Payload Logo
j-916320251125190421736.jpg
Dilihat 0 kali

Aswar Alimuddin, Anggota Dewan Etik Jaringan Aktivis Filsafat Islam (JAKFI) Nusantara (Dok: pribadi)

OPINI: Ketika Forum Islam Disetir Zionis, Wajah Gelap Perdamaian KTT Mesir

Penulis: | Editor: Agu
22 Oktober 2025

Penulis: Aswar Alimuddin (Anggota Dewan Etik Jaringan Aktivis Filsafat Islam Nusantara)

KATAKALTIM — Baru-baru ini, dunia menyaksikan penandatanganan gencatan senjata antara Hamas dan Israel dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Mesir, yang dihadiri oleh sejumlah pemimpin negara Arab, Amerika Serikat, dan perwakilan internasional. Forum yang sejatinya diharapkan menjadi ruang diplomasi Islam untuk menghentikan genosida di Gaza itu justru menimbulkan banyak pertanyaan.

Apakah Donald Trump benar-benar ingin menghentikan perang ketika memposisikan diri sebagai arsitek “perjanjian damai” antara Hamas dan Gaza? Pertanyaan ini, hemat penulis, wajib kita telusuri secara mendalam dalam membaca wajah ganda geopolitik dunia.

Sebab bagaimana mungkin berbicara tentang “damai” ketika tujuan strategis Zionis — sebagaimana sering mereka suarakan di berbagai media — adalah menumpas tuntas Hamas dan menaklukkan seluruh Gaza? Bagaimana mungkin mempercayai niat baik seorang presiden yang dalam pidato dan jejak digitalnya secara terbuka di depan Parlemen Israel mengakui kebanggaan mensuplai senjata kepada Israel, bahkan ia berkata bangga karena Netanyahu selaku Perdana Menteri Israel telah menggunakan senjata yang diberikan dengan baik — senjata yang telah menewaskan lebih dari 68 ribu jiwa dalam dua tahun terakhir?

Kamuflase atas Kegagalan Geopolitik

Perjanjian damai di KTT Mesir lebih tampak sebagai kamuflase politik daripada cita cita perdamaian itu sendiri. Baru baru ini media media mainstream memberitakan bagaimana Amerika Serikat di bawah Trump menghadapi tekanan berat dari segi ekonomi, yaitu tidak dapat mengaji pejabatnya karena anggaran di setop melalui lawan politik nya di parlemen?

Daripada mengakui krisis itu secara terbuka, mereka memilih membungkus kelemahan dengan narasi “perdamaian.” Sebuah diplomasi palsu dalam menyembunyikan krisis internal yang merupakan sumber utama pembiayaan genosida.

Namun lebih dari itu, tekanan moral global juga memuncak. Penahanan dan pembubaran paksa Global Sumud Flotilla (GSF) — armada kemanusiaan internasional untuk Gaza — telah memicu gelombang simpati dan kemarahan di berbagai belahan dunia. Di banyak kota besar Eropa dan Amerika, demonstrasi pro-Palestina terus membesar, menyingkap kemunafikan negara-negara yang selama ini mengklaim diri sebagai penjaga hak asasi manusia.

Wajah Ganda Negara Arab di KTT

KTT Mesir memperlihatkan wajah ganda dunia Arab. Negara-negara yang hadir kebanyakan adalah mereka yang memilih diam saat genosida berlangsung — atau lebih jauh, mereka yang sedang menormalisasi hubungan dengan Zionis di tengah darah yang masih mengalir di Gaza.

Pidato-pidato mereka di forum itu hanya menambah daftar panjang retorika tanpa arah. Tidak ada langkah politik konkret, tidak ada tekanan diplomatik, tidak ada solidaritas nyata. Yang ada hanyalah upaya menjaga kepentingan ekonomi dan keamanan dalam negeri masing-masing.

Bukankah kita tau, bahwa presiden mesir yang mendampingi trump ketika menandatangani perjanjian damai gencatan senjata hamas dan Israel adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas blokade bantuan kemanusiaan di jalur darat ( perbatasan rafah) bukankah ia juga yang menutup pintu masuk ratusan relawan kemanusiaan yang long march untuk masuk di gaza?

Sementara itu, Iran dan Malaysia — yang selama ini berada di garis depan dukungan terhadap Palestina — tidak hadir. Ketidakhadiran mereka bukan bentuk pengunduran diri dari isu kemanusiaan, melainkan bentuk kesadaran politik. Mereka tahu bahwa “perdamaian” versi KTT Mesir adalah perdamaian pragmatis, bukan moral.

Sebuah forum yang tidak lagi digerakkan oleh idealisme Islam dan nilai keadilan , melainkan telah disusupi kepentingan geopolitik Zionis — di mana diplomasi diukur oleh kepentingan , bukan berdasarkan keadilan dan kemanusiaan.

