BONTANG — Pemerintah Kota (Pemkot) Bontang sejak lama ‘bermimpi’ mengakuisisi tanah di Kutai Timur: Kampung Sidrap.
Tapi Kutai Timur tegas: tak sedikit pun tanah di kawasan Desa Martadinata itu harus dikuasai oleh Pemkot Bontang.
Nyatanya polemik ini mencuat kembali. Setelah para politisi dari kedua pihak saling serang “liur”. Ada yang menghujat. Ada pula yang tampak moderat.
Ringkasnya, belasan tahun berlalu, tanah yang berdekatan dengan PT Pupuk Kaltim itu jadi “rebutan” para penguasa.
Tapi akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, bahwa permohonan Bontang hanya tinggal dokumen.
Siapa sangka, Wakil Wali Kota Bontang, Agus Haris, kembali membuka harapan: Kampung Sidrap bisa mandiri. Mandiri dari Pemkot Bontang.
Kenyataannya, warga di sana sudah gerak cepat. Bakal membawa gugatan mereka melalui tanda tangan petisi. Dan hendak ketemu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
Dikabarkan, sebanyak 1.500 orang di Kampung Sidrap yang sudah menorehkan tanda tangan tersebut per tanggal 7 Oktober 2025. Mungkin akan bertambah lagi.
Melihat antusias itu, Agus Haris meyakini langkah warga tersebut menjadi simbol perlawanan terhadap ketentuan hukum yang tidak berkeadilan. Tidak manusiawi.
Di balik seluruh polemik dan aktivitas itu, sebenarnya ada hal penting yang harus diketahui publik: berapa uang yang sudah dihabiskan Pemkot Bontang dalam urusan ini?
Jawabannya jelas, miliaran rupiah. Seperti yang diberitakan salah satu portal media online tertua di Bumi Etam: Klikkaltim.com.
Klikkaltim memberitakan pada Rabu 17 September 2025, bahwa Pemkot Bontang telah merogoh kocek sekitar Rp5 miliar.
Berita itu dirilis setelah MK membacakan putusan soal tapal batas Bontang-Kutim yang dihadiri Agus Haris secara virtual di ruangan Diskominfo Bontang.
Tidak main-main, ternyata anggaran Rp5 miliar itu hanya untuk “Menggaet Kuasa Hukum Hamdan Zoelva untuk memperjuangkan amanah warga Kampung Sidrap. Anggaran yang digelontorkan sekitar Rp5 miliar,” tulis klikkaltim (M Rifki) dalam berita itu.
Uang Rp5 miliar yang digelontorkan itu diketahui untuk melancarkan gugatan UU Nomor 47 tahun 1999 Tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang.
Sebagai tambahan informasi, pembiayaan mengurusi Kampung Sidrap ini tentu saja tidak hanya menyewa pengacara kondang.
Tapi, masih banyak ongkos bolak-balik dari Bontang-Jakarta dan Jakarta-Bontang. Ongkos mobilisasi dan tentu saja ongkos perut.
Kalau ingin dihitung-hitung, katakanlah setiap kunjungan ke pusat sebanyak 5 orang dari Pemkot Bontang, maka bisa menghabiskan sekitar Rp7.500.000 hanya untuk tiket pesawat. Belum lagi menyewa hotel plus biaya lainnya.
Dan bayangkan lagi, sudah berapa kali Pemkot Bontang bersama rombongan ke pusat untuk mengurusi masalah ini?












