Penulis: Naufal Ahmad Afifi (Pengamat Ekonomi dan Pendidikan Jabodetabek Raya)
JAKARTA — Pemerintah menegaskan bahwa revitalisasi sekolah bukan sekadar proyek renovasi jangka pendek, melainkan investasi strategis untuk 10 hingga 20 tahun ke depan. Dengan sekolah yang lebih layak, generasi muda diharapkan tumbuh lebih produktif dan siap bersaing di tingkat global.
Langkah ini lahir dari kenyataan bahwa kondisi sekolah di Indonesia masih menghadapi tantangan serius. Data Kemendikbudristek mencatat, hingga 2023 terdapat lebih dari 160 ribu ruang kelas dalam kondisi rusak ringan hingga berat, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
Di Papua, sebagian siswa masih harus belajar di ruang darurat atau balai desa, sementara di Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan, banyak sekolah yang tidak memiliki laboratorium atau perpustakaan. Fenomena ini memperlebar kesenjangan mutu pendidikan antara kota besar dan daerah terpencil.
Program revitalisasi sekolah pun menjadi salah satu prioritas nasional untuk menjawab persoalan tersebut. Fokusnya bukan hanya memperbaiki dinding yang retak atau atap yang bocor, tetapi juga membangun sarana yang mendukung pembelajaran abad ke-21, mulai dari perpustakaan modern, laboratorium IPA, ruang guru yang representatif, hingga Unit Kesehatan Sekolah (UKS) yang layak.
Revitalisasi diyakini akan membuat proses belajar mengajar lebih efektif. Hal ini sejalan dengan penelitian Jannah & Darmawan (2024) yang menemukan bahwa sekolah dengan fasilitas memadai tidak hanya meningkatkan motivasi belajar siswa, tetapi juga memperkuat kepercayaan diri guru dalam mengajar. Sebaliknya, sekolah dengan ruang kelas rusak dan minim fasilitas memperbesar risiko ketertinggalan akademik.
Pemerintah percaya, pendidikan adalah “senjata paling ampuh” untuk mencetak sumber daya manusia (SDM) unggul yang mampu menghadapi kompetisi global. Dengan dukungan revitalisasi sekolah, generasi muda diharapkan tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki keterampilan, karakter, dan daya saing yang setara dengan negara lain.
Guru sebagai Agen Peradaban
Revitalisasi fisik sekolah hanyalah satu sisi dari upaya menciptakan pendidikan bermutu. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menegaskan bahwa peran guru tetap menjadi inti dari transformasi pendidikan nasional.
“Guru bukan hanya agen pembelajaran, melainkan agen peradaban berkelanjutan bangsa,” kata Mu’ti dalam acara Sarasehan Guru Katolik se-Jakarta Barat, Sabtu (6/9).
Ia menekankan bahwa guru bukan sekadar pengajar materi, melainkan pendamping yang mampu menumbuhkan kemampuan kritis, empati, dan sopan santun—nilai yang tidak dapat diajarkan lewat buku teks semata.
Untuk memperkuat kapasitas pendidik, Kemendikdasmen telah melakukan berbagai pelatihan. Tahun 2025, tercatat lebih dari 120.000 guru Bimbingan Konseling (BK) sudah mengikuti program peningkatan kompetensi, sementara sekitar 380.000 guru lainnya dilatih dalam metode Deep Learning, termasuk guru non-BK, agar memiliki pemahaman dasar konseling. Program ini dirancang agar setiap guru tidak hanya mampu mengajar, tetapi juga memahami kebutuhan akademik dan sosial siswa.
Pernyataan Mu’ti mendapat apresiasi luas. Romo Agustinus Suryadi, Kepala Paroki Tomang Gereja Maria Bunda Karmel, menyebut bahwa semangat yang dibawa Mu’ti memberi dorongan baru bagi tenaga pendidik.
“Kami meyakini penguatan karakter membutuhkan kolaborasi berbagai pihak. Kami siap mendukung program pemerintah demi terwujudnya pendidikan bermutu,” ujarnya.
Sementara itu, Yolenta Ngura, guru SDS Santo Kristoforus I, Grogol, membagikan pengalamannya mengikuti pelatihan Deep Learning pada Juni–Juli 2025.
“Lewat pelatihan itu, saya belajar strategi pembelajaran kontekstual yang membuat murid lebih kritis,” tuturnya.
Yolenta menambahkan, setelah pelatihan, ia melihat peningkatan partisipasi aktif siswa hingga 30% lebih tinggi dibanding sebelumnya, terutama dalam diskusi kelas.
Fenomena ini selaras dengan riset World Bank 2023, yang mencatat bahwa kualitas guru menyumbang hampir 40% variasi capaian belajar siswa di Indonesia.
