Penulis: Mastuki (Guru Swasta di Kutai Timur)
KUTIM — Menjadi pegawai negeri adalah sebuah impian bagi sebagian besar orang. Termasuk mereka yang berstatus guru honorer. Namun hal itu berbeda dengan Tarjo yang sudah lama mengajar di MI Miftahul Ulum.
Tanpa terasa, sepuluh tahun dia telah menemani para siswa di gedung yang catnya mulai keropos itu, dengan gajinya yang pas-pasan, ia tetap setia dengan motor bebeknya.
Padahal, sudah banyak rekan-kerjanya yang memilih untuk resign baik karena alasan pindah ke sekolah yang lebih bonafid maupun melepaskan statusnya sebagai pengajar.
Kebutuhan keluarga barunya yang mendesak membuatnya semakin dihantui kegalauan. Selain memang semakin santernya cibiran orang yang menghampirinya.
“Jo, sampai kapan kamu bertahan dengan statusmu yang begini, ingat sebentar lagi kau akan segera memiliki buah hati,” sindir Rahman.
Itu bukanlah komentar pertama kalinya yang ia dapatkan namun hampir semua kawan-kawannya mengatakan kalimat yang sama.
Tarjo hanya diam memaku, bukan tidak mau menanggapi setiap lawan bicaranya akan tetapi ia tidak ingin memperkeruh suasana.
Walaupun terkadang itu membuat dirinya terganggu dan tak jarang fokusnya dalam mengajar jadi tidak karuan. Belum lagi suara-suara bisikan mengenai kawan-kawannya yang sudah sukses.
“Selamat pagi, Pak guru” sapa anak-anak saat Tarjo melewati rumah mereka.
“Pagi,” jawab Tarjo.
“Mampir dulu, Pak guru” pinta Jukiyem salah satu wali murid.
“Iya, terima kasih bu, maaf masih ada urusan jadi lain kali saja,” jawab Tarjo.
“Tit, tit (suara klakson), Tarjo! masih betah saja kamu ya jadi guru.”
Lagi-lagi tarjo membisu dan hanya melempar senyum kepada tetangganya itu. Sebagai manusia biasa terkadang terlintas dalam benaknya untuk berhenti dan mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan, namun setiap kali melihat senyum yang memekar di wajah siswa-siswanya hatinya luluh.
“Apa yang membuat Pak Tarjo tetap mengajar, Apa Pak Tarjo tidak ingin seperti saya, Pak saya hanya butuh lima tahun untuk hidup seperti ini punya mobil, rumah, dan mudah membeli sesuatu yang saya inginkan. Lihat Pak Tarjo sudah berapa lama menjadi guru?.”
“Pak Haji, bukan bermaksud untuk mengajari. Apa bapak bahagia dengan segala yang bapak miliki?” tanya Tarjo.
“Tentu saja saya bahagia, untuk itulah sebagai sepupu bapak saya merasa iba dan ingin mengajak bapak untuk berbisnis dengan saya.” Sambung Haji Mad.
“Saya pun sama Pak, saya bahagia dengan apa yang saya jalani sekarang, bisa mendidik anak-anak di sekolah, punya rekan-rekan guru hebat, dan istri yang selalu mendukung saya,” ujar Tarjo.
“Iya, Pak tapi hidup itu butuh uang, Pak” jawab Haji Mad.
“Bapak salah, uang itu bukan satu-satunya cara untuk mewujudkan kebahagiaan,” jawab Tarjo.
“Lalu, kalau bukan itu, apa?” tanya Haji Mad.
“Pak, semua orang punya sudut pandang masing-masing soal itu, namun bagi saya kebahagiaan itu bisa saya dapatkan dengan mengajar,” jawab Tarjo.
Tarjo rupanya sudah berani menyekak lawan bicaranya. Menurutnya tindakan diam selama ini sering kali di salah artikan sehingga membuat ia semakin direndahkan.
Debat singkatnya di kala itu dengan Haji Mad membawanya ke ring kemenangan tiga banding kosong. Tarjo mengingat-ngingat percakapannya itu hingga membuat senyum yang tersungging di bibirnya saat baru saja ia menyerut kopi hitam buatan istri tercintanya.
“Dik, di luar sana banyak orang yang menghujatku bahkan tak jarang merayuku untuk berhenti mengajar, bagaimana tanggapanmu?,” kata Tarjo kepada istrinya.
“Bang, kita sudah cukup dengan kehidupan begini, aku justru senang dengan keputusan abang yang memilih untuk tetap mengajar.”
“Apa tidak sebaiknya kita buka usaha saja ya dik, soal jam ku di sekolah aku bisa bicara dengan Pak Darmo” ujar Tarjo.
“Maksud abang, mengajarnya sebagai sampingan?,” sambung Sulastri.
“Iya maksudku begitu,” kata Tarjo.
“Mengajar itu pekerjaan utama, bang. Kita sudah lama di pesantren, abang sudah tau soal itu. Nasehat bu nyai dulu kalau ingin memetik tanaman surga maka mengajar itulah jalannya. Kelak nanti di akhirat kita sama-sama memanennya,” ujar Sulastri.
“Amiiin, dik” ujar Tarjo dengan mengusap air matanya yang tak terasa menetes.
Setelah percakapan singkat itu, Tarjo semakin yakin dengan takdir hidupnya. Ia melanjutkan rutinitasnya dengan menembus kabut pagi bersama motor kesayangannya menuju sekolah. Di sana seperti biasa ia akan berdiri menunggu kedatangan para siswa.
Mereka yang baru saja tiba akan mencium punggung tangannya. Tarjo semakin menyadari bahwa sejatinya hidup bukan hanya soal materi lalu menjadi bahagia akan tetapi dengan membuat orang lain bahagia itu akan membuat kita mendapatkan kebahagiaan. (*)








