Payload Logo
-126020251125184833975.jpg
Dilihat 379 kali

Arnani Widjanarko (Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman) (Dok: pribadi)

OPINI: Katanya Negara Demokrasi, Tapi Kok Penuh Intimidasi?

Penulis: | Editor: Agu
7 Agustus 2025

Penulis: Penulis: Arnani Widjanarko (Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman)

KATAKALTIM — Salah satu hak dasar setiap manusia adalah berekspresi dan menyampaikan pendapat mereka.

Kemajuan teknologi dan akses yang semakin mudah, tentu saja dapat memberikan kesempatan yang luas bagi setiap orang melancarkan pendapatnya.

Konstitusi sendiri menjamin hak asasi manusia (HAM) termasuk kebebasan berpendapat.

Seperti dalam Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”.

Kemudian ada juga dalam Pasal 28E Ayat (3) berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Kebebasan berpendapat dilindungi oleh Undang-UndangU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 23 Ayat (2) dan Pasal 25 menyatakan terkait kebebasan berpendapat bagi seluruh kalangan.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Indikator Politik Indonesia pada tahun 2022, 62,9 persen responden mengatakan bahwa mereka takut menyuarakan pendapat mereka karena khawatir akan dijerat oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sedangkan 21,4 persen mengatakan bahwa mereka tidak takut untuk menyuarakan pendapat mereka, dan 15,7 persen tidak ingin menjawab.

Tidak diragukan lagi persentase tersebut tentu akan terus meningkat dari tahun ke tahun, hingga saat ini.

Namun, ketakutan masyarakat dalam menyuarakan pendapat, kini tidak hanya terbatas pada bayang-bayang jeratan hukum melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Di tahun 2025 muncul kekhawatiran baru yang lebih mengakar yakni keterlibatan militer dalam ruang sipil yang semakin terasa. Tampaknya pola keterlibatan militer dalam aspek kehidupan sehari-hari masyarakat sipil menjadi lebih terbuka setelah pergantian kepemimpinan nasional.

Sangat mungkin bahwa kritik terhadap pemerintah, yang sebenarnya merupakan bagian dari ekspresi demokratis, dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas bangsa. Ruang aman untuk menyuarakan pendapat menjadi semakin terbatas dalam kondisi seperti ini.

Institusi militer yang seharusnya netral namun mulai muncul dalam ruang-ruang yang harus dipenuhi dengan diskusi sipil merupakan dua ancaman yang menghadang masyarakat saat ini.

Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh jerat hukum yang lentur interpretasinya. Disisi lain jikakalau simbol yang erat dengan kebebasan ternyata dianggap ancaman, apakah kita masih punya ruang aman untuk menyampaikan keresahan?

TNI mengatakan bahwa mereka dengan tegas menunjukkan komitmennya untuk mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi, termasuk kebebasan berpendapat.

Mereka percaya bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk menyampaikan aspirasi dan kritik secara terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat.

Selain itu, TNI juga berkomitmen untuk menjaga ruang demokrasi dan tetap memegang prinsip netralitas, dengan tidak pernah terlibat dalam membungkam suara publik.

Selain itu, mereka juga tidak mendukung segala jenis intimidasi terhadap individu atau kelompok.

Tetapi jika kita melihat peristiwa yang baru saja terjadi dalam pelaksanaan Pengenalan

Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Universitas Mulawarman 2025, keterlibatan militer dalam ruang sipil khususnya ruang akademik tampak sangat kentara.

Perwira militer yang berpartisipasi sebagai pemateri dalam acara tersebut ditempatkan di kursi kehormatan. Ini adalah simbol politik yang mengkomunikasikan gagasan bahwa militer memiliki otoritas.

Lebih dari itu, perwira tersebut bahkan secara terbuka menantang mahasiswa saat mereka menyanyikan lagu “Buruh Tani" yang telah lama menjadi simbol perjuangan dan semangat perubahan dari generasi ke generasi.

