Payload Logo
x-536120251125184850530.jpg
Dilihat 0 kali

Tambang Batu Bara (dok: istimewa)|

Politik Anggaran Kaltim Tampilkan Ketidaksiapan Transisi Energi

Penulis: Ali | Editor: Agu
8 Agustus 2025

KALTIM — Transisi energi terbarukan sampai sekarang gencar digaungkan pemerintah pusat. Namun Kalimantan Timur (Kaltim) dalam posisi gamang. Sebab masih bergantung pada energi fosil.

Pada September 2021, sumber daya batu bara Indonesia hingga akhir tahun 2020 mencapai 143 miliar ton.

Begitu keterangan dari roadmap (peta) Pengembangan dan Pemanfaatan Batu bara 2021-2045 Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESSM).

Data tersebut menunjukkan, Pulau Kalimantan paling banyak, 61,5 persen dari total sumber daya nasional. Potensi paling besar wilayah Kalimantan ini, berada di Kaltim. Sekitar 68 persen dari total tersebut.

Pihak forum kelompok kerja atau Pokja 30, Buyung Marajo, pun memaparkan, bahwa Kaltim memang senada pemerintah pusat untuk melakukan transisi energi. Tetapi, secara politik anggaran, belum tampak keseriusan pemerintah daerah.

"Anggaran-anggaran ke Dinas ESDM misalnya untuk melakukan transisi energi itu juga kecil," kata Buyung saat mengisi pelatihan bertajuk ‘Transisi Energi Menantang Dominasi Pertambangan’.

Gelaran itu inisiasi Yayasan Cerah bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda, untuk para jurnalis dari Samarinda, Balikpapan, Kukar, hingga Bontang, pada Kamis, (7/8/2025). Berlangsung di Kota Samarinda.

Narasumber lain dalam pertemuan itu adalah Syaharani, dari Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL).

Dia memaparkan, dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dinyatakan bahwa masih ada penggunaan energi fosil hingga 2060 mendatang.

"Dalam RUKN, masih ada 26,4 persen penggunaan energi fosil pada 2060," kata Syaharani.

Padahal, jika melansir website setkab.go.id, Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, mengatakan Tanah Air akan beralih 100 persen dari energi fosil menjadi energi terbarukan sebelum tahun 2050.

Pernyataan itu ditegaskan Presiden Prabowo saat menghadiri sesi ketiga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil pada Selasa, 19 November 2024 lalu.

Syaharani melanjutkan, untuk menjaga agar emisi terhitung tetap nol, hasil emisi penggunaan energi fosil 26,4 persen pada 2060, akan diserap hutan-hutan yang tersisa pada 2060.

Sementara itu, Wicaksono Gitawan, dari Yayasan Indonesia CERAH, memaparkan transisi energi tak sekadar mengubah semula energi fosil jadi energi ramah lingkungan.

Transisi energi harus mengutamakan prinsip keadilan sosial dan tentu saja lingkungan.

"Kita tidak bisa bicara energi terbarukan hanya dari sisi teknologi. Harus ada keberpihakan terhadap komunitas rentan yang selama ini menanggung beban industri kotor," ujarnya.

Dia menambahkan, agenda bersama yang sedang dibangun antara media, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas akar rumput bertujuan menantang dominasi pertambangan dan menguatkan narasi transisi energi yang lebih inklusif.

"Ini bukan cuma soal mengganti sumber energi, tapi tentang merebut kembali ruang hidup dan masa depan masyarakat," tegasnya.

Narasumber lainnya, Ketua AJI Samarinda Yuda Almerio, memaparkan jurnalis punya peran sangat penting dalam mengawal agar transisi energi tidak menjadi kedok baru eksploitasi.

"Transisi energi harus menantang dominasi industri ekstraktif, bukan berkompromi dengannya. Jurnalis punya tugas untuk membuka ruang narasi dari sisi warga, terutama yang terdampak langsung," ujar Yuda.

Dia menekankan pentingnya liputan-liputan investigatif, berbasis data dan keberpihakan pada korban.

Dalam agenda bersama ini, AJI Samarinda mendorong agar jurnalis tidak hanya jadi pengamat, tapi bagian dari perubahan: memastikan transisi energi di Kaltim benar-benar adil.

"Dengan kata lain inklusif, dan tidak meninggalkan siapa pun di belakang," pungkas Yuda. (*)