribusi makanan.

Selain itu, pemerintah juga harus menegakkan sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang lalai dalam menjalankan prosedur keamanan pangan, agar kejadian serupa tidak terulang.

Selain memperkuat sistem pengawasan, pemerintah juga dapat mempertimbangkan alternatif mekanisme pelaksanaan, misalnya melalui program “Voucher Gizi Nasional”. Dengan sistem ini, masyarakat tidak lagi menerima makanan siap saji secara massal, melainkan diberikan voucher yang dapat digunakan untuk membeli makanan bergizi di warung, restoran, atau UMKM lokal yang telah tersertifikasi.

Pendekatan ini dinilai lebih efisien, aman, dan berpotensi memberdayakan ekonomi daerah karena melibatkan pelaku usaha lokal secara langsung.

Selain dari aspek teknis, Pendidikan gizi dan sanitasi juga menjadi bagian penting dalam keberhasilan program MBG. Pemerintah perlu mengalokasikan sebagian dana untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat, terutama kepada para siswa, orang tua, dan pihak sekolah mengenai pentingnya menjaga kebersihan makanan dan memilih bahan pangan yang bergizi.

Dengan adanya edukasi yang berkelanjutan, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pola makan sehat dapat meningkat, dan manfaat program MBG pun bisa dirasakan secara jangka Panjang.

Meskipun hanya sebagian kecil penerima manfaat yang mengalami keracunan, kasus-kasus tersebut tidak bisa dianggap remeh. Dalam konteks kebijakan publik, satu kesalahan kecil bisa berdampak besar pada tingkat kepercayaan masyarakat.

Program yang semestinya menjadi solusi terhadap permasalahan gizi justru dapat menimbulkan masalah baru apabila tidak dilaksanakan dengan hati-hati. Oleh karena itu, transparansi, profesionalitas, dan pengawasan publik menjadi elemen penting dalam menjaga kredibilitas program ini.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yaitu ide besar dengan tujuan yang sangat baik, tetapi pelaksanaannya masih memerlukan perbaikan serius diberbagai aspek.

Pemerintah harus mampu menyeimbangkan antara ambisi dan kesiapan teknis agar program ini benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

Jika dikelola secara profesional, dengan pengawasan ketat, pelatihan SDM yang memadai, serta keterlibatan UMKM lokal yang berkompeten, maka MBG berpotensi menjadi program strategis yang membawa perubahan besar bagi bangsa.

Program MBG tidak hanya dilihat sebagai proyek politik, tetapi sebagai investasi jangka panjang untuk membangun generasi muda yang sehat dan produktif.

Meningkatkan gizi anak-anak sekolah bukan hanya tentang memberi makan, melainkan tentang menyiapkan masa depan Indonesia yang lebih baik. Dengan evaluasi yang menyeluruh, sistem yang transparan, dan pelaksanaan yang bertanggung jawab, cita-cita Indonesia bebas stunting bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan. (*)