Payload Logo
DPRD Kutim
6-375020251125184735752.jpg
Dilihat 697 kali

Febby Ayu Indah Lestari (pakai masker), istri mendiang Hidayat, didampingi Kuasa hukumnya, Laura Azani, saat mengikuti sidang perdana di Pengadilan Negeri Samarinda, Senin (4/7/2025). (Dok: Ali/katakaltim)

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Sepakati Restitusi Rp300 Juta atas Kasus Pembunuhan di Bengkel Samarinda

Penulis: Ali | Editor: Agu
4 Agustus 2025

SAMARINDA — Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) setujui pemberian restitusi atau ganti rugi kepada Febby Ayu Indah Lestari, istri mendiang Hidayat yang jadi korban penganiayaan berat hingga meninggal dunia di sebuah bengkel di Samarinda.

Peristiwa tragis itu terjadi di Bengkel Surya Mobil, Jalan Tridarma. Mengakibatkan Hidayat tewas sebab dihantam dengan palu besi oleh rekan kerjanya sendiri, Muhammad Riadi.

Saat kejadian, istri korban sedang mengandung lima bulan. Dan kini harus melanjutkan hidup sebagai ibu tunggal.

Dalam pernyataan resminya, LPSK menetapkan besaran restitusi yang diberikan mencapai Rp330.903.000, sebagai bentuk pemulihan hak-hak korban.

Kuasa hukum Febby, Laura Azani, menyambut baik langkah LPSK tersebut. Ia menegaskan pentingnya pengakuan dan tanggung jawab atas penderitaan yang dialami keluarga korban, tak hanya dari lembaga negara, tetapi dari pihak pengadilan dan pembela pelaku.

"Kita sangat apresiasi. Ini menunjukkan empati dan keberpihakan terhadap korban. Restitusi ini bukan soal angka semata, tapi soal pengakuan bahwa keluarga korban berhak atas keadilan yang nyata, terlebih lagi istri korban harus melahirkan anak dalam situasi kehilangan tulang punggung ekonomi," ujar Laura kepada awak media, Senin 4 Agustus 2025.

Lebih lanjut, ia menegaskan nilai ganti rugi tersebut memang tidak bisa menggantikan nyawa, namun merupakan langkah awal menghadirkan keadilan bagi korban.

"Secara nilai, tentu tidak sebanding dengan kehilangan nyawa. Tapi dalam konteks formal hukum, ini adalah langkah awal yang sangat penting,” katanya.

“Nilai kewajaran LPSK dihitung berdasarkan hukum positif. Sekarang tinggal bagaimana pengadilan dan pelaku benar-benar menjalankan tanggung jawabnya," sambung dia.

Laura juga menyinggung pentingnya peran kuasa hukum dari pihak pelaku, agar tak hanya terpaku pada upaya pembelaan, tetapi turut aktif mendorong realisasi restitusi sebagai bentuk tanggung jawab moral.

"Saya ingin mengajak rekan sejawat di sisi pembela pelaku untuk terlibat aktif dalam proses restitusi ini, bukan hanya fokus pada pembelaan hukum. Saat ini, kita punya anak korban yang baru lahir dan kehilangan masa depan. Saya berharap ada ruang kolaborasi, bukan hanya kompetisi, demi kepentingan terbaik anak," tegasnya.

Laura juga menggarisbawahi pentingnya pengakuan formal terhadap pernyataan dampak korban atau Victim Impact Statement (VIS), yang selama ini masih sering diabaikan dalam proses persidangan di Indonesia.

"VIS adalah hak korban untuk menyampaikan dampak nyata: luka batin, kehilangan ekonomi, trauma. Di kasus ini, klien saya Febby sangat jelas merasakannya. Kalau VIS diakui formal dalam RKUHAP, maka suara-suara seperti Febby akan mendapat tempat resmi di ruang sidang, bukan hanya di luar persidangan," jelasnya.

Terakhir, Laura menyampaikan komitmennya terus mengawal kasus ini sampai keadilan benar-benar berpihak kepada pihak korban akibat kejahatan tersebut.

"Kita akan terus mengawal sampai restitusi ini diakui pengadilan dan benar-benar dibayarkan. Kita juga berharap ke depan, negara benar-benar menempatkan korban sebagai pusat keadilan, bukan pelengkap. Ini tentang masa depan seorang anak yang tidak pernah bertemu ayahnya," pungkas Laura. (*)