KUKAR — Ketenangan malam dirobek oleh seuntai kisah pilu yang menimpa seorang perempuan di salah satu desa di Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).
Waktu itu, Jumat kelabu, 5 Desember 2025, menjadi penyaksi bisu runtuhnya bangunan kepercayaan yang disalahgunakan.
Kisah tersebut berawal dari api cemburu yang membakar hati tersangka pelaku. Dia adalah lelaki berinisial M (30).
M merupakan sosok yang seharusnya menjadi figur tempat bersandar korban, justru berubah menjadi mimpi buruk yang datang tepat pada pukul 00.00 Wita.
Di sebuah kamar, yang mestinya menjadi ruang aman bagi korban, ketegangan justru dimulai. Bukan hanya perdebatan adu mulut, ini adalah perpisahan yang dibalut amarah tak terkendali.
Ketika menuntut akhir hubungan, tersangka M tidak menunggu jawaban yang tenang. Ia malah menunggu kesempatan melampiaskan tuduhan dan kecurigaan yang telah meracuni pikirannya.
“Pelaku memukul dan menginjak tubuh korban,” demikian bunyi laporan yang diterima Unit Reskrim Polsek Muara Wis, Polres Kukar.
Bayangkan kesakitan itu! Bukan semata pukulan yang menjejakkan memar di kulit dan daging korban. Tapi injakan yang meremukkan harga diri kemanusiaan.
Korban, dalam keadaan terluka dan terancam, terpaksa mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya untuk lari. Ia mencari perlindungan hukum pada polisi tepat di hari Sabtu 6 Desember 2025.
Dalam keterangan polisi, barang bukti yang diamankan sehelai baju singlet putih dan rok pendek berwarna coklat.
Tentu saja itu bukan semata-mata pakaian. Itu adalah sisa-sisa kain yang menanggung beban trauma. Diam-diam menceritakan setiap rasa sakit dan keputusasaan di malam mencekam itu.
Kapolsek Muara Wis, IPTU Al Anas, membenarkan pengungkapan kasus malang ini.
Namun, di balik ketegasan pasal hukum yang menjerat pelaku dengan Pasal 351 Ayat (1) KUHP dan ancaman penjara, ada luka yang jauh lebih dalam.
Proses hukum mungkin berjalan. Dan pelaku M akan menanggung konsekuensi 2 tahun 8 bulan penjara maksimal.
Namun, bagi korban, ancaman dan rasa sakit itu mungkin akan menjadi penjara emosional yang jauh lebih panjang.
Kekerasan fisik bisa sembuh. Tapi kepercayaan yang dihancurkan, dan rasa takut yang membekas, adalah bibit trauma yang butuh waktu lebih lama disembuhkan.
Kasus ini menjadi pengingat yang menyedihkan. Bahwa di tengah janji cinta, adakala terselip bahaya yang bisa datang dari orang terdekat.
Dan untuk setiap korban kekerasan, langkah melapor adalah perjuangan yang heroik.
Teriakan meminta keadilan di tengah kepedihan yang mendalam adalah aksi kemanusiaan. Jangan takut!
Polisi juga menegaskan, pihaknya berkomitmen memproses setiap laporan kekerasan tanpa pandang bulu. Tanpa tebang pilih. Utamanya yang mengancam keselamatan jiwa masyarakat.
“Setiap bentuk kekerasan akan kami tindak tegas. Keamanan dan keselamatan warga adalah prioritas utama kami,” ujar IPTU Al Anas. (Agu)










