Payload Logo
DPRD Kutim
r-773120251125190255904.jpg
Dilihat 720 kali

Ilustrasi (dok: AI)

2 Tambang Raksasa Kaltim Diduga Terlibat Skandal Solar Murah, Aparat Harusnya Bertindak!

Penulis: Ali | Editor: Agu
16 Oktober 2025

KALTIM — Skandal penjualan solar di bawah harga resmi kembali mengguncang publik. Dua perusahaan tambang raksasa asal Kalimantan Timur disebut-sebut terlibat dalam skandal ini.

Keduanya adalah PT Berau Coal dan PT Ganda Alam Makmur (GAM). Mereka diduga menikmati keuntungan dari praktik ilegal tersebut.

Kasus ini mencuat setelah nama kedua perusahaan itu disebut dalam persidangan mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis 9 Oktober 2025.

Dalam dakwaan, keduanya termasuk dari 13 perusahaan nasional yang diuntungkan melalui penjualan solar nonsubsidi di bawah harga dasar (bottom price) bahkan di bawah harga pokok penjualan (HPP) Pertamina.

Audit internal Pertamina mengungkap, PT Berau Coal meraup keuntungan hingga Rp449,10 miliar, sementara PT Ganda Alam Makmur mencapai Rp127,99 miliar.

Skema penjualan ini berlangsung selama dua periode: ketika Pertamina (Persero) masih mengelola distribusi (2018–2021) hingga dilanjutkan oleh Pertamina Patra Niaga (2021–2023).

Jaksa menilai praktik itu dilakukan dengan dalih menjaga pangsa pasar industri, namun justru melanggar Pedoman Pengelolaan Pemasaran BBM Industri dan Marine PT Pertamina Patra Niaga No. A02-001/PNC200000/2022-S9.

Harusnya Aparat Bertindak

Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo, mengecam keras dugaan keterlibatan dua perusahaan tambang besar asal Kaltim itu.

Ia menilai kasus ini menunjukkan bagaimana kejahatan korporasi bisa merampas hak masyarakat tanpa rasa bersalah.

Dia tegas, bahwa ini bukan saatnya lagi pemerintah atau aparat hanya beri peringatan. Harus ada tindakan.

“Kalau sudah terbukti di pengadilan atau lewat investigasi penegak hukum, maka tindak lanjut itu wajib. Bukan opsi, tapi kewajiban negara," tegas Buyung saat dihubungi melalui telepon, Selasa 14 Oktober.

Ia menekankan bahwa publik berhak mengetahui siapa saja yang bermain di balik praktik kotor tersebut.

Jangan sampai publik melihat ini hanya dalam bentuk pengumuman dan lalu dibiarkan.

“Nanti orang bertanya, polisi ngapain? Pemerintah ngapain? Legislatif ngapain? Kalau semua diam, itu artinya kongkalikong juga," katanya tajam.

Menurut Buyung, perusahaan besar seperti Berau Coal dan GAM bukan hanya menikmati keuntungan ilegal, tapi juga memperparah kelangkaan solar di daerah.

"Perusahaan sebesar Berau Coal dan GAM kok bisa beli solar di bawah harga standar? Ini bukan hanya pelanggaran bisnis, tapi sudah bentuk pembajakan hak subsidi rakyat,” sesalnya.

“Itulah sebabnya antrean solar makin panjang, karena sebagian BBM industri justru diserap untuk kepentingan korporasi besar," sambung dia.

Ia menegaskan aparat penegak hukum wajib memanggil pihak perusahaan terkait. Sebab kalau benar mereka membeli di bawah standar harga, itu sudah korupsi. Mereka harus mengembalikan kerugian negara.

“Dan yang memberi izin juga harus diusut, karena korupsi ini tidak berdiri sendiri," ucap Buyung.

Buyung juga menantang aparat penegak hukum untuk membuka seluruh jaringan di balik kasus tersebut.

"Berani enggak pemerintah buka ke publik siapa yang bermain di belakang? Karena jelas, ini bukan cuma soal solar murah, tapi sistem yang busuk. Kalau dibiarkan, negara ikut jadi bagian dari permainan kotor ini," tutupnya.

JATAM Kaltim Angkat Bicara

Nada serupa disampaikan oleh Mustari, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim, yang menyebut kasus ini bukan hal mengejutkan.

Kalau bicara industri tambang, sahut dia, sifatnya adalah kerakusan dan koruptif. Dari dulu begitu, kata Mustari.

Jadi, sambung dia, jika nama Berau Coal dan GAM muncul dalam kasus solar murah, itu sangat wajar.

