Payload Logo
c-768020251125185522985.jpg

Ahli waris segel pembangunan turap di kawasan Hop, Kelurahan Kanaan, Kecamatan Bontang Barat, Selasa 2 September 2025 (dok: Agu/katakaltim)

Sengketa Lahan, Warga Segel Proyek Pembangunan Turap di Kota Bontang

Penulis: Ayub | Editor: Agu
2 September 2025

BONTANG — Proyek pembangunan turap dengan nilai Rp76 miliar di Kota Bontang menuai protes warga.

Proyek pengendalian banjir di kawasan Hop, Kelurahan Kanaan, Kecamatan Bontang Barat itu ternyata mengganggu lahan milik almarhum Haji Sinnok.

Atas kejadian tersebut, Nur Andika sebagai ahli waris almarhum, menyegel atau memasang spanduk larangan aktivitas di atas lahan tersebut, Selasa 2 September.

Spanduk bertuliskan tanah seluas 26.600 meter persegi itu dimiliki Haji Sinnok berdasarkan surat No. 33/PPAT 1982.

Pihak ahli waris menegaskan tidak boleh ada aktivitas apa pun tanpa izin mereka. Dia juga sudah mendaftarkan sengketa ini ke Pengadilan Negeri Bontang.

“Maka kami berani memasang plang larangan," tegas Nur Andika di lokasi.

Setelah perkara diajukan, lahan tersebut dinyatakan tidak boleh digunakan sebelum ada keputusan hukum.

Dia juga menuntut agar uang kompensasi yang telah diberikan kepada pihak lain segera dikembalikan.

"Kalau kompensasi tidak dikembalikan, proyek ini tidak bisa dilanjutkan sebelum keputusan pengadilan keluar," ujarnya.

Camat Bontang Barat, Lurah Kanaan, dan pihak kontraktor proyek Surya dan Teguh langsung bertemu dengan Andika untuk menengahi konflik.

Simon mengakui bahwa dalam sosialisasi awal, lahan tersebut dikenali sebagai milik Haji Badrun.

"Kami baru tahu belakangan kalau lahan ini dalam sengketa," katanya.

Surya, penanggung jawab proyek, mengaku belum bisa memastikan soal kompensasi.

"Kami nakan komunikasikan dulu ke Dinas PUPR. Kami hanya pelaksana," ujarnya.

Dalam mediasi informal yang terekam, pihak ahli waris mempersoalkan adanya aktivitas seperti penumpukan material dan penggunaan lahan tanpa izin.

Mereka menyebut bahwa meskipun hanya untuk sementara, penggunaan lahan tetap harus ada kesepakatan.

"Kalau tanah saya dipakai, ada barang ditaruh, seharusnya ada hitung-hitungan. Minimal ada sewa," ucap Andika.

Persoalan makin panas saat pihak ahli waris merasa diperlakukan tidak adil dibanding pihak yang telah menerima kompensasi lebih dulu. Mereka menuntut perlakuan yang sama.

"Kalau satu pihak diberi uang, maka kami pun harus diberi hak yang sama. Jangan ada yang dianaktirikan," kata Andika dengan nada kecewa.

Pihak kelurahan berjanji akan tetap netral dan memfasilitasi mediasi lebih lanjut. Namun di sisi lain, perwakilan proyek mengaku hanya mengganti tanam tumbuh, bukan membayar lahan.

"Kami tidak mengganti lahan, hanya tanam tumbuh saja. Karena itu aturan dari PU," jelas Surya.

Andika membantah bahwa pihak lain yang lebih dulu mengelola lahan tersebut. "H. Sinnok lebih dulu membuka lahan. Jangan hanya percaya pada satu pihak," katanya.

Di akhir diskusi, suasana memanas ketika pihak ahli waris menuding pemerintah setempat memihak. Namun Lurah Kanaan menolak anggapan tersebut.

"Kami pemerintah tidak memihak siapa pun. Kami hanya memfasilitasi agar semua jelas dan adil," pungkasnya. (*)