Payload Logo
t-409720251125190405172.jpg
Dilihat 0 kali

Pelajar (dok; ist)

Saat Kebijakan Menyentuh Kelas: Mengukur Efek Nyata Pendidikan Berdampak

Penulis: | Editor: Agu
21 Oktober 2025

Penulis OPINI: Fadil Maman, Pengamat Pendidikan Banyumas Raya

KATAKALTIM — Suara anak-anak terdengar riuh di ruang kelas SMP Negeri 1 Bae, Kudus, yang tengah menjalani wajah barunya. Toilet ramah disabilitas baru saja rampung, dinding kelas dicat ulang, dan ruang kesenian kembali hidup setelah bertahun-tahun sepi. Semua ini bagian dari Program Revitalisasi Satuan Pendidikan yang dijalankan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen).

Di hadapan para guru dan warga, Menteri Abdul Mu’ti berpesan agar pembangunan selesai tepat waktu, sembari menegaskan makna revitalisasi bukan sekadar fisik.

“Kami tidak sedang membangun tembok, tetapi memulihkan martabat ruang belajar,” ujarnya.

Program revitalisasi ini menjadi tonggak awal dalam perjalanan satu tahun reformasi pendidikan nasional. Dengan anggaran Rp16,97 triliun, pemerintah menargetkan 10.440 satuan pendidikan, namun berhasil melampaui hingga 15.523 sekolah di seluruh Indonesia — dari PAUD, SD, SMP, SMA/SMK hingga SLB.

Di Kudus, Ketua Panitia Pembangunan, Nur Khoris, mengaku 20 pekerja lokal dilibatkan langsung. “Kami ingin hasil pembangunan ini terasa sebagai kerja gotong royong, bukan proyek semata,” tuturnya. Model swakelola seperti ini kini menjadi wajah baru pembangunan pendidikan: ekonomi lokal bergerak, komunitas tumbuh, dan sekolah berdiri dari partisipasi masyarakat.

Cerita serupa datang dari Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur. Di sekolah yang dulu berdinding papan, kini berdiri ruang belajar berlantai semen dengan akses internet satelit. Seorang guru muda mengajar lewat tablet, menayangkan video sains berbahasa daerah. Murid-murid menatap layar kecil itu dengan rasa ingin tahu yang besar.

Revitalisasi fisik akhirnya menjadi pintu masuk menuju revitalisasi makna: bahwa pendidikan adalah hak, bukan kemewahan.

Transformasi pendidikan bukan hanya membangun ruang, tetapi juga membuka akses ilmu tanpa batas. Melalui Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025 tentang Digitalisasi Pendidikan Nasional, Kemendikdasmen memperluas akses pembelajaran digital untuk lebih dari 285.000 sekolah — mulai dari PAUD hingga Sanggar Kegiatan Belajar.

Kini, smart classroom, internet sekolah, dan papan interaktif digital (Interactive Flat Panel/IFP) bukan lagi milik kota besar. Di SMK Negeri 1 Kudus, guru Bahasa Inggris Puji Basuki menuturkan bagaimana IFP membuat pelajarannya lebih hidup:

“Pemakaiannya mudah, murid menjadi antusias saat aktivitas pembelajaran,” katanya.

Salah satu siswa, Muhammad Aflah Hilmanunulya, menambahkan, “Materi jadi lebih menyenangkan, kami berharap semua kelas bisa memiliki alat seperti ini.”

Menteri Abdul Mu’ti menjelaskan, distribusi IFP ini menjadi bagian dari Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) yang selaras dengan visi “Pendidikan Bermutu untuk Semua.” Ia juga menegaskan, digitalisasi ini berjalan seiring dengan penguatan program Makan Bergizi Gratis (MBG), hasil koordinasi lintas kementerian, untuk memastikan siswa tidak hanya cerdas, tapi juga sehat.

Namun transformasi digital tidak hanya soal perangkat. Pemerintah juga menyiapkan Tes Kompetensi Akademik (TKA) sebagai standar mutu pendidikan nasional.

