Dibaca
5
kali
Anggota DPRD Kota Samarinda, Ismail Latisi (dok: ist)

Dugaan Malpraktik RSHD Samarinda, Wakil Rakyat Minta Lakukan Audit Etik

Penulis : Agu
22 May 2025
Font +
Font -

SAMARINDA — Anggota DPRD Kota Samarinda angkat bicara ihwal dugaan malpraktik yang terjadi di Rumah Sakit Haji Darjad (RSHD) Samarinda.

Akibatnya, rapat dengar pendapat atau RDP harus digelar. Dalam RDP, Dinas Kesehatan (Dinkes) Ikatan Dokter Indonesia (IDI), serta keluarga pasien membahas masalah malpraktik itu.

Korban mengaku adanya ketidaksesuaian prosedur medis. Bahkan kurangnya penjelasan kepada pasien sebelum tindakan operasi.

Baca Juga: Anggota DPRD Kota Samarinda, Ismail Latisi (dok: Ali/katakaltim)Era Digital Buka Peluang Besar para Pelajar Mengakses Konten Dewasa, DPRD Samarinda Minta Pemkot Hadirkan Pelatihan Parenting

Tanggapan Ismail Latisi

Wakil Rakyat Samarinda Ismail Latisi, pun menerangkan, pihaknya tidak untuk menghakimi. Tapi jadi mediator.

Baca Juga: Anggota DPRD Kota Samarinda, Ismail Latisi (dok: galang/katakaltim)Ismail Latisi Siap Kawal Layanan Air Bersih untuk Warga Samarinda Ilir

“Kita hanya fasilitasi. Penilaian profesional jadi ranah IDI. Karena memang mereka lembaga yang berwenang,” ungkap Ismail belum lama ini.

Dewan, kata Ismail, mendorong IDI segera melakukan audit etik atas dugaan malpraktik tersebut.

Supaya ada kepastian hukum kepada pasien. Tentu saja, juga akan jadi bahan evaluasi pihak rumah sakit.

Langkah ini, kata Ismail, sangat penting agar kepercayaan publik terhadap pelayanan kesehatan selalu terjaga.

“Bah audit etik itu akan memberikan kejelasan, apakah prosedur medis yang dilakukan sudah sesuai standar profesi?,” ucapnya.

Kronologi Persoalan

Diberitakan sebelumnya, dugaan malpraktik medis tersebut dialami pasien perempuan inisial RH. Nahas, ia harus operasi ulang karena infeksi serius pascaoperasi usus buntu di RSHD.

Tim kuasa hukum korban, Titus Tibayan Pakalla, membeberkan kliennya mengalami perlakuan medis yang tidak sesuai prosedur. Akibatnya berujung pada perawatan intensif di rumah sakit lain.

"Insiden bermula pada 15 Oktober 2024, ketika korban mual, muntah, dan diare setelah mengonsumsi dodol ketan," ucap Titus saat ditemui usai RDP kasus Malpraktik ini di kantor DPRD Samarinda, Kamis 8 Mei 2025 lalu.

Titus menerangkan, kliennya memang punya riwayat maag akut. Lalu, berobat ke Klinik Islamic Center keesokan harinya. Namun kondisinya tak membaik. Hingga akhirnya dibawa ke Rumah Sakit Dirgahayu (RSD) pada 17 Oktober 2024.

Sayangnya, lantaran ruang rawat inap RSD penuh, korban kemudian dialihkan ke RS HD. Setelah menjalani pemeriksaan awal di IGD, korban dipindahkan ke ruang rawat inap.

Meskipun kala itu belum dikunjungi oleh dokter selama 2 hari perawatan awal. Pada hari ketiga, pihak RS HD tiba-tiba menyampaikan rencana operasi usus buntu tanpa menunjukkan hasil tes yang menjadi dasar keputusan tersebut.

Titus menyampaikan, keputusan itu ditolak kliennya. Sebab kliennya merasa sudah sembuh dan tidak mengalami nyeri di area yang ia rasa bermasalah.

Namun, pihak RS HD menyatakan bahwa jika operasi ditolak, maka seluruh biaya pengobatan sejak awal tidak akan ditanggung BPJS.

"Karena tekanan ini, suami korban akhirnya menandatangani surat persetujuan operasi," ucap Titus.

Pada malam tanggal 20 Oktober 2024, korban menjalani operasi usus buntu. Setelah operasi, korban mengalami pembengkakan pada tangan akibat infus, demam tinggi, dan menggigil.

Meskipun menunjukkan gejala pascaoperasi yang memburuk, pihak rumah sakit tetap menyatakan korban boleh pulang pada 22 Oktober 2024.

Setibanya di rumah, kondisi korban memburuk hingga muntah-muntah. Tidak bisa menelan makanan, dan akhirnya pingsan 2 kali pada tanggal 24 Oktober 2024.

Karena kondisi ini, Korban kembali dibawa ke RS HD dengan ambulans relawan. Namun ditolak dengan alasan dokter IGD sedang cuti.

"Pihak rumah sakit hanya memberikan rujukan rawat jalan dan menuliskan kondisi bahwa klien kami dalam keadaan stabil, meski faktanya sebaliknya," lanjut Titus.

Korban kemudian diterima di RS Inche Abdoel Moeis (RS IAM) setelah sempat ditolak oleh beberapa rumah sakit lain.

Di RS IAM, korban segera mendapatkan perawatan intensif dan dinyatakan mengalami infeksi dan kebocoran bekas jahitan operasi.

"Klien kami kembali dioperasi pada 28 Oktober 2024 dan menjalani perawatan selama 12 hari," pungkasnya. (Adv)

Font +
Font -
# ePaper
Lebih Banyak >