“Mereka punya keuntungan puluhan triliun tiap tahun, tapi tetap serakah," ujarnya saat dikonfirmasi di hari yang sama.

Menurutnya, tindakan itu adalah bentuk nyata perampasan hak energi rakyat sehingga menambah kesengsaraan rakyat.

Solar nonsubsidi itu seharusnya disalurkan secara adil, tapi malah diborong perusahaan besar dengan harga di bawah HPP.

“Itu artinya mereka sudah merampas hak rakyat kecil yang antre berjam-jam di SPBU. Mereka bukan cuma rakus lahan, tapi juga rakus energi," tegas Mustari.

Lebih jauh dia menilai bahwa akar masalah ini berada pada struktur ekonomi yang terlalu bergantung pada sektor tambang.

Selama ini publik selalu diberi narasi bahwa tambang itu penyumbang ekonomi terbesar, padahal di lapangan masyarakat sekitar tambang menderita.

“Lahan mereka hilang, air rusak, dan sekarang BBM pun ikut dikeruk untuk kepentingan korporasi," tegasnya.

JATAM pun mendorong aparat hukum agar segera memanggil pimpinan dua perusahaan tersebut, untuk mengembalikan kerugian negara dan mengusut praktik serupa di sektor energi lain.

Kalau aparat serius, tambah dia, panggil direktur utamanya. Jangan hanya sopir atau staf lapangannya.

“Karena ini bukan kasus kecil, tapi skandal nasional. Kalau dibiarkan, artinya negara melindungi perampok energi rakyat," pungkas Mustari.

Perampok Hak Rakyat

Di samping itu, Anggota Komisi XII DPR RI Dapil Kaltim, Syafruddin, menilai kasus ini sebagai bentuk perampokan terang-terangan terhadap hak masyarakat.

Alasannya, karena BBM itu hak rakyat, tapi dirampok perusahaan tambang.

“Ada 13 perusahaan yang merampok BBM rakyat ini, dan dua di antaranya dari Kaltim," kata Syafruddin dengan nada keras saat berdiskusi di Samarinda beberapa waktu lalu.

Ia menuntut pemerintah bersikap tegas terhadap para pelaku agar memberikan efek jera dan menjadi peringatan keras terhadap para pelaku bisnis pertambangan khususnya di Kaltim.

"Kalau mau tegas, cabut izinnya. Jangan ada kompromi. Mereka sudah merampok sumber daya energi rakyat," ujarnya.

Menurutnya, kasus ini tak hanya melibatkan perusahaan lokal, tetapi juga jaringan besar yang melibatkan entitas asing.

"Ini bukan cuma kongkalikong antara Pertamina Patra Niaga dan perusahaan tambang lokal, tapi juga melibatkan perusahaan besar asing. Jadi harus ada keberanian politik untuk menindak," katanya.

Syafruddin menyerukan agar Presiden Prabowo Subianto turun langsung memberi sanksi tegas kepada seluruh pihak yang terlibat.

"Kita minta Pak Prabowo tegas. Jangan biarkan 13 perusahaan ini bebas. Mereka sudah menyedot BBM-nya rakyat. Negara harus hadir, bukan tunduk pada korporasi," tegasnya.

13 Perusahaan yang Diuntungkan

1. PT Berau Coal — Rp449,10 miliar (Berau, Kaltim)

Dimiliki oleh Sinar Mas Group dan Sojitz Corporation.

Presiden Komisaris: Sulistiyanto Soeherman | Presiden Direktur: Fuganto Widjaja

2. PT Ganda Alam Makmur (GAM) — Rp127,99 miliar (Kutai Timur, Kaltim)

Anak usaha Titan Group

3. PT Pamapersada Nusantara — Rp958,38 miliar

4. PT Bukit Makmur Mandiri Utama — Rp264,14 miliar

5. PT Merah Putih Petroleum — Rp256,23 miliar

6. PT Adaro Indonesia — Rp168,51 miliar

7. PT Vale Indonesia Tbk — Rp62,14 miliar

8. PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk — Rp42,51 miliar

9. PT Aneka Tambang Tbk — Rp16,79 miliar

10. Grup PT Indo Tambangraya Megah Tbk — Rp85,80 miliar

11. PT Purnusa Eka Persada — Rp32,11 miliar

12. PT Maritim Barito Perkasa — Rp66,48 miliar

13. PT Nusa Halmahera Minerals — Rp14,05 miliar

Berdasarkan data persidangan, total keuntungan ilegal akibat praktik ini mencapai Rp2,544 triliun, hasil temuan audit internal Pertamina dan pemeriksaan Kejaksaan. (*)