Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materil Pasal 188 UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota terhadap UUD 1945. (aset: hukumonline)

Putusan Terbaru MK: Pejabat Daerah dan TNI/POLRI Bisa Terpidana Jika Melanggar Netralitas

Penulis : Redaksi
15 November 2024
Font +
Font -

JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materil Pasal 188 UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota terhadap UUD 1945.


Ketua Majelis MK Suhartoyo mengatakan, Pasal 188 UU 1/2015 sebagaimana telah diubah oleh UU Nomor 10 Tahun 2016 dinyatakan inkonstitusional, bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:

Baca Juga: Mahkamah Konstitusi didesak terbuka soal pelanggaran di Pilpres 2024 oleh masyarakat sipil (dok: ist)Masyarakat Sipil Desak Mahkamah Konstitusi Terbuka Soal Pelanggaran di Pilpres 2024

Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, serta Kepala Desa atau sebutan lainnya/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00".

Baca Juga: Ketua DPW Partai NasDem Kaltim Muchtar Luthfi A Mutty (dok: katakaltim)Tingkatkan Iklim Demokrasi, Luthfi Sebut NasDem Buka Peluang Kepada Masyarakat Menjadi Cakada

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Suhartoyo saat membacakan amar Putusan MK Nomor 136/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan Syukur Destieli Gulo, Kamis (14/11/2024) di ruang sidang pleno MK, Jakarta.

Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan Hakim Konstitusi Arief Hidayat, MK menyatakan netralitas aparatur negara baik sipil maupun militer dalam pilkada merupakan prinsip dasar menjamin penyelenggaraan sebuah pemilu yang jujur dan adil.

Dengan netralitas aparaturnya, negara dapat menjaga keadilan, hak warga negara untuk mengikuti pilkada secara langsung, umum, bebas dan rahasia, sekaligus menjamin pilkada yang jujur dan adil dengan mencegah perilaku penyalahgunaaan kekuasaan oleh aparatur negara.

“Netralitas aparatur negara akan meningkatan kualitas demokrasi dan memastikan pilkada sebagai sarana untuk memilih pemimpin daerah yang dihasilkan bukan dari proses pilkada yang manipulatif karena adanya keberpihakan aparatur negara terhadap pasangan calon tertentu,” ujar Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.

Selanjutnya, dalam rangka perbaikan penyelenggaraan pilkada untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota, pembentuk UU telah melakukan revisi atau perubahan terhadap sejumlah ketentuan dalam UU 1/2015.

Di antaranya terhadap norma Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 dengan menambahkan 2 subjek hukum baru sebagai aparatur negara yaitu pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI sebagaimana kemudian dirumuskan dalam norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016.

Meskipun Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 yang merupakan norma primer telah mengalami perubahan, namun perubahan itu tidak diikuti dengan perubahan atau penambahan 2 subjek hukum baru tersebut ke dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang merupakan norma sekunder.

Oleh karena UU 10/2016 tidak mengubah norma Pasal 188 UU 1/2015, sehingga untuk norma sekunder yang mengatur pemidanaan tersebut tetap berlaku dan mengacu pada Pasal 188 UU 1/2015.

Padahal, norma Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 yang diubah dalam UU 10/2016 bukan merupakan norma yang bersifat lex imperfecta, melainkan norma yang dibuat dengan akibat atau konsekuensi hukum.

Dalam hal ini, akibat atau konsekuensi hukumnya adalah harus dimuat pada norma sekunder yang mengatur ketentuan pidana atas pelanggaran yang dilakukan dalam Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016.

Tidak diubahnya norma Pasal 188 UU 1/2015 dalam UU 10/2016 agar sinkron dengan norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 yang digunakan sebagai rujukan, sehingga menjadikan tidak adanya kepastian dan kesesuaian hukum terkait norma pemidanaan terhadap 2 subjek hukum baru yang ditambahkan yakni pejabat daerah dan anggota TNI/Polri.

Padahal, Pasal 205B UU 10/2016 menentukan UU 1/2015 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU 10/2016.

Oleh karena norma kedua pasal a quo merupakan norma hukum berpasangan, maka norma Pasal 188 UU 1/2015 sebagai norma sekunder yang memberikan pedoman bagi para penegak hukum untuk bertindak apabila norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 tidak dipatuhi atau dilanggar, harus dirumuskan dengan jelas, cermat, dan rinci guna memenuhi prinsip lex certa agar tidak menimbulkan masalah dalam penegakan hukumnya.

Jika tercipta ruang perbedaan pandangan atau interpretasi ketika diterapkan dalam kasus konkret, maka berarti prinsip lex certa tersebut menjadi tidak terpenuhi.

Mahkamah mencermati Pasal 188 UU 1/2015 dihubungkan dengan Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 ternyata memang terdapat perbedaan cakupan subjek hukum dalam kedua norma yang saling berpasangan tersebut pasca perubahan UU 1/2015.

Adanya penambahan pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI sebagai subjek hukum baru dalam norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 tidak terakomodir dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang tidak diubah dalam UU 10/2016.

Ketiadaan 2 subjek hukum yakni pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang memuat sanksi pidana akan menimbulkan permasalahan dalam penegakan hukumnya.

Misalnya, kedua subjek hukum tersebut berpotensi menjadi tidak dapat diproses pidana meskipun perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016. Atau setidaknya timbul perdebatan mengenai keabsahan proses penegakan hukum terhadap kedua subjek hukum tersebut.

Dengan mengacu pada fakta tidak dilakukan perubahan norma Pasal 188 UU 1/2015 dengan menambahkan dua subjek hukum baru sebagaimana yang dilakukan terhadap norma Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015, Mahkamah dihadapkan kepada pilihan apakah melakukan harmonisasi dan/atau sinkronisasi kedua norma yang berpasangan tersebut dengan menambahkan kedua subjek hukum yakni pejabat daerah dan anggota TNI/POLRI agar kedua norma tersebut menjadi konsisten, koheren, harmonis, sinkron dan saling berkorespondensi, dan sekaligus memenuhi prinsip lex certa.

Diharapkan pilkada lebih demokratis

Menanggapi putusan, Syukur Destieli Gulo mengatakan ketiadaan frasa “pejabat daerah dan anggota TNI/Polri” dalam Pasal 188 UU 1/2015 itu dinilai dapat meloloskan pejabat daerah dan anggota TNI/Polri yang tidak netral di pilkada dari jeratan hukum.

Padahal, “pejabat daerah dan anggota TNI/Polri” dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon yang diatur dalam Pasal 71 ayat (1) UU tentang Pilkada.

Dengan demikian, kata Gulo, terdapat kekosongan hukum mengenai sanksi pidana, khususnya pelanggaran netralitas yang dilakukan “pejabat daerah dan anggota TNI/Polri” tersebut. MK pada akhirnya memutus permohonan Gulo yang terdaftar dalam perkara Nomor 136/PUU-XXII/2024.

Melaui putusan tersebut, MK menafsirkan secara bersyarat ketentuan Pasal 188 UU tentang Pilkada dengan menambahkan frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/Polri”.

Dengan begitu, setiap pejabat daerah dan anggota TNI/Polri yang tidak netral dalam Pilkada 2024 nantinya dapat dipidana berdasarkan Pasal 188 UU tentang Pilkada.

“Dengan adanya putusan MK Nomor 136/PUU-XXII/2024, kepastian hukum terhadap pilkada yang demokratis lebih terjamin. Saya berharap agar seluruh warga negara Indonesia dapat mengawasi bersama pelaksanaan putusan MK tersebut,” harapnya. (*)

Font +
Font -