KUTIM — Pemerintah Kutai Timur (Kutim) tidak mau ganti rugi lahan yang diklaim sejumlah kelompok tani di kawasan Kanal 3, Kecamatan Sangatta Utara.
Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat (Pamkesra) Sekretariat Kabupaten Kutim, Trisno, mengaku keputusan itu diambil setelah data sudah rampung.
Mulai dari kajian administrasi, pengukuran lapangan, dan penelaahan regulasi (aturan) pertanahan.
Kata dia, pemerintah daerah (Pemda) sudah memfasilitasi permohonan ganti rugi melalui mekanisme resmi.
Termasuk rapat dan penelitian menyeluruh terhadap dokumen alas hak yang diajukan pemohon.
“Pemda sudah memproses permohonan tersebut sesuai mekanisme. Mulai dari verifikasi administrasi hingga pengecekan langsung di lapangan,” ucap Trisno, Sabtu 27 Desember 2025.
Hasilnya Pemda menemukan problem (masalah) mendasar dalam dokumen penguasaan tanah yang diajukan.
Dokumen tersebut dinilai tidak memberi kepastian hukum yang memadai untuk menjadi dasar pembayaran ganti rugi.
“Dokumen yang disampaikan terindikasi cacat secara formil dan bersifat kabur. Sehingga kebenarannya tidak dapat diyakini sebagai dasar penggantian hak,” ujar Trisno.
Ia menjelaskan, klaim lahan diajukan melalui empat Surat Keterangan Tanah (SKT) atas nama sejumlah pihak. Tapi dalam proses verifikasi, ditemui berbagai ketidaksesuaian.
Misalnya perbedaan tanda tangan pejabat dalam dokumen, hingga keterangan bahwa sebagian lahan telah dialihkan kepada pihak lain.
Selain problem administrasi, hasil pengukuran lapangan pada 10–11 September 2025 juga menguatkan kesimpulan Pemda.
Semua bidang tanah yang ditunjuk pemohon diketahui berada di atas infrastruktur publik: Sungai Buatan Kanal 3 serta badan Jalan Sawito Pinrang dan Jalan Angin Mamiri.
“Di lokasi yang diklaim tidak ditemukan tanam tumbuh, bangunan, maupun tanda penguasaan fisik lahan yang dapat dijadikan bukti,” beber Trisno.
Ketidaksesuaian juga ditemukan pada batas dan posisi bidang tanah hasil penunjukan lapangan. Tidak sejalan dengan sket rancang kapling yang diajukan kelompok tani dari berbagai tahun.
Kondisi tersebut tentu saja semakin melemahkan klaim kepemilikan lahan yang disampaikan.
Berdasarkan arsip rencana tata ruang dan sket rancang lama, kawasan tersebut sejak awal direncana sebagai badan jalan dan sungai buatan.
Dengan demikian, lokasi yang diklaim itu tak memenuhi syarat sebagai objek maupun subjek pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
“Pemkab Kutai Timur tidak bisa melaksanakan pengadaan tanah maupun pembayaran ganti rugi atas lokasi yang dimohonkan,” tandasnya.
Keputusan tersebut, sambung dia lagi, mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, serta ketentuan perundang-undangan lainnya.
Pun demikian, Pemda tetap membuka ruang penyelesaian sesuai mekanisme hukum apabila memang ada keberatan dari pemohon.
“Jika ada keberatan, mekanisme penyelesaiannya dapat ditempuh melalui lembaga peradilan,” tukasnya.
Sementara itu, kuasa hukum kelompok tani, Sugiarto, menyatakan pihaknya menghormati keputusan Pemkab Kutim ihwal tidak dilanjutkannya pembayaran ganti rugi lahan di kawasan Kanal 3.
Namun, ia menegaskan kelompok tani masih berharap ada penjelasan lebih rinci ihwal dasar pertimbangan keputusan tersebut.
Dia mengaku sejak awal pihaknya memilih jalur komunikasi dan musyawarah dengan Pemda ketimbang menempuh langkah hukum.
Agar persoalan bisa selesai secara terbuka dan tak memicu polemik berkepanjangan di masyarakat.
“Kami sepakat tidak menggunakan jalur litigasi atau peradilan. Penyelesaian yang kami harapkan tetap melalui penjelasan dan komunikasi langsung dengan pemerintah,” ujar Sugiarto.
Ia juga menyampaikan rencana pihaknya bersama perwakilan kelompok tani untuk mendatangi Kantor Bupati Kutim dalam waktu dekat.
“Kami ingin mendapatkan kejelasan secara langsung dari pemerintah daerah agar persoalan ini bisa dipahami dengan utuh oleh semua pihak,” tutupnya. (Caca)