Jangan Lupakan 6 kali Veto Amerika Serikat di PBB

Amerika Serikat, yang kini tampil di KTT Mesir dengan wajah seolah penengah, sesungguhnya telah enam kali menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan PBB untuk menolak resolusi gencatan senjata yang diajukan mayoritas negara anggota PBB.

Dalam sidang terakhir, hampir seluruh anggota — termasuk negara-negara Eropa dan Afrika — menuntut penghentian agresi Israel di Gaza. Namun satu negara, satu suara veto, menutup seluruh jalan kemanusiaan.

Inilah kemunafikan yang paling telanjang. Di satu sisi, Trump berbicara tentang perdamaian di forum Islam; di sisi lain, negaranya menggunakan kekuatan hukum internasional untuk menghalangi perdamaian yang sesungguhnya.

Pertanyaannya: jika Amerika benar-benar menginginkan kedamaian, mengapa menolak gencatan senjata di forum resmi dunia seperti PBB?

Mengapa justru memilih tampil di KTT yang seharusnya mewakili suara Islam — kecuali jika forum itu telah dikooptasi oleh kepentingan Zionis melalui pengaruh Amerika dan Trump sendiri?

Maka kehadiran Trump bukanlah tanda komitmen damai, melainkan simbol penetrasi kepentingan Zionis ke dalam forum Islam. KTT Mesir kehilangan independensinya, kehilangan nyawanya sebagai wadah solidaritas umat, dan kini menjelma menjadi panggung politik yang disetir oleh kekuatan imperium.

Perdamaian yang mengaburkan keadilan bagi Rakyat Palestina

Bagaimana mungkin kita menyebutnya perdamaian, ketika sejak agresi 7 Oktober 2023, wilayah Gaza justru semakin menyempit di bawah pendudukan Zionis? Apakah “damai” yang dimaksud adalah penerimaan atas perluasan wilayah jajahan?.

Jika demikian, maka yang terjadi bukanlah perdamaian — melainkan legitimasi atas kolonialisme baru.

Padahal resolusi PBB tahun 1967 telah menegaskan batas wilayah Israel dan Palestina secara jelas. Namun hari ini, lembaga-lembaga internasional yang seharusnya menjadi penjaga hukum dunia justru lumpuh — dibungkam oleh veto Amerika yang menjadi tameng legal bagi kejahatan perang.

RI ingin mengirim Pasukan Perdamaian ke Gaza, Untuk Palestina atau Pion Zionis?

Setelah penandatanganan gencatan senjata olwh Trump di KTT Mesir, Pemerintah Indonesia menyatakan kesiapan mengirim pasukan perdamaian ke Gaza. Sekilas tampak mulia, namun secara geopolitik menimbulkan pertanyaan mendasar: perdamaian dalam konteks siapa, dan untuk siapa?

Apakah pasukan itu akan dikirim setelah Zionis memperluas wilayah kekuasaannya, untuk menjaga “stabilitas” di wilayah jajahan? Jika demikian, Indonesia berpotensi menjadi penjaga hasil pendudukan, bukan pembela keadilan.

Mengapa pasukan itu tidak diutus ketika genosida berlangsung, saat anak-anak Gaza dibantai dan rumah sakit dibom? Mengapa baru sekarang, ketika peta Gaza telah berubah dan tekanan publik dunia memuncak, muncul wacana “menjaga perdamaian”?

Padahal, keadilan sejati ditegakkan saat ketidakadilan masih berkuasa — bukan setelah penjajah menuntaskan agresinya.

Ironisnya, pemerintah belum pernah bersuara tegas di PBB menuntut pengembalian batas wilayah Palestina sesuai resolusi 1967, atau menegaskan Yerusalem Timur dan Al-Aqsa sebagai bagian sah dari Palestina.

Maka wajar jika muncul kecurigaan: apakah pengiriman pasukan ini benar bentuk solidaritas, atau justru bagian dari politik normalisasi yang perlahan membawa Indonesia ke orbit elite global pro-Zionis? Terlebih ketika dalam lingkar dewan penasihat DANANTARA yang di bentuk pemerintah Prabow , muncul figur global seperti Tony Blair tokoh yang dikenal berafiliasi dengan kepentingan Barat dan Israel.

Penutup

KTT Mesir adalah cermin dari bagaimana dunia modern memperlakukan perdamaian sebagai instrumen politik, bukan cita-cita moral.

Dunia tidak butuh “damai” yang pragmatis. Dunia butuh keberanian moral untuk menyebut penjajahan sebagai penjajahan — dan kemerdekaan sebagai hak yang mutlak.

Selama “damai” masih didefinisikan oleh mereka yang menolak keadilan, maka Gaza akan tetap berdarah. Dan sejarah akan mencatat: siapa yang berdiri bersama kebenaran, dan siapa yang menjualnya atas nama diplomasi. (*)