Namun, tidak ada undang-undang yang melarang mahasiswa menyanyikan lagu tersebut. Bahkan jika kita melihat pendapat Herdiansyah Hamzah, dosen Fakultas Hukum yang juga dikenal sebagai akademisi kritis.

Beliau secara terbuka menyebut bahwa PKKMB UNMUL tahun ini bukan lagi sekadar ajang pengenalan kampus bagi mahasiswa baru, melainkan telah menjadi panggung bagi pejabat serta upaya indoktrinasi nilai-nilai militer dalam institusi pendidikan.

Kritik ini mencerminkan keresahan banyak pihak bahwa dominasi simbol-simbol militer di ranah akademik tidak hanya mencederai prinsip kebebasan berpikir, tetapi juga menciptakan atmosfer ketakutan untuk bersuara.

Ketika seorang perwira militer merasa berhak mempertanyakan lagu “Buruh Tani” yang dinyanyikan mahasiswa, lagu yang sama sekali tidak memuat unsur penghinaan terhadap negara maupun pejabat lalu bagaimana nasib kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi?

Bukankah kampus semestinya menjadi benteng pertahanan terakhir bagi kebebasan akademik dan kebebasan berpendapat?

Bagaimana sebetulnya hak warga negara diperlakukan dalam demokrasi? Sebenarnya, setiap warga negara memiliki kebebasan untuk berpartisipasi dalam diskusi publik, mengkritik pemerintah, berorganisasi dan mendukung perubahan sosial.

Tetapi banyak warga negara yang takut untuk berpendapat sebab berekspresi dan berpendapat rawan terjerat hukum membuat orang takut menyampaikan pendapat yang wajar.

Seperti halnya Francisca Christy Rosana, jurnalis Tempo, menerima kiriman bangkai kepala babi dari orang tidak dikenal pada 19 dan 22 Maret 2025.

Kantor Redaksi Tempo menerima paket kiriman enam ekor tikus sebagai tanggapan atas ancaman sebelumnya.

Tekanan terhadap kebebasan berekspresi tidak terbatas pada ruang kampus. Pengibaran bendera One Piece menjelang Hari Ulang Tahun Republik Indonesia juga mendapat tanggapan negatif dan ancaman dari pemerintah baru-baru ini.

Namun bagi banyak orang, bendera itu

hanyalah simbol kritik sosial representasi kerinduan akan kebebasan, perlawanan terhadap ketidakadilan dan semangat solidaritas.

Pemerintah menggunakan metode represif dan memperingatkan orang-orang untuk berhenti mengibarkannya, alih-alih memahami makna simbolik tersebut.

Dalam konteks ini, pakar hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah mengingatkan bahwa pemerintah harus fokus pada substansi penting, bukan simbol yang digunakan masyarakat.

Hal ini jelas menegaskan bahwa kebebasan berekspresi di Indonesia hari ini tidak hanya terkekang oleh regulasi yang multitafsir, tetapi juga oleh ketakutan akan stigmatisasi dan intimidasi.

Ketika simbol perlawanan damai pun dianggap ancaman, ruang demokrasi kita perlahan-lahan dipersempit oleh paranoia kekuasaan. Bukankah kritik, simbol, dan ekspresi adalah bagian dari jantung demokrasi itu sendiri?

Mungkin pada akhirnya, kita memang harus belajar bahwa kebebasan berpendapat di

negeri ini hanya diperbolehkan selama tidak membuat penguasa merasa gelisah. Kritik boleh saja, asalkan tidak terlalu keras.

Simbol boleh dipakai, asalkan bukan simbol yang memancing keberanian kolektif. Ruang akademik pun boleh berpikir bebas, selama pikirannya tidak menyentuh garis batas yang sudah ditentukan.

Maka jangan heran jika suatu saat nanti, kita tidak hanya takut pada pasal-pasal karet, tetapi juga pada kursi-kursi kehormatan yang tampak semakin sering dipakai untuk menegaskan siapa yang paling berkuasa atas suara kita. Sudah saatnya ruang sipil dikembalikan kepada rakyat, bukan dikuasai oleh simbol kekuasaan! (*)