Meskipun masih bersifat sukarela, 87,6% orang tua menilai TKA penting diterapkan, dan 9 dari 10 responden mendukungnya sebagai bagian dari seleksi jenjang berikutnya (KIC, 2025).

“TKA ini disambut baik oleh seluruh stakeholder. Ia menjadi alat ukur objektif, bukan sekadar hafalan,” ujar Satria Triputra Wisnumurti, Research & Analytics Manager Katadata Insight Center (KIC).

Kementerian menegaskan bahwa TKA tidak menggantikan Ujian Nasional, melainkan alat bantu untuk standardisasi kualitas belajar antarwilayah. Meski baru menyasar jenjang SMA/SMK, ke depan TKA akan diperluas ke SD dan SMP dengan melibatkan dinas pendidikan daerah agar konten lokal turut diangkat dan guru daerah berperan aktif dalam penyusunan soal.

Fakta menarik dari survei KIC menunjukkan baru 46,2% orang tua memahami bahwa TKA bersifat sukarela, dan hanya 21,6% yang mengetahui bahwa TKA tidak menggantikan UN. Ini menunjukkan bahwa selain kebijakan, edukasi publik juga menjadi pekerjaan rumah bersama.

Dalam wawancara lanjutan, KIC menemukan bahwa 10 dari 10 responden menilai TKA penting diterapkan, dan mayoritas murid pun antusias mengikuti tes ini sebagai langkah menuju perguruan tinggi.

Guru selalu menjadi titik mula setiap perubahan di ruang pendidikan. Tak ada kurikulum sehebat apa pun yang bisa hidup tanpa mereka. Karena itu, pemerintah menempatkan guru bukan sekadar pelaksana kebijakan, tetapi sebagai poros utama transformasi pendidikan.

Dalam satu tahun terakhir, perhatian besar diarahkan untuk memperkuat kesejahteraan dan kapasitas mereka. Melalui alokasi Rp13,2 triliun, pemerintah menggulirkan berbagai program: 785 ribu guru non-ASN kini memperoleh tunjangan profesi Rp2 juta per bulan, 253 ribu guru PAUD nonformal menerima BSU Rp300 ribu, sementara 804 ribu guru mengikuti Program Profesi Guru (PPG) guna meningkatkan kompetensi mengajar.

Tak hanya itu, 16.197 guru mendapat kesempatan melanjutkan studi ke jenjang S1 dan D4, dan sejak Agustus 2025, insentif non-ASN sebesar Rp2,1 juta disalurkan untuk mendukung mereka selama tujuh bulan.

Untuk guru ASN, dukungan yang sama hadir lewat DAK Nonfisik senilai Rp70 triliun, mencakup Tunjangan Profesi Guru (TPG) bagi 1,52 juta guru, Dana Tambahan Penghasilan (DTP) untuk 332 ribu guru, serta Tunjangan Khusus (TKG) bagi 62 ribu guru di wilayah tertinggal.

Perubahan ini mulai terasa nyata. Banyak guru kini aktif menempuh pelatihan daring, berinovasi dengan media ajar digital, hingga mengubah pola kelas menjadi project-based learning. Mereka tidak lagi sekadar pengajar, tetapi fasilitator yang menyalakan semangat belajar di setiap murid.

Dan ketika guru berdaya, murid pun tumbuh percaya diri — menjadikan sekolah bukan hanya tempat menimba ilmu, melainkan ruang hidup yang menumbuhkan masa depan.

Pendidikan yang Inklusif: Tak Ada Anak Tertinggal

Langkah berikutnya menegaskan prinsip bahwa pendidikan bermutu adalah hak setiap anak.

Pemerintah menjalankan Program Indonesia Pintar (PIP) dengan target 18,5 juta penerima manfaat dan pagu Rp13,5 triliun, serta Beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) untuk 4.679 siswa di wilayah 3T dengan dana Rp127 miliar.

Sementara itu, Program Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) menyalurkan Rp59,3 triliun kepada 422.106 sekolah dan lebih dari 50 juta peserta didik, memastikan tak ada anak yang berhenti sekolah karena alasan biaya.