Namun, laporan yang sama juga menyoroti bahwa distribusi kompetensi guru masih timpang. Sekitar 22% daerah di Indonesia kekurangan guru mata pelajaran inti seperti matematika dan IPA, sementara di kota-kota besar, jumlah guru relatif berlebih.
Untuk menjawab tantangan itu, Kemendikdasmen meluncurkan sejumlah program penguatan karakter bagi siswa. Salah satunya adalah 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, yang mendorong kebiasaan bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur cepat. Program ini dipadukan dengan “Pagi Ceria”, sebuah kegiatan pra-pembelajaran yang berisi senam, menyanyikan lagu Indonesia Raya, serta doa bersama.
“Karakter tidak hanya diajarkan, tetapi dibiasakan. Sekolah harus menjadi tempat pembentukan pribadi yang sehat secara fisik, mental, dan sosial,” ujar Mu’ti.
Selain itu, peran guru BK diperkuat agar lebih berfungsi sebagai pendamping aktif bagi siswa. Tahun 2024, Kemendikdasmen mencatat angka kasus perundungan di sekolah masih mencapai 34% menurut survei KPAI. Dengan pelatihan konseling bagi seluruh guru, diharapkan angka tersebut dapat ditekan sekaligus menciptakan iklim sekolah yang aman dan inklusif.
Harapan besar kini terletak pada sinergi. Revitalisasi sekolah bukan hanya memperbaiki bangunan, tetapi juga menghidupkan kembali ruh pendidikan yang berpihak pada anak. Guru diharapkan menjadi garda terdepan, tidak hanya mencetak lulusan berprestasi akademik, tetapi juga membangun generasi dengan karakter kuat, siap menghadapi dunia yang kian kompleks.
Digitalisasi sebagai Pendukung Revitalisasi
Revitalisasi sekolah tidak hanya menyentuh aspek fisik bangunan, tetapi juga berjalan beriringan dengan percepatan digitalisasi pendidikan. Pemerintah menegaskan bahwa sekolah masa depan harus mampu mengintegrasikan teknologi dalam proses pembelajaran.
Karena itu, program revitalisasi tahun 2025 disinergikan dengan pengadaan smart classroom, yang dilengkapi dengan smart TV, proyektor interaktif, komputer, serta jaringan internet berkecepatan tinggi.
Tujuan utamanya jelas: memperluas akses terhadap pembelajaran digital, terutama bagi sekolah di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Dengan fasilitas ini, siswa di Papua, Maluku, atau Nusa Tenggara diharapkan memiliki kesempatan belajar yang sama dengan siswa di Jakarta atau Surabaya.
“Peningkatan sarana dan prasarana menjadi prioritas. Tahun ini, 10.440 satuan pendidikan direvitalisasi. Dana pembangunan dikirim langsung ke rekening sekolah untuk mempercepat pelaksanaan sekaligus mendorong perputaran ekonomi lokal,” jelas Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, dalam keterangan pers, Rabu (10/9).
Integrasi digital ini dinilai sebagai langkah strategis untuk menjembatani kesenjangan sumber belajar. Data Kemendikdasmen 2024 menunjukkan, sekitar 42% sekolah di wilayah 3T belum memiliki akses internet stabil, sementara lebih dari 35% ruang kelas di daerah pedesaan masih minim perangkat TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi). Fakta ini memperlebar jurang ketidaksetaraan antara sekolah perkotaan dan pedesaan.
Melalui smart classroom, siswa dapat mengakses materi pembelajaran dari portal nasional maupun sumber belajar global. Guru juga didorong untuk mengikuti pelatihan literasi digital. Pada 2024, tercatat lebih dari 250.000 guru telah mendapatkan pelatihan penggunaan perangkat digital dalam pembelajaran, namun masih ada tantangan di lapangan.
Sebagian guru di daerah terpencil mengaku kesulitan mengoperasikan perangkat baru karena keterbatasan pelatihan tatap muka dan kendala jaringan.
Meski demikian, kebijakan ini memberikan dampak positif. Sebuah studi oleh UNICEF dan Kemendikbudristek (2024) menemukan bahwa sekolah yang telah menerapkan pembelajaran digital mengalami peningkatan partisipasi siswa hingga 28%, terutama pada mata pelajaran sains dan bahasa asing.
Menjawab Tantangan KKN
Namun, di balik semangat besar program revitalisasi sekolah, tantangan yang paling krusial justru ada pada integritas pelaksanaan. Sejarah panjang pengelolaan dana pendidikan di Indonesia kerap diwarnai praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menggerus kepercayaan publik.
Survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2024 mencatat bahwa 12 persen sekolah tidak menggunakan dana BOS sesuai peruntukan, dan sekitar 7 persen masih melakukan pungutan liar terhadap orang tua siswa. Angka ini mengingatkan publik bahwa kebocoran anggaran di sektor pendidikan bukan fenomena baru.
Fenomena terbaru bahkan menunjukkan hal serupa. Pada awal 2025, aparat penegak hukum membongkar dugaan penyalahgunaan dana hibah pendidikan di Jawa Timur senilai lebih dari Rp 40 miliar, yang seharusnya digunakan untuk peningkatan sarana sekolah.
Kasus ini menambah daftar panjang praktik penyimpangan, setelah sebelumnya pada 2023 publik juga dikejutkan oleh temuan BPK mengenai dana BOS di 15 kabupaten/kota yang digunakan untuk belanja di luar kebutuhan operasional sekolah, termasuk pembelian barang yang tidak terkait langsung dengan pendidikan.
Situasi ini menegaskan bahwa revitalisasi sekolah berisiko menjadi “proyek besar” yang rentan dimanfaatkan oleh oknum untuk keuntungan pribadi. “Revitalisasi harus bersih dari KKN. Kalau tidak, hasil pembangunan hanya akan menjadi monumen kosong yang tidak memberi manfaat,” ujar seorang pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta saat dimintai tanggapan.
Menyadari potensi ini, Kemendikdasmen menekankan perlunya tata kelola berbasis transparansi digital, pelibatan publik, dan pendampingan akademisi.
Sistem audit daring yang kini mulai diimplementasikan memungkinkan setiap transaksi keuangan sekolah terekam dan dapat dipantau oleh kementerian maupun publik. Dengan cara ini, ruang gerak untuk praktik pungutan liar atau manipulasi laporan keuangan diharapkan semakin sempit.
Selain itu, keterlibatan komite sekolah, orang tua siswa, serta masyarakat setempat menjadi instrumen penting dalam pengawasan. Mereka diberi ruang untuk ikut memastikan bahwa dana benar-benar dipakai sesuai kebutuhan riil siswa—mulai dari perbaikan ruang kelas, penyediaan laboratorium, hingga pengadaan fasilitas sanitasi.
Sementara itu, perguruan tinggi dilibatkan sebagai mitra pendamping teknis, tidak hanya untuk memastikan kualitas pembangunan sesuai standar, tetapi juga untuk membantu sekolah dalam menyusun laporan keuangan yang akuntabel. Model pengawasan kolaboratif ini diyakini dapat menekan praktik KKN yang selama ini berulang dalam proyek pendidikan.
Tetapi sejumlah aktivis pendidikan menilai langkah tersebut belum cukup. Mereka mengingatkan bahwa tanpa sanksi tegas dan konsisten, berbagai mekanisme pengawasan hanya akan menjadi formalitas. “Digitalisasi anggaran itu penting, tapi jangan berhenti di dashboard. Harus ada tindak lanjut nyata setiap kali ditemukan indikasi penyimpangan. Jika tidak, KKN akan tetap subur, hanya berganti wajah,” kritik salah satu aktivis dari Koalisi Pendidikan Antikorupsi.
Revitalisasi sekolah memang menjadi investasi jangka panjang untuk generasi mendatang. Namun, investasi sebesar Rp 17,1 triliun ini akan sia-sia jika tidak dikelola dengan integritas penuh. Publik menaruh harapan besar bahwa program ini bukan hanya membangun gedung baru, melainkan juga membangun kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan.
Penutup
Revitalisasi sekolah tidak boleh dipandang sebagai pekerjaan seremonial yang berhenti setelah gedung selesai dicat atau toilet dibangun. Ia adalah proyek peradaban yang hasilnya baru akan terlihat satu atau dua dekade ke depan, ketika murid-murid hari ini tumbuh menjadi pemimpin masa depan.
Target 13.000 sekolah yang direvitalisasi pada 2025 memang angka besar, namun yang lebih penting adalah memastikan bahwa setiap sekolah benar-benar berubah menjadi ruang belajar yang aman, nyaman, dan inspiratif. Anggaran Rp 17,1 triliun hanya akan bernilai jika dikelola dengan transparan, tanpa celah bagi praktik korupsi atau penyimpangan.
Revitalisasi juga harus jadi momentum membangun budaya baru: sekolah yang terbuka, guru yang diberdayakan, serta masyarakat yang merasa memiliki. Hanya dengan kombinasi itu, pendidikan bisa melahirkan generasi emas Indonesia—generasi yang tidak hanya berdaya saing global, tapi juga berakar kuat pada nilai integritas dan kebersamaan. (*)
Disclaimer: Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi tulisan. Seluruh konten dikembalikan kepada penulis.







