Payload Logo
b-317920251125190945590.jpg
Dilihat 377 kali

Dosen Hubungan Internasional Universitas Slamet Riyadi, Setyasih Harini (dok: pribadi)

OPINI: Surakarta di Persimpangan, Sebuah Tantangan dan Harapan bagi Raja Baru

Penulis: | Editor: Agu
16 November 2025

Penulis: Setyasih Harini (Dosen Hubungan Internasional Universitas Slamet Riyadi)

KATAKALTIM — Putra mahkota KGPAA Hamengkunegoro, yang juga dikenal dengan nama Gusti Purbaya, secara resmi telah dinobatkan sebagai Pakubuwono (PB) XIV. Gusti Purbaya menggantikan ayahnya, Pakubuwono XIII, yang telah wafat beberapa waktu lalu.

Momen penobatan ini menjadi titik penting bagi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat karena menandai awal dari era kepemimpinan baru setelah melewati masa berkabung serta rangkaian ritual penghormatan adat yang khidmat.

Dalam sumpahnya, Pakubuwono (PB) XIV berikrar menjalankan kepemimpinan berdasarkan syariat Islam dan hukum adat Keraton dengan penuh tanggung jawab dan keadilan. Ia juga berkomitmen mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan sepenuh hati sekaligus melestarikan budaya Jawa yang menjadi warisan dinasti Mataram.

Penobatan Gusti Purbaya sebagai Pakubuwono XIV bukan hanya soal pergantian raja, tetapi juga ujian bagi kelangsungan budaya dan persatuan di era modern ini.

Peran seluruh elemen masyarakat dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mendukung stabilitas dan kemajuan budaya serta politik dalam keraton, demi menjaga keutuhan dan kejayaan tradisi yang kaya makna bagi bangsa Indonesia.

Penobatan ini menjadi momentum reflektif sekaligus harapan baru bahwa kepemimpinan baru di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dapat membawa keseimbangan antara tradisi dan dinamika zaman.

Tradisi penobatan bukan sekadar upacara formal atau politik, melainkan sebuah ritual yang mengandung legitimasi kepemimpinan sekaligus pelestarian budaya Jawa yang kaya akan seni, musik, dan tata busana adat.

Jumenengan juga memiliki makna spiritual yang mendalam, menegaskan hubungan harmonis antara raja, kerajaan, alam, dan Sang Pencipta. Upacara ini menjadi simbol tanggung jawab seorang raja terhadap rakyat, leluhur, dan nilai-nilai budaya yang diwariskan.

Surakarta, sebagai kota budaya yang melestarikan warisan Kerajaan Mataram, memiliki posisi strategis dalam menjaga kesinambungan sejarah dan identitas budaya Jawa.

Raja, dalam konteks ini, tidak sekadar figur simbolis, melainkan sosok yang menjadi lambang keberlanjutan nilai dan tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Sebagai pewaris takhta Mataram, raja baru Surakarta memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi penjaga dan penerus budaya yang kaya ini, sekaligus menjadi inspirasi dalam menghadapi tantangan zaman modern.

Sebagai kota budaya, Kota Surakarta dikenal sebagai pusat seni tradisional, termasuk batik, keris, tari, dan wayang, yang semuanya merupakan cermin kekayaan budaya Mataram.

Dengan dinobatkannya raja baru, diharapkan muncul semangat baru dalam pelestarian dan penguatan warisan tersebut.

Raja dapat berperan sebagai katalisator untuk menghidupkan kembali tradisi-tradisi yang mungkin mulai terlupakan, sambil mengadaptasinya dalam bentuk yang relevan bagi masyarakat masa kini, seperti melalui festival budaya, pendidikan, dan diplomasi budaya.

Selain itu, Surakarta dengan masih kokohnya bangunan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang didirikan pada tahun 1744 oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II memiliki potensi besar untuk memperkuat identitas kota sebagai destinasi wisata budaya yang mendunia.

Peran raja harus diperluas tidak hanya dalam konteks upacara adat, tetapi juga sebagai duta budaya yang mampu mengenalkan nilai-nilai luhur Mataram kepada generasi muda dan dunia internasional.

Integrasi antara kearifan lokal dan strategi modernisasi budaya dapat membangun kebanggaan kolektif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui sektor ekonomi kreatif dan pariwisata.

Raja baru Surakarta, PB XIV memegang peran penting dalam upaya revitalisasi budaya yang menjadi tulang punggung identitas kota ini.

Revitalisasi budaya bukan sekadar pemeliharaan warisan lama, melainkan sebuah proses pembaruan yang mengaitkan nilai-nilai tradisional dengan kebutuhan dan dinamika masyarakat masa kini.

Di bawah kepemimpinan raja yang baru, diharapkan terobosan-terobosan konkret muncul, seperti pengembangan program edukasi budaya yang melibatkan generasi muda secara aktif, pemberdayaan seniman lokal, serta penguatan pelestarian ragam seni tradisional seperti wayang kulit, batik, dan tari-tarian khas Mataram.

Lebih dari itu, revitalisasi juga perlu dirancang agar budaya tidak hanya menjadi tontonan atau objek wisata, melainkan menjadi gaya hidup dan sumber inspirasi masyarakat secara luas.

Raja baru dapat menjadi motor penggerak dialog antara pelaku budaya, pemerintah, dan komunitas warga, sehingga lahir kebijakan yang mendukung keberlanjutan seni-budaya.

Pengintegrasian teknologi digital untuk mendokumentasikan dan memasyarakatkan budaya juga menjadi langkah penting agar warisan budaya Surakarta tetap relevan dan mudah diakses, khususnya oleh generasi milenial dan masyarakat mancanegara.

Dengan pendekatan yang holistik dan inovatif ini, raja baru Surakarta diharapkan mampu menyalakan kembali semangat kota sebagai pusat budaya Jawa yang hidup dan berkembang, sekaligus menjadi teladan dalam pelestarian tradisi di tengah arus globalisasi.

Dengan demikian, harapan terhadap raja baru bukan hanya pada pelestarian warisan sejarah, tetapi juga pada kemampuan merajut masa depan Surakarta yang berakar pada tradisi kuat Kerajaan Mataram.

Raja diharapkan menjadi pemimpin yang membangun jembatan harmonis antara masa lalu dan masa depan, menjadikan Surakarta bukan hanya kota budaya warisan, tetapi juga kota budaya yang dinamis, inovatif, dan berpengaruh di kancah nasional maupun internasional. (*)