Payload Logo
DPRD Kutim
Pengamat Sosial
Dilihat 714 kali

Riyawan, seorang pengamat sosial Kalimantan Timur (dok: pribadi)

Sungai Tenggarong: Hilir Dipoles, Hulu Terabaikan?

Penulis: | Editor: Agu
19 Desember 2025

Penulis: Riyawan S.Hut (Pengamat Sosial)

KATAKALTIM — Deru alat berat kini menjadi pemandangan sehari-hari di hilir Sungai Tenggarong. Penataan bantaran sungai, pembangunan jembatan alternatif, hingga perbaikan drainase dikebut bersamaan. Kawasan yang dulu dianggap “belakang kota” perlahan dipoles menjadi ruang publik modern, digadang-gadang sebagai wajah baru Tenggarong di masa depan.

Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) memproyeksikan hilir sungai sebagai pusat interaksi warga, destinasi wisata berbasis budaya Kutai, sekaligus solusi kemacetan dan banjir. Konsep taman tematik, rumah adat, hingga pasar terapung diperkenalkan untuk memperkuat identitas kawasan.

Namun di tengah optimisme itu, muncul pertanyaan besar dari warga “apakah pembangunan ini benar-benar menyelesaikan persoalan sungai, atau hanya mempercantik bagian yang terlihat?”

Revitalisasi atau Penggusuran Terselubung?

Di balik konsep penataan yang tampak indah, Pemkab Kukar masih menghadapi pekerjaan rumah besar yakni kawasan permukiman kumuh di bantaran sungai. Berdasarkan SK Bupati Kukar Nomor 454/2019, kawasan seluas 5,5 hektare di Jalan Kartini dan Jalan Mayjend Panjaitan ditetapkan sebagai kawasan kumuh yang akan “dihijaukan”.

Kebijakan ini berdampak langsung pada 466 kepala keluarga, terdiri dari 43 KK di Kelurahan Melayu dan 423 KK di Loa Ipuh. Di sinilah kekhawatiran warga muncul, apakah revitalisasi benar-benar menghadirkan perbaikan kualitas hidup, atau justru membuka jalan bagi relokasi yang mengorbankan masyarakat kecil demi wajah kota yang lebih fotogenik.

Pemerintah daerah menyebut konsep awal penataan bukan relokasi, melainkan revitalisasi berbasis kawasan. Artinya, rumah warga ditata ulang tanpa memindahkan mereka dari lingkungan asal. Fokusnya pada perbaikan bangunan, tata ruang, dan infrastruktur dasar agar lebih ramah sungai.

Namun rencana ini tersendat karena belum terbitnya izin dari Balai Wilayah Sungai (BWS). Akibatnya, opsi penataan menjadi terbatas dan ketidakpastian pun muncul. Warga berada di posisi rentan, tidak tahu apakah akan bertahan atau harus angkat kaki.

Masalah Lama Sungai Tenggarong: Gulma, Air Hitam, dan Bau

Persoalan Sungai Tenggarong sejatinya jauh lebih kompleks dari sekadar tampilan kawasan. Setiap tahun, gulma atau rumput liar (napung) menumpuk di sungai, terutama saat musim hujan dan pasang. Gulma ini hanyut dari hulu dan menyumbat aliran air.

Dampaknya nyata yakni transportasi sungai terganggu, rumah panggung terancam rusak, aliran air melambat, hingga risiko banjir meningkat. Tak hanya itu, pembusukan gulma membuat air sungai menghitam dan berbau, memperparah kualitas lingkungan.

Keluhan soal air hitam dan bau tak sedap juga kerap dirasakan pelanggan Perumda Tirta Mahakam. Penyebabnya kombinasi limbah domestik, aktivitas industri, serta air “bangar” dari wilayah hulu akibat pembusukan material organik di rawa dan danau.

Ironisnya, kegiatan normalisasi sungai yang bertujuan memperbaiki alur justru sering mengaduk sedimen dasar sungai. Kekeruhan air meningkat, proses pengolahan air bersih makin sulit, dan warga kembali menanggung dampaknya.

Masalah lain yang tak kunjung tuntas adalah sampah. Permukaan Sungai Tenggarong kerap dipenuhi popok sekali pakai, plastik, hingga sisa makanan. Ini bukan hanya soal kebiasaan warga, tetapi juga lemahnya sistem pengelolaan sampah dan pengawasan.

Di sisi lain, dugaan pencemaran dari aktivitas pertambangan batu bara turut mencuat. Bahkan, butiran batu bara ditemukan di segmen sungai Tenggarong–Samarinda. Akibatnya, ekosistem sungai terganggu dan populasi ikan terus menurun.

Loa Ipuh: Bukti Hulu Tak Pernah Serius Ditangani

Jika hilir Sungai Tenggarong kini dipoles, Loa Ipuh adalah cermin kegagalan mengelola hulu dan daerah rawan banjir. Sejarah mencatat banjir besar berulang pada tahun April 2010 akibat jebolnya tanggul tambang, Januari 2014, dan kembali terulang pada Mei 2025.

Banjir 2010 merendam ribuan rumah dan menelan korban jiwa seorang balita. Banjir 2014 merendam 931 rumah dan berdampak pada hampir 4.000 jiwa. Polanya sama, sungai meluap, drainase tak mampu menahan debit air, dan warga kembali jadi korban.

Inilah ironi besar penataan Sungai Tenggarong. Pembangunan difokuskan di hilir, sementara hulu dan daerah tangkapan air nyaris tak tersentuh secara serius.

Tanpa pengendalian aktivitas tambang, perbaikan drainase terpadu, dan perlindungan kawasan resapan, banjir hanya tinggal menunggu waktu. Memoles hilir tanpa membenahi hulu ibarat mempercantik ruang tamu rumah yang fondasinya retak.

Solusi Tak Bisa Setengah-setengah

Penataan Sungai Tenggarong membutuhkan pendekatan menyeluruh. Revitalisasi bantaran harus berbasis kawasan, bukan sekadar relokasi. Warga perlu dilibatkan sejak perencanaan, dengan jaminan hunian layak, sanitasi memadai, dan sempadan sungai yang adil.

Di hulu, pemerintah wajib memperketat pengawasan tambang, memulihkan daerah resapan, dan membenahi sistem drainase lintas wilayah. Koordinasi dengan Balai Wilayah Sungai harus dipercepat, bukan menjadi alasan stagnasi.

Sejarawan kota Lewis Mumford pernah menegaskan, sungai adalah pengorganisasi awal kota, urat nadi yang membentuk peradaban. Jika sungai rusak, rusak pula struktur sosial dan ekologis kota.

Sungai Tenggarong tak boleh hanya jadi latar foto dan proyek seremonial. Ia harus kembali diperlakukan sebagai ruang hidup bersama yang mengalir bersih, aman, dan adil bagi semua warganya. (*)