Oleh: Firman Afrianto
Aktivis HMI / Alumni Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
Katakaltim — Pendidikan merupakan instrumen penting dalam membangun serta meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan berdaya saing. Sehingga, negara tidak boleh absen dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada warga negaranya. Amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 yang frasanya berbunyi "Setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan".
Amanat UUD inilah yang kadangkala dijadikan sebagai jargon pendidikan gratis untuk kepentingan politis, khususnya dalam janji dan program yang ditawarkan oleh calon pemimpin ataupun calon anggota legislatif pada saat pesta demokrasi berlangsung. Jika ditelaah lebih jauh, tentu negara menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam proses penyelenggaraan pendidikan bagi warga negaranya.
Baca Juga: DPRD Samarinda Ingatkan Pemkot agar Efisiensi Anggaran Tak Mengganggu Layanan Publik
Secara etimologi diksi pendidikan dapat kita interpretasikan sebagai sebuah usaha seseorang dalam mengembangkan kemampuan sosial, moral, intelektual, dan spiritual yang dikemas menjadi satu dalam sistem pendidikan. Implementasi sistem pendidikan tentu harus sejalan dengan tujuan pendidikan yang tertuang didalam alinea ke empat pembukaan UUD 1945 “mencerdaskan kehidupan bangsa". Oleh sebab itu, untuk menjalankan amanah ini, negara wajib mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) guna mempertahankan status quo.
Namun yang terjadi belakangan ini, kebijakan efisiensi anggaran yang diatur dalam Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 1 Tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) tahun anggaran 2025 menjadi krusial untuk dipertanyakan. Mengapa? Karena secara
substansi pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan mulai dari fasilitas pendidikan, kurikulum pendidikan, kualitas pengajar sampai dengan alokasi anggaran pendidikan 2025 yang akhir-akhir ini menimbulkan polemik.
Munculnya Inpres Nomor 1 tahun 2025 menyulut aksi demonstrasi yang dilakukan oleh sejumlah organisasi mahasiswa khususnya Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) pada pertengahan bulan Februari 2025. Dalam aksi itu, terdapat 13 tuntutan yang dilayangkan oleh BEM SI mulai dari pendidikan sampai dengan perombakan kabinet Merah Putih. Dari 13 poin tuntutan BEM SI terdapat dua poin krusial.
Pertama, ciptakan pendidikan gratis ilmiah dan demokratis serta batalkan pemangkasan anggaran pendidikan. Kedua, realisasikan anggaran tunjangan kinerja dosen. Kesejahteraan akademisi harus diperhatikan demi peningkatan kualitas pendidikan tinggi dan melindungi hak-hak buruh kampus.
Fenomena yang terjadi belakangan ini, seperti anomali sosial yang santer untuk diperdebatkan. Disatu sisi, banyak pihak yang menilai bahwa kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah tentu bertujuan untuk mengoptimalkan anggaran agar lebih efektif guna mendukung program prioritas nasional.
Namun disisi lain, banyak juga pihak yang menilai bahwa langkah efisiensi ini justru membawa dampak yang luas diberbagai sektor. Salah satunya adalah disektor pendidikan yang berpotensi menimbulkan kekhawatiran dimasyarakat, dimana program seperti Program Indonesia Pintar (PIP) Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) dan beasiswa Kemendikti 2025 yang dikhawatirkan tidak akan berlanjut.
Kekhawatiran ini muncul karena secara fundamental program ini sangat penting bagi masyarakat untuk melanjutkan pendidikan. Selain itu, kekhawatiran juga muncul dari tidak berlanjutnya pembangunan insfrastruktur sekolah dan kampus, menurunnya mutu layanan pendidikan serta berpotensi mengurangi insentif bagi tenaga pendidik (guru dan dosen).
“Berapa jumlah guru yang tersisa?” pertanyaan ini pernah dilayangkan oleh Kaisar Hirohito
kepada jendralnya setelah bom atom meluluhlantakkan kota Nagasaki dan Hiroshima pada tanggal 6 dan tanggal 9 Agustus 1942. Pertanyaan ini, menjadi titik awal kebangkitan Jepang pasca perang Dunia Kedua, dimana jepang meletakan pendidikan sebagai agenda prioritas pemerintah untuk membangun bangsanya.
Dewasa ini, kebijakan efisiensi anggaran yang sudah ditetapkan oleh Presiden Prabowo Subianto melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2025, perlu ditanggapi secara konsisten dan serius. Pasalnya efisiensi anggaran pendidikan ini, dikhawatirkan akan mengubur harapan anak
bangsa, karena tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.
Padahal jika kita baca klausul pertama dalam 4 Pilar Visi Indonesia Emas 2045 yang berbunyi “Pembangunan Manusia Serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi". Tentu frasa ini mengkrucut ke arah pendidikan. Dimana pendidikan menjadi pondasi pertama dalam pembangunan manusia, melalui pendidikanlah kemajuan sebuah bangsa dan peradaban dapat terbentuk.
Lantas, apakah pemerintah mampu membiayai pendidikan yang berkualitas dan merata kepada anak bangsa? Jawaban secara implisit dapat dilihat dari bunyi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Pasal 46 ayat (1) menyatakan bahwa pendanaan pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
Kemudian didalam pasal tersebut juga dijelaskan bahwa sumber pendanaan pendidikan dari masyarakat salah satunya adalah sumbangan pendidikan. Sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa tanpa adanya peran dari masyarakat, pemerintah sebenarnya belum mampu untuk sepenuhnya menanggung biaya pendanaan pendidikan.
Efisiensi anggaran sebenarnya merupakan langkah yang baik yang sudah dilakukan oleh
pemerintah. Dengan demikian, pengeluaran anggaran yang tidak efektif dapat diminimalisir
dengan baik.
Namun, implementasi kebijakannya juga harus diperhitungkan secara matang, mengingat banyak aspek krusial yang bisa menjadi korban atas kebijakan ini, baik dari segi pembangunan infrastruktur, kesejahteraan pengajar serta program pendidikan seperti, Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K), Beasiswa Kemendikti yang harapannya harus tetap dilanjutkan oleh pemerintah.
Jika pada akhirnya, efisiensi anggaran pendidikan yang ini akan menimbulkan dampak pada PIP, KIP-K, beasiswa Kemendikti serta beasiswa lainnya, maka pemerintah perlu menyiapkan langkah antisipatif dan solusi alternatif agar kebijakan efisiensi anggaran ini tidak menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi masyarakat luas. (*)