BONTANG — Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berdasarkan gender, timpang di Kota Bontang.
Semenjak 2020 sampai 2024, perempuan sulit mengejar laki-laki.
Data terakhir yang dimunculkan, pada 2024 IPM laki-laki capai 85,63. Sementara itu, IPM perempuan hanya 74,91.
Padahal, ini merupakan instrumen penting dalam mengukur tingkat kesejahteraan penduduk.
Tidak kecuali dalam sektor kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
Menanggapi itu, Wali Kota Bontang, Neni Moerniaeni mengatakan untung saja orang nomor 1 Bontang adalah perempuan.
“Ya, tapi untunglah Wali Kotanya perempuan. Itu indikator yang bisa menaikkan sebetulnya,” ucap Neni saat ditemui katakaltim, usai menggelar rapat paripurna di DPRD Bontang, Selasa 10 Juni 2025.
Pun demikian, Neni mengakui harus ada analisa menyeluruh. Misalnya, mereka yang duduk di kursi sofa DPRD Bontang, hanya 1 perempuan.
“Nah, di legislatif ini kita hanya satu orang perempuan dari yang tadinya lima, turun dua, menjadi satu,” jelasnya.
Politisi Golkar itu menambahkan, alasan kenapa perempuan cenderung kalah dalam banyak hal dari laki-laki, terutama dalam bidang politik.
Sebab, ada bias gender. Atau kecenderungan mendahulukan laki-laki ketimbang perempuan dalam berbagai aspek.
“Nah yang kedua, waktunya (perempuan) tidak cukup untuk bersosialisasi. Sementara hal itu bisa dilakukan oleh laki-laki full 24 jam,” jelas Neni.
“Kalau perempuan pulang malam dituduh jadi kupu-kupu malam,” sambungnya tampak tidak sepakat dengan stigma tersebut.
Wali Kota bilang, pun sudah ada regulasi misalnya dalam politik bahwa perempuan punya porsi 30 persen di parlemen, tapi sulit juga.
Neni menyambungkan penilaiannya itu dengan konsep kewajiban kodrati perempuan.
“Nah, ini memang berat di Kota Bontang. Tapi insyaAllah saya akan upayakan,” sambung dia.
Neni kemudian menghitung-hitung perempuan yang duduk di eksekutif. Misalnya Sekda. Kepala Dinas. Kemudian Lurah dan macam-macam lagi contohnya.
“Itu sebetulnya termasuk poin tinggi buat Kota Bontang,” terangnya. “Termasuk Wali Kota. Kemudian Wakil Ketua DPRD-nya perempuan, itu kan sudah punya peran dalam penganggaran,” jelasnya.
Keterangan Neni itu lebih banyak ke domain (wilayah) politik. Bagaimana dengan kesehatan dan pendidikan?
Neni mengatakan kalau di bidang kesehatan sebetulnya pemerintah sudah memberikan akses seluas-luasnya.
Menurut dia saat ini tidak ada diskriminasi gender, baik perempuan maupun laki-laki, dalam bidang kesehatan.
“Saya kira tidak ada masalah di akses kesehatan. Begitu juga di akses pendidikan,” paparnya.
Hanya memang, kata dia, biasanya keluarga itu lebih mementingkan laki-laki bersekolah ketimbang perempuan.
Mudah-mudahan, masih kata Neni, dengan adanya bantuan pendidikan UKT gratis ini, dapat mendorong perempuan bisa lebih meningkatkan kualitas.
Neni kemudian mencontohkan adakalanya perempuan melakukan diskriminasi terhadap kaumnya.
“Nah contoh, saking sayangnya istri sama suami, suami dikasih paha ayam. Lah kita dikasi sayapnya aja,” tukas Neni terkekeh.
“Padahal itu kan diskriminasi gender yang kita bikin sendiri. Dan kita tidak sadari itu. Harusnya kan kalau suami dikasi paha, kita juga paha,” tandasnya.
Neni kemudian menambahkan, tren peningkatan IPM Gender yang naik secara konsisten dari 86,87 pada 2020 menjadi 87,89 pada 2023 menunjukkan adanya kemajuan dalam upaya mengurangi ketimpangan gender.
Kalau melihat data dari 2020 hingga 2024, IPM laki-laki naik dari 84,92 pada 2020, menjadi 85,63 pada 2024.
“Yaa meskipun kenaikan yang relatif kecil dari tahun ke tahun,” tukasnya.
Sementara itu, IPM perempuan juga menunjukkan tren peningkatan dari 73,77 pada 2020 menjadi 74,91 pada 2024.
Pun naik di kedua kelompok, selisih antara IPM laki-laki dan perempuan masih cukup signifikan.
“Nah ini menandakan tantangan mencapai kesetaraan gender masih perlu mendapatkan perhatian,” sambung dia.
Neni berpandangan bahwa harus ada upaya meningkatkan partisipasi perempuan dalam sektor ekonomi dan pendidikan tinggi.
“Insyaallah kita akan upayakan,” imbuhnya. (*)