Payload