Hasil survei Katadata Insight Center (KIC) memperkuat hasilnya. Tingkat awareness publik terhadap Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) mencapai 80%, dan 88% responden menilai sistem ini lebih baik dari PPDB sebelumnya. Sebanyak 94,4% orang tua menilai SPMB memberikan kesempatan lebih besar bagi anak dari keluarga kurang mampu, sedangkan 91,8% percaya sistem ini memperluas akses bagi penyandang disabilitas.

“Di atas 90% responden setuju bahwa manfaat SPMB banyak—dari transparansi hingga keadilan akses,” ungkap Satria Triputra Wisnumurti saat peluncuran laporan “Membaca Suara Publik tentang SPMB” di Jakarta, (30/9/2025).

SPMB dinilai meningkatkan pemerataan layanan pendidikan (63,7%), memperkuat transparansi proses seleksi (50,9%), serta mengurangi dominasi sekolah favorit (49,8%). Dengan rata-rata kepuasan 3,26 dari skala 4, aspek terbaik mencakup gratisnya biaya seleksi, kejelasan hasil, dan ketepatan waktu pelaksanaan.

Namun, catatan tetap ada. Sekitar 24,9% responden merasa sosialisasi masih perlu diperluas, dan sebagian menilai kompetensi panitia perlu ditingkatkan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap reformasi besar memang butuh waktu, sekaligus ruang perbaikan yang terus diisi.

Lebih jauh, pendidikan inklusif juga menyentuh ranah nilai. Melalui program “7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat”, pemerintah menanamkan kebiasaan sederhana yang membentuk karakter: bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur tepat waktu.

Program ini telah diterapkan di ribuan PAUD, SD, dan SLB, dan 72% sekolah pelaksana mencatat peningkatan kehadiran siswa serta kedisiplinan guru.

“Ketika anak belajar dengan gembira, karakter tumbuh bukan dari perintah, tapi dari pengalaman,” ujar salah satu kepala sekolah di Yogyakarta.

Menteri Abdul Mu’ti menegaskan, pendidikan karakter adalah pondasi esensial menuju visi Indonesia Emas 2045.

“Generasi unggul tidak hanya produktif, tapi juga berintegritas moral tinggi,” katanya.

Melalui program seperti Senam Anak Indonesia Hebat, ia ingin memastikan bahwa anak-anak Indonesia tidak hanya cerdas di kepala, tetapi juga sehat, tangguh, dan berjiwa gotong royong.

Dari Sekolah Pulih Menuju Bangsa Tumbuh

Dalam satu tahun terakhir, transformasi pendidikan di Indonesia menunjukkan wajah yang jarang kita lihat: pendidikan yang hadir, bukan sekadar dijanjikan. Dari revitalisasi sekolah di Kudus dan Pulau Sabu, digitalisasi kelas di SMK Negeri 1 Kudus, kesejahteraan guru di pelosok Kalimantan, hingga anak-anak yang kini sarapan sehat di sekolah dasar Yogyakarta—semuanya berbicara dalam satu bahasa: harapan.

Kemendikdasmen di bawah kepemimpinan Abdul Mu’ti telah menapaki arah baru — dari akses menuju kualitas, dari proyek menuju gerakan sosial. Dengan 7 capaian utama — mulai dari revitalisasi fisik, digitalisasi pembelajaran, peningkatan kesejahteraan guru, afirmasi siswa miskin, penguatan dana operasional, standardisasi mutu lewat TKA, hingga penguatan karakter bangsa — sistem pendidikan nasional kini sedang menata fondasi menuju “Pendidikan Bermakna.”

Pendidikan bukan lagi sekadar urusan ruang dan kurikulum, tapi tentang membangun manusia yang utuh: berpengetahuan, berkarakter, dan berdaya. Sekolah pulih. Guru tumbuh. Anak bangsa melangkah. Dan dari ruang-ruang sederhana itu, masa depan Indonesia sedang ditulis ulang — oleh generasi yang siap memimpin dengan akal dan hati. (*)