Payload Logo
t-985720251125190935687.jpg
Dilihat 380 kali

Ketua DPRD Kutim, Jimmi (dok: Caca/katakaltim)

Jam OPA PAMA Dinilai Tidak Memanusiakan, Ketua DPRD Minta Kebijaksanaan Perusahaan

Penulis: Salsabila Resa | Editor:
15 November 2025

KUTIM — Penerapan digitalisasi dalam HSE (Health, Safety, Security, and Environment) PT Pama Persada Nusantara dengan penggunaan jam Operator Personal Assitance (OPA), jadi polemik.

Jam OPA yang dicanangkan menjadi salah satu alat untuk mengukur kecukupan istirahat, yang pada gilirannya mengurangi potensi kecelakaan kerja akibat fatigue (kelelahan), justru tertolak oleh berbagai pihak.

Pasalnya jam ini menuntut pekerja mencapai waktu tidur selama 6 jam. Dan fakta tersebut dinilai berakibat menganggu hak privasi pekerja.

Pernyataan itu disampaikan Ketua DPRD Kutai Timur (Kutim), Jimmi saat menghadiri rapat dengar pendapat bersama PAMA dan pekerja, di Kantor Bupati Kutim, Sangatta, Kamis 13 November 2025.

"Misalnya seorang muslim mau salat tahajud dan sebagainya. Salat subuh pasti terlambat tuh, pasti terhitung kurang jam-jam tidur tuh. Belum lagi yang berkeluarga ada hubungan privasi, pasti terganggu itu," tandasnya.

Menurutnya penggunaan jam OPA terkesan tidak memanusiakan dan menjadikan manusia seperti setengah robot. “Karena pekerja terus terkontrol sepanjang malam," jelasnya.

Kepada katakaltim, Jimmi menerangkan bahwa memang tujuan alat ini semata-mata untuk mendukung produktivitas pekerja.

Namun perusahaan harus juga memikirkan apa yang terbaik bagi para pekerjanya. Dan, sambung Jimmi, juga harus ada rujukan menurut studi medis.

"Peralatan yang diterapkan pada manusia itu kan perlu evaluasi, harus menurut studi medis. Jam OPA itu bukan alat studi medis jadi enggak bisa dijadikan sebagai keputusan bahwa dia betul-betul valid," jelasnya.

Karena itu, ia meminta pihak PAMA agar mengevaluasi kebijakan dan lebih humanis dalam menerapkan alat pada pekerja.

“Harus memperhatikan kondisi sosial karyawan," pungkas Jimmi. (Adv)