Penulis cerpen: Mastuki (Guru sekolah swasta di Kutai Timur)
KATAKALTIM — Jari telunjuknya seolah palu hakim yang memberikan keputusan. Mulutnya komat-kamit, serta tanpa adanya klarifikasi telah membuat puluhan perempuan terhipnotis dengan cerita yang dikarangnya.
“Itu lihat, pakaiannya saja penuh dengan tambalan. Aku yakin orang seperti dia, mandinya hanya saat hujan turun saja,” ujar Helmina, perempuan yang berdiri di antara orang tua siswa termasuk dirinya di Sekolah Esa Modern.
“Haha, iya loh Bu, kok bisa-bisanya dia berani dekat-dekat sekolah. Aduuh, aku kwatir anaku ketularan penyakit kulit, TBC, atau sejenisnya,” sambung orang tua siswa yang lain.
“Parahnya lagi, Bu. Kalau anak kita ketularan miskinnya bagaimana?”
“Amit-amit,” ungkap seorang ibu dengan mengelus perutnya yang buncit, menaikkan dan menurunkan pundaknya.
Sedari tadi orang tua siswa saling bersenam lidah membicarakan pemulung yang sedang memungut botol bekas.
“Maaf, Bapak Ibu guru. Apa tidak sebaiknya, bapak tua itu diminta menjauh, karena jujur saja kami semua ketakutan,” ujar Helmina yang mengadu kepada guru-guru seusai puluhan mata mengarah pada sosok yang menjadi tema perbincangan. Sementara ibu-ibu yang lainnya mengintip dari balik pundak Helmina.
“Tapi Bu, pemulung itu kan di seberang jalan sekolah,” jawab salah satu guru.
“Sekarang!, Pak. Besok kalau masuk ke dalam sekolah bagaimana?. Apa Bapak mau tanggung jawab jika terjadi apa-apa dengan anak kami?.
“Iya, Bapak Ibu guru, apalagi akhir-akhir ini berita tentang penculikan anak lagi rame,” sambung orang tua siswa yang lain.
Sekolah Esa Modern terkenal sebagai sekolah swasta yang elit. Lokasinya berada di pinggiran kota. Rata-rata siswa adalah orang tua yang tergolong mapan secara ekonomi.
“Maaf, ibu-ibu ada apa ya?” tanya seorang laki-laki paruh baya yang berseragam rapi lengkap dengan dasinya. Ia menghampiri ibu-ibu yang sedang arisan kata-kata. Mengunci senyum di wajahnya.
“Eh, Mas Antonio,” ujar salah satu ibu dengan gaya centil dan cengengesan.
“Hus, Mbak, Bapak bukan Mas,” tegur salah satu orang tua.
“Hehe, maaf maksud saya, Mas Bapak Kepala sekolah.”
Pak Antonio yang mendapat godaan itu, membuat air ludahnya meluncur cepat ke tenggorokannya. Beruntung kulitnya yang gelap menyamarkan kemerahan rautnya.
“Begini, Pak Antonio kami sering melihat seorang pemulung yang tindak-tanduknya mencurigakan.”
“Mana?” tanya Pak Antonio
Dilempar kedua bola matanya ke arah seberang. Mata orang tua siswa dan guru-guru pun mengiringinya, namun seseorang yang dicarinya telah menghilang bah ditelan bumi.
“Barusan ada kok, Pak,” tegas orang tua siswa.
“Saya pastikan besok tidak akan ada orang itu lagi. Saya jamin ibu-ibu.”
“Baik, Pak. Terima kasih atas bantuannya.”
Tak lama kemudian Pak Antonio menghubungi satpam sekolah dengan mengontak melalui sambungan video call.
Padahal jarak dirinya dengan Pos satpam tidak begitu jauh, namun karena malas ia tidak ingin sepatu pantofelnya lecet hanya gara-gara laporan sepele.
“Pak, Dio. Tolong kalau ada pemulung, bapak usir!.”
“Tapi, Pak..”
“Tidak ada tapi,” mata kepala sekolah itu melirik serong ke arah ibu-ibu saat satpamnya mencoba menyela.
“Baik, Pak.”
Cuaca di hari itu cerah sekali, bahkan sang surya tanpa malu menampakkan seluruh badannya. Sementara kendaraan lalu-lalang berlawanan arah memacu aktivitas manusia yang mengejar waktu.
Suasana seperti itu berbanding terbalik dengan kejadian setahun yang lalu di mana jalanan penuh dengan genangan air. Namun setelah dicanangkannya proyek selokan dari pemerintah. Saat hujan datang, tak pernah terjadi banjir lagi. Konon, musibah banjir telah merenggut rumah-rumah pinggiran yang berada tak jauh dari Sekolah.
“Pak, Pak, jangan ke sini lagi ya,” Pak Dio menegurnya setelah sebelumnya menepuk bahunya. Kelima jari kanannya ia masukkan ke dalam saku. Dikeluarkannya beberapa lembaran warna biru untuk Pak Takimin yang tak lain pemulung yang gempar dibicarakan akhir-akhir ini oleh warga sekolah.
“Buat Apa? Pak Dio,” ujar Pak Takimin dengan suaranya yang parau.
“Sebagai ganti rezeki bapak untuk hari ini.”
“Pak Dio kan tau, kalau saya bukan hanya memungut botol bekas…”
Belum selesai Pak Takimin berbicara. Satpam itu memotongnya. Pak Dio merasa serba salah, di satu sisi nuraninya ingin membiarkan Pak Takimin melakukan pekerjaannya karena nyatanya Pak Takimin terkadang dengan sukarela membersihkan selokan.
Namun di sisi lain ia kwatir, Pak Antonio akan melaporkannya ke Ketua Yayasan yang berujung akan kehilangan pekerjaannya.
“Baik, kalau itu keinginan Pak Dio tapi saya tidak janji akan berhenti, karena Pak Dio tau sendiri dua bulan lagi kita akan memasuki musim hujan. Saya sebagai korban banjir hanya mewanti-wanti.
Jangan sampai musibah itu terjadi lagi. Dan jika itu terjadi, bukan hanya rumah saya yang terendam akan tetapi belajarnya anak-anak sekolah akan terganggu.
Pak Dio tidak melanjutkan percakapannya. Ia kembali ke ruang kecil yang hanya berukuran satu setengah meter persegi itu, untung saja ada kipas angin kecil di dalamnya, jadinya sirkulasi udara tidak membuat tempat itu pengap. Ia usap air matanya yang secara spontan menetes.
Ternyata dibalik badannya yang kekar, hatinya tidak rela, ia tertunduk lesu. Ia tau betul Pak Takimin bukan hanya mengais rezeki semata akan tetapi ia berusaha menyelamatkan kehidupan warga. Mengingatkan secara nyata bukan sekadar kata. Meskipun tindakan mulianya selama ini hanya dipandang sebelah mata.
Pak Dio memegang dagunya dengan lesu, air matanya belum saja mengering, ia membayangi wajah Pak Antonio. Ia sangat kesal kepadanya. Dia tidak habis pikir. Bisa-bisanya orang yang katanya sudah berijasah pendidikan tinggi itu tidak memiliki rasa pri kemanusiaan. Ia lebih mementingkan karirnya, jabatannya, dan perkataan orang tua siswa.
Setelah peristiwa itu, Pak Dio tidak pernah melihatnya lagi. Ingin rasanya ia melangkah lebih jauh tapi dengan posisinya ia bisa apa.
Di lain tempat, mobil hitam mengarah pelan menuju Sekolah.
“Ma, bukannya kakek itu yang biasanya memungut sampah,” ujar Ziba. Laki-laki kecil yang bersekolah di Sekolah Esa Modern.
Ziba yang duduk di dekat kaca melempar pandangannya ke luar. Seketika Helmina memindahkan kedua matanya dari gadget yang ia pegang ke arah yang dimaksud anaknya.
“Maaf Non, Kakek yang dimaksud tuan Ziba tadi namanya Pak Takimin,” Ujar Sopir Helmina setelah mengintip dari kaca spion.
“Pak Ujang tau,” tanya Helmina.
“Iya, Non. Beliau asli orang sini, namun anak-anaknya tidak ada satu pun yang mau menerimanya. Entah lah cerita itu benar atau tidak tapi pastinya memulung menjadi harapan satu-satunya untuk menghidupi diri dan istrinya,” papar sopir Helmina.
Setelah mendengar cerita dari sopirnya. Hati Helmina menjadi terhenyuh. Ia merasa bersalah sudah menuduh Pak Takimin dengan macam-macam.
“Pak, berhenti. Kita ikuti Pak Takimin.”
“Siap, Non.”
Mobil BMW itu perlahan membuntuti dari kejauhan. Pak Takimin mengayuh pedal sepedanya. Mobil itu pun seketika merangkak. Jalan itu mengarah ke kampung yang dulu pernah dilanda banjir bandang.
Pak Takimin memasuki gubuk reyotnya yang hanya berdinding kayu dan bercat koran-koran bekas. Helmina yang mengetahui mengelus dadanya. Air matanya jatuh tak terbendung. Ia meminta kepada sopirnya untuk menunggu. Ia tarik tangan anaknya dan mengikuti langkah kakinya ke arah rumah Pak Takimin dengan tisu basah yang ia genggam.
“Selamat pagi, Pak. Maaf menggangu istirahatnya,” sapa Helmina.
“Kakek, ujar Ziba. Anak kecil itu berlari dan memeluk Pak Takimin. Helmina yang melihat tingkah anaknya yang mencengkram tubuh pemulung itu awalnya risih tapi ia dikalahkan oleh hatinya yang mulai membening suci.
“Kakek, kok tidak pernah kelihatan lagi,” tanya bocah kecil itu.
“He..he, Kakek pindah tempat.”
“Ma, kakek ini, yang aku ceritakan. Kakek pernah ngasih aku jajan.”
Air mata Helmina kembali mengucur deras. Ia menangis terisak isak. Dalam hatinya, ia berbisik kepada Tuhan YME tentang perbuatannya selama ini. Betapa buruknya kata-kata yang ia tuduhkan kepada pemulung itu.
Betapa jahatnya ia menyebarkan berita yang tidak baik. Ia cium tangan orang tua itu. Kedua lututnya ia jatuhkan. Helmina baru menyadari kalau ternyata selama ini Pak Takimin bukan hanya memungut botol sampah saja akan tetapi ia berusaha menjaga lingkungan.
Awalnya dia acuh saja walaupun sudah diceritakan oleh satpam sekolah tapi setelah melihat langsung halaman rumah Pak Takimin yang penuh dengan karung botol plastik. Dia menyesali semuanya.
Selain itu Helmina dikejutkan dengan keberadaan perempuan yang sedang terbaring di atas ranjang. Perempuan itu tersenyum melihat Ziba berada dalam pelukan suaminya.
“Pak, saya minta maaf, saya salah, saya berdosa, saya telah menuduh bapak dengan yang tidak-tidak”
“Bangun, Nak. Saya tau yang kamu lakukan itu karena atas ketidaktahuanmu saja” ujar Pak Takimin.
Helmina mencium tangan Pak Takimin berkali-kali. Dia berjanji setelah peristiwa ini dia akan menjadi manusia yang lebih baik dan tentunya lebih peduli dengan permasalahan sekitarnya.
“Pak, beliau itu. Siapa?,” tanya Helmina.
“Itu istri saya, Nak. Sekarang sudah memasuki kesembilan bulan dari masa sakitnya.
Dokter menyarankan, sebaiknya istri saya mendapatkan perawatan khusus di rumah sakit namun karena kondisi yang belum mendukung jadi sampai sekarang saya belum pernah membawanya. Sementara dari hasil memulung, bapak hanya mampu membeli obat pereda saat sakitnya kambuh.
Setelah berbincang-bincang lama dengan keluarga Pak Takimin. Helmina bersama anaknya melangkah menjauh dari rumahnya. Helmina berpamitan karena dia harus mengantarkan. Di hari itu, hatinya bercampur senang dan penuh dengan penyesalan.
Senang, karena ia mendapatkan pelajaran hidup untuk putranya. Ia baru menyadari bahwa anaknya perlu belajar dari kehidupan orang lain.
Bukan hanya belajar dari buku-buku pelajaran, belajar bersama bapak ibu gurunya maupun belajar bersama guru-guru lesnya di bimbel online. Dengan melesat, mobil itu kini tiba di gerbang sekolah. Helmina bersama anaknya turun dari mobil dan tak lupa ia meminta kepada anaknya untuk mengucapkan salam kepada Pak Dio. Melihat anak ibu Helmina menguluk salam.
Pak Dio tampak terheran-heran karena tidak biasanya anak orang kaya itu menyapa. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih kepada sopirnya dan kepada Pak Dio. Langkah kaki mereka dipercepat agar si kecil tidak ketinggalan pelajaran.
“Jeng, tumben terlambat,” ujar Ibu Sitorus menyapa.
“Iya, Bu. Tadi masih mampir ke rumah saudara,” jawab Helmina.
Setelah anaknya masuk kelas, seperti biasa di ruang khusus sudah berkumpul beberapa ibu-ibu, orang tua siswa. Ruang itu lah yang selama ini digunakan untuk menunggu anak-anak mereka termasuk tak jarang dimanfaatkan untuk bertukar informasi maupun gosip perihal topik ngawur ngidul.
“Ibu-ibu besok kan kita weekend, nih. Tadi, saya dapat info dari Pak Antonio kalau semua guru dan perwakilan siswa akan mengadakan kunjungan ke suatu tempat,” ungkap Helmina.
“Ya, elah bu, hari libur itu waktunya istirahat bukan malah nambah pekerjaan,” balas orang tua siswa.
“Ya sudah kalau tidak mau ikut, tapi jangan salahkan saya loh ya kalau nilai anak ibu nantinya jelek,” ujar Helmina.
“Ibu Helmina ada benarnya juga, kapan lagi kita bisa membersamai guru-guru dan anak-anak,” ucap orang tua siswa yang lain.
Saat anaknya masuk kelas, Helmina menemui Pak Antonio, ia bercerita tentang kehidupan Pak Takimin. Mendengar itu, Pak Antonio merasa bersalah karena tak sepantasnya dirinya merendahkan profesi orang lain seperti Pak Takimin pemulung yang sudah berusia lanjut itu.
Pak Antonio pun menyetujui ide Ibu Helmina untuk berkunjung ke rumah Pak Takimin.
“Bapak, ibu guru. Besok kita akan berkunjung ke rumah pahlawan yang selama ini sangat peduli dengan lingkungan sekolah kita,” ujar Pak Antonio.
“Pak, Ke Makam Pahlawan?,” tanya salah satu guru.
“Bukan, tapi pahlawan ini masih hidup sampai sekarang, untuk itu saya selaku kepala sekolah mengajak bapak ibu semua dengan sukarela untuk turut memberikan bantuan semampunya, dan saya minta kepada wali kelas untuk mengajak semua siswanya.”
Semua orang tua siswa dan guru-guru masih bertanya-tanya siapa orang yang dimaksud Pak Antonio. Sementara Helmina dan Pak Antonio sudah sepakat untuk tidak membocorkannya terlebih dahulu.
Keesokan harinya, semua guru-guru berkumpul di halaman sekolah. Kendaraan mereka terparkir, Pak Antonio meminta agar semuanya berjalan kaki. Sesampainya di jalan menuju rumah Pak Takimin. Sebagian ibu-ibu berbisik-bisik satu sama lain namun mereka tak ada yang berani mendahului langkah Pak Antonio. Tidak lama kemudian akhirnya mereka sampai di depan rumah Pak Takimin.
“Bapak ibu, ini rumah pahlawan yang Pak Antonio Maksud,” ujar Helmina.
Semua orang tercengang melihat rumah gubuk kecil yang dianggap ada sosok pahlawan di dalamnya. Tak lama kemudian, Helmina masuk ke rumah itu dan membawa Pak Takimin keluar.
“Itu kan,? pekik orang tua siswa dengan meletakkan telapak tangan di mulutnya.
“Ibu, Helmina? jerit kecil orang tua siswa.
“Bapak ibu, beliau ini pahlawan kita semua. Helmina kembali menyeka air matanya.
“Beliau yang selama ini kita anggap akan membawa penyakit. Namun sejatinya hati kitalah yang berpenyakit. Dengan ketulusannya beliau memunguti sampah-sampah.
Mendengar penjelasan dari Ibu Helmina. Semua orang tua siswa menangis. Air mata mereka juga diikuti oleh air mata guru-guru Tak terkecuali Pak Antonio. Dia merasa bahwa dialah orang yang paling bertanggung jawab. Akhirnya mereka pun sepakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan sekitarnya.
Selain itu, mereka berulur tangan membantu pengobatan istri Pak Takimin. Setelah kejadian itu, semua warga sekolah gencar melakukan aksi bersih-bersih di lingkungan sekolah bahkan berusaha mengkampanyekan ke warga sekitar akan pentingnya lingkungan yang sehat dan bebas sampah. (*)








