Penulis: Rahma Akmal, Pengamat Ekonomi dan Pendidikan Cilacap Raya
KATAKALTIM — Dunia kini bergerak cepat menuju era industri 5.0, sebuah fase peradaban baru di mana kreativitas, inovasi, serta penguasaan teknologi digital menjadi kunci persaingan antarbangsa.
Di tengah gempuran kecerdasan buatan, robotika, hingga big data, pendidikan menjadi pondasi yang tak bisa ditawar. Namun realitas di lapangan masih kontras: di berbagai pelosok negeri, ribuan siswa Indonesia belajar di ruang kelas sempit dengan kursi reyot, dinding retak, tanpa laboratorium sains, dan perpustakaan seadanya.
Ketimpangan sarana pendidikan ini bukan hanya soal kenyamanan belajar, tetapi menyangkut masa depan bangsa. Sejauh mana Indonesia mampu menyiapkan generasi emas 2045 akan sangat ditentukan oleh kualitas sekolah hari ini. Berbagai riset menguatkan fakta tersebut.
Jannah & Darmawan (2024) mencatat bahwa sekolah dengan sarana memadai terbukti mampu meningkatkan motivasi belajar siswa, memperbaiki prestasi akademik, serta menumbuhkan rasa percaya diri guru.
Sebaliknya, sekolah dengan infrastruktur terbatas memperlebar jurang kesenjangan antara daerah maju dan tertinggal, bahkan menciptakan disparitas kesempatan di pasar kerja.
Menyadari urgensi itu, pemerintah menggulirkan program revitalisasi sekolah sebagai jawaban atas tantangan zaman. Program ini tidak hanya berfokus pada membangun ruang kelas atau toilet, melainkan sebuah strategi nasional yang komprehensif: memperkuat fondasi pendidikan dasar dan menengah, menghadirkan ruang belajar yang aman, sehat, modern, serta berbasis digital.
Revitalisasi sekolah diharapkan melahirkan ekosistem pendidikan yang tidak hanya ramah bagi siswa, tetapi juga mendukung guru untuk berinovasi, masyarakat untuk terlibat, serta bangsa untuk melangkah lebih percaya diri menghadapi persaingan global.
Prioritas Revitalisasi
Program revitalisasi sekolah pada 2025 menargetkan 10.440 satuan pendidikan sebagai prioritas. Fokus perbaikan mencakup ruang kelas, ruang guru, ruang administrasi, perpustakaan, laboratorium, toilet, hingga Unit Kesehatan Sekolah (UKS).
Dana sebesar Rp 17,1 triliun disiapkan untuk program ini. Anggaran yang sebelumnya dikelola Kementerian Pekerjaan Umum (PU) kini dialihkan ke Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) agar lebih tepat sasaran sesuai kebutuhan sekolah.
Tujuan utamanya jelas: meningkatkan akses dan mutu layanan pendidikan dengan menyediakan sarana prasarana yang layak, serta menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan mendukung perkembangan siswa.
Revitalisasi dilaksanakan dengan mekanisme swakelola. Dana bantuan pemerintah disalurkan langsung ke rekening sekolah untuk dikelola secara mandiri melalui Panitia Pembangunan Satuan Pendidikan (P2SP). Panitia ini melibatkan masyarakat setempat dan didampingi tim teknis dari perguruan tinggi, dinas pendidikan, dan kementerian.
Direktur Jenderal PAUD Dikdasmen Kemendikdasmen, Gogot Suharwoto, menegaskan, model ini bukan hal baru.
“Sekolah diberi otoritas penuh untuk merancang, membelanjakan, dan mempertanggungjawabkan anggaran secara transparan dan akuntabel, dengan dukungan langsung dari masyarakat dan tenaga profesional. Swakelola bukan hal baru—pendekatan ini telah digunakan lebih dari 20 tahun dalam kerangka manajemen berbasis sekolah (MBS),” jelas Gogot.
Terkait dugaan pungutan liar (pungli) dana revitalisasi di beberapa TK di Jawa Barat, Gogot menegaskan kedua sekolah tersebut masih merupakan sasaran SK tahap 2 yang diusulkan sesuai hasil konfirmasi dinas pendidikan kabupaten.
Ia kembali mengingatkan bahwa pelibatan masyarakat menjadi benteng pengawasan.
“Revitalisasi sekolah yang dilaksanakan secara swakelola ini melibatkan masyarakat secara gotong royong, harapannya dapat mendorong partisipasi masyarakat dan menggerakkan roda ekonomi lokal, sekaligus memperkuat rasa kepemilikan (sense of belonging) masyarakat terhadap sekolah,” pungkasnya.
