SAMARINDA — Masalah tunggakan hak buruh eks karyawan di Rumah Sakit Haji Darjad (RSHD) Samarinda terus bergulir.
Kabar terakhir DPRD Kaltim memanggil pihak RSHD untuk rapat dengar pendapat (RDP) bersama Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim.
Namun, untuk keempat kalinya pihak rumah sakit ogah mengindahkan undangan para dewan.
Dan dewan pun menilai ada yang tidak beres. Intinya, rumah sakit telah melecehkan para Wakil Rakyat di Karang Paci.
Jumlah yang Belum Dibayarkan
Sementara itu, Kepala Disnakertrans Kaltim, Rozani Erawadi, membeberkan bahwa jumlah kewajiban perusahaan yang belum diselesaikan mencapai Rp1,3 miliar.
Nilai tersebut terdiri atas upah yang tidak dibayarkan, denda keterlambatan, hingga lembur.
Kata dia, penghitungan ini merupakan hasil tindak lanjut dari laporan pekerja di RSHD sejak April 2025.
Informasinya, Pemprov Kaltim sudah menyampaikan apa yang diminta Komisi IV DPRD Kaltim untuk menindaklanjuti pengaduan.
“Hasilnya berupa penetapan kekurangan upah, denda karena keterlambatan," jelas Rozani usai RDP bersama DPRD Kaltim, Rabu 24 September 2025.
Rozani menegaskan, apabila manajemen rumah sakit tetap mengabaikan penetapan itu, konsekuensinya adalah ancaman pidana.
"Sesuai prosedural, kalau penetapan itu tidak ditindaklanjuti, maka tentu akan diancam pidana," tegasnya.
Meski begitu, ia tetap mendorong penyelesaian melalui dialog langsung antara pihak rumah sakit dan karyawan.
"Kenapa tidak dilakukan pembicaraan secara bipartit? Angka-angka itu bisa dilihat dengan seksama. Kalau ada kesepakatan, tentu bisa segera dibayar. Jadi tidak sampai ke arah pidana," katanya.
Perusahaan Alami Kendala Keuangan
Disnakertrans Kaltim memastikan pihak manajemen RSHD pernah memenuhi panggilan meski tidak menyertakan data lengkap. Perusahaan, menurut Rozani, beralasan tengah kesulitan keuangan.
"Tapi bagaimanapun, karyawan sudah menjalankan kewajiban. Masa haknya tidak dibayar? Kan tidak bisa begitu," ucapnya.
Rozani menjelaskan, pemerintah hanya sebatas menetapkan kewajiban perusahaan. Bila tidak dipenuhi, mekanisme pembinaan hingga proses hukum akan ditempuh.
"Pemerintah menghitung hak-hak yang belum dibayar. Kalau ada kekurangan, kita tetapkan. Kalau tidak dilaksanakan, kita jalankan mekanisme pembinaan dan proses hukum," tambahnya.
Terkait isu penyitaan aset, Rozani menegaskan bukan ranah Disnakertrans melainkan ranah keperdataan. Pemerintah dalam hal ini hanya berwenang memastikan norma ketenagakerjaan berjalan.
"Kalau ada pekerja yang menggugat secara perdata dengan dasar penetapan, itu bisa saja terjadi, tapi bukan kewenangan kami," tegasnya.
Ia menjelaskan, jalur pidana dapat menjadi dasar gugatan perdata untuk eksekusi aset jika seluruh rangkaian proses pidana telah dilakukan
"Prosesnya satu kesatuan. Setelah pidana, baru bisa lanjut ke perdata. Tapi kalau perdata ya bukan pemerintah. Itu ranah pekerja dengan pengusaha," urainya.
Bila kasus masuk ranah pidana, pengawas ketenagakerjaan akan melaporkannya kepada PPNS, sebelum akhirnya diproses penuntut umum di persidangan.
"Pengawas hanya menyampaikan laporan. Lalu diproses PPNS, diteruskan ke penuntut umum, dan dibawa ke persidangan. Kalau terbukti bersalah, ya ada pidana," ungkapnya.
DPRD Kaltim Hentikan Mediasi
Sementara itu, DPRD Kaltim mengambil sikap tegas dengan tidak lagi memfasilitasi forum mediasi.
Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Darlis Pattalongi, menyebut manajemen rumah sakit tidak memiliki itikad baik. Sebab sudah empat kali mangkir dari panggilan.
"Manajemen sudah jelas melecehkan lembaga DPR. Padahal kami di DPR juga banyak agenda, tapi selalu meluangkan waktu untuk mencari penyelesaian terbaik. Ternyata pihak manajemen tidak punya itikad baik," ujar Darlis.
Ia mengingatkan, Disnakertrans Kaltim sudah mengeluarkan nota dua yang berlaku hingga 2 Oktober 2025. Itu menjadi batas akhir bagi perusahaan menyelesaikan tunggakan.
"Tapi kami simpulkan cukup sudah. Tinggal menunggu sampai 2 Oktober. Jika tidak ada penyelesaian, maka langkah hukum akan dilanjutkan," jelasnya.
Darlis menegaskan, DPRD melihat para eks karyawan RSHD sudah menjadi korban akibat kelalaian perusahaan.
"Bukan lagi akan menjadi korban, tapi memang sudah jadi korban. Itulah kelemahan perlindungan tenaga kerja kita. Ketika pengusaha main-main dengan aturan, yang jadi korban selalu karyawan," tutupnya. (*)








