Payload Logo
n-423520251125184843462.jpg

Penggagas Aksi Kamisan, Sumarsih, yang juga ibu dari Wawan, korban penembakan di Universitas Atma Jaya pada tragedi Semanggi I pada 13 November 1998 (dok: ali/katakaltim)|

Sumarsih dan Istri Munir Suarakan Kritik Keras dalam Peringatan 8 Tahun Aksi Kamisan Kaltim

Penulis: Ali | Editor: Agu
8 Agustus 2025

SAMARINDA — Terik matahari di Teras Samarinda, Kamis 7 Agustus 2025 tak menyurutkan semangat peserta yang hadir memperingati delapan tahun perjalanan Aksi Kamisan di Tanah Borneo.

Dalam momen ini, dua tokoh pejuang hak asasi manusia (HAM) nasional, Suciwati dan Sumarsih, hadir memberikan orasi yang menggelorakan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan dan impunitas di Indonesia.

Aksi Kamisan sendiri dimulai pada 18 Januari 2007 di depan gedung Istana Negara, Jakarta, sebagai bentuk protes diam yang digagas oleh keluarga korban pelanggaran HAM berat.

Termasuk tragedi 1965, Talangsari, Tanjung Priok, penembakan misterius (petrus), tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, hingga kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib.

Sejak itu, Aksi Kamisan menjadi simbol konsistensi perjuangan menuntut keadilan kepada pemerintah.

Di Samarinda, gerakan ini dimulai pada 2017 dan terus berlangsung hampir setiap pekan, mempertemukan aktivis, mahasiswa, hingga masyarakat umum untuk mengingatkan publik bahwa penyelesaian pelanggaran HAM belum juga menemui ujung.

Suciwati: Degradasi Moral dalam Penegakan HAM

Dalam peringatan kali ini, Suciwati, yang juga istri almarhum Munir Said Thalib membuka orasinya dengan penilaian tegas terhadap kondisi HAM di Indonesia.

Ia menyebut situasi saat ini sebagai bentuk "degradasi moral" yang mencerminkan kemunduran bangsa.

"Ruang HAM diinjak-injak. Penjahat HAM bisa jadi presiden, itu bukan hal mengejutkan, tapi menunjukkan kemunduran bangsa," ujarnya lantang.

Munir, suaminya, tewas diracun arsenik dalam penerbangan menuju Amsterdam pada 7 September 2004. Hingga kini, dalang utama pembunuhannya belum diadili.

Bagi Suciwati, pengalaman pahit itu memperkuat keyakinannya bahwa negara sering kali berpihak pada pelaku, bukan korban.

Ia juga mengkritik keras cara kekuasaan memperlakukan rakyat saat ini.

"Semakin hari rakyat dikuras habis sumber dayanya, dan siapa pun yang melawan akan dihabisi. Ini bentuk kejahatan yang semakin brutal dan semena-mena," lanjutnya.

Namun, di tengah situasi yang ia nilai suram, Suciwati tetap melihat secercah harapan. Menurutnya, generasi muda menjadi garda baru yang terus menghidupkan api perlawanan, meski bentuknya berubah mengikuti zaman.

"Dulu banyak perlawanan muncul, anak muda merebut ruang dan menolak ketidakadilan. Itu bentuk perlawanan yang indah. Sekarang perlawanan hadir dalam bentuk lain lagu, bendera, karya. Itu tetap perjuangan," tegasnya.

Sumarsih: Konsistensi Aksi Kamisan Sebagai Gerakan Moral

Sementara itu, Sumarsih, penggagas Aksi Kamisan juga memberikan pandangan mengenai pentingnya menjaga kesinambungan gerakan ini.

Ia adalah ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas ditembak dalam tragedi Semanggi I pada 13 November 1998.

Selama 17 tahun terakhir, ia konsisten berdiri di depan Istana Negara bersama payung hitam, menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Baginya, Aksi Kamisan adalah ruang moral, bukan sekadar aksi politik.

"Saat ini kami tidak lagi melayangkan surat ke presiden, cukup selembaran. Tapi sikap kami tetap jelas. Aksi Kamisan menginspirasi anak muda untuk berpikir kritis terhadap sekitarnya. Itu bukti bahwa inisiasi kami tidak sia-sia," tutur Sumarsih.

Ia menegaskan bahwa sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo, Aksi Kamisan tetap hadir setiap pekan, menjadi pengingat bahwa korban dan keluarganya masih menunggu keadilan.

Konteks Terkini: Janji Penyelesaian Kasus HAM yang Tak Kunjung Diwujudkan

Kritik Suciwati dan Sumarsih datang di tengah kekecewaan banyak pihak atas lambannya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Meski pemerintah beberapa kali membentuk tim investigasi, termasuk di era Presiden Joko Widodo, hasilnya dinilai jauh dari harapan korban.

Sejumlah aktivis HAM juga menilai bahwa negara justru memberi panggung politik kepada sosok-sosok yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu. Kondisi ini memperkuat narasi bahwa impunitas telah mengakar kuat.

Pesan untuk Generasi Muda

Menutup rangkaian peringatan, kedua tokoh ini sepakat bahwa harapan terletak pada keberanian generasi muda untuk terus bersuara.

Mereka menyerukan agar semangat perlawanan tetap dijaga, tidak hanya melalui aksi jalanan, tetapi juga lewat karya, musik, seni, dan berbagai medium kreatif lainnya.

Bagi Suciwati dan Sumarsih, perjuangan menuntut keadilan bukan sekadar soal masa lalu, tetapi juga tentang membangun masa depan Indonesia yang lebih adil, manusiawi, dan bermartabat. (*)