Motor Penggerak Pertumbuhan Ekonomi Desa
Program revitalisasi sekolah bukan hanya tentang pembangunan infrastruktur, tetapi juga menyentuh aspek ekonomi lokal. Direktur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Nia Nurhasanah, menilai pendekatan swakelola menghadirkan dampak ganda.
“Melalui swakelola, sekolah dapat membeli bahan bangunan langsung dari toko-toko material di sekitar sekolah, sehingga dana bantuan pemerintah dapat langsung menyentuh pelaku usaha lokal. Tukang bangunan, pengrajin, dan pekerja lokal juga dilibatkan, sehingga program ini menjadi stimulus ekonomi masyarakat,” ujar Nia di Surabaya, Jumat (4/7).
Nia menambahkan, pengadaan barang dan jasa yang dilakukan di sekitar sekolah menciptakan perputaran ekonomi sehat.
“Toko bangunan, penyedia pasir dan batu, jasa angkut, hingga warung makan di sekitar lokasi proyek ikut mendapatkan manfaat. Bukan hanya pembangunan fisik, tetapi ada multiplier effect yang langsung dirasakan masyarakat,” tambahnya.
Program revitalisasi juga dimaknai sebagai upaya memperkuat nilai luhur gotong royong. Masyarakat, komite sekolah, dan guru dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan pembangunan.
Seorang Kepala Sekolah PAUD di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang mengikuti tahap awal program ini, menceritakan bagaimana orang tua turut berpartisipasi.
“Saat orang tua siswa membantu mengecat ruang kelas atau ikut membangun pagar sekolah, ada rasa memiliki yang tumbuh. Ini penting untuk menjaga keberlanjutan fasilitas yang telah dibangun. Sekolah menjadi milik bersama, bukan hanya tanggung jawab pemerintah,” ujarnya.
Dengan keterlibatan aktif masyarakat, sekolah tidak lagi hanya milik negara, melainkan pusat kebersamaan dan kolaborasi komunitas.
Akuntabilitas, Transparansi & Pendampingan Teknis
Untuk memastikan program berjalan sesuai tujuan, Kemendikdasmen menetapkan standar pengawasan ketat. Satuan pendidikan penerima bantuan wajib menyusun rencana kegiatan dan anggaran yang disetujui oleh tim pengelola, termasuk unsur pengawas dari dinas pendidikan dan masyarakat.
Widyaprada Ahli Utama Ditjen PAUD Dikdasmen, Sutanto, menyerukan komitmen penuh agar program berjalan bersih.
“Laksanakan program revitalisasi ini dengan penuh amanah, sesuai dengan Petunjuk Teknis dan Panduan Pelaksanaan yang telah ditetapkan. Kami tidak akan mentolerir sedikit pun adanya penyimpangan, baik dari aspek teknis, administrasi, maupun pengelolaan keuangan. Zero tolerance terhadap pelanggaran adalah prinsip utama kita,” tegasnya.
Sutanto juga menekankan pentingnya komunikasi antara sekolah, dinas pendidikan, perguruan tinggi, hingga Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP).
“Jangan pernah merasa mampu menyelesaikan persoalan sendiri. Segera komunikasikan setiap kendala kepada pihak-pihak terkait agar bisa segera dimitigasi dan dicarikan solusi terbaiknya,” ujarnya.
Sekolah penerima program revitalisasi mendapat pendampingan teknis dari perguruan tinggi dan tim kementerian. Pendampingan ini mencakup perencanaan, pengawasan, hingga transfer pengetahuan agar sekolah dapat mengelola sarana prasarana secara mandiri di masa depan.
Dengan sistem ini, setiap rupiah yang digelontorkan dipastikan berdampak nyata pada peningkatan mutu pendidikan. Revitalisasi tidak lagi berhenti pada pembangunan fisik, tetapi juga meningkatkan kapasitas manajerial sekolah.
Penutup
Lebih dari sekadar proyek pembangunan, revitalisasi sekolah menjadi penggerak kehidupan sosial dan ekonomi di masyarakat. Ia memperbaiki mutu pendidikan, menggerakkan roda ekonomi lokal, dan menghidupkan kembali semangat gotong royong.
Dengan skema swakelola dan pendampingan berlapis, program ini memberi harapan bahwa setiap rupiah yang digelontorkan benar-benar bermakna bagi siswa, guru, dan masyarakat. Pada akhirnya, revitalisasi sekolah adalah investasi sosial jangka panjang untuk menyiapkan generasi cerdas, tangguh, dan siap menghadapi dunia global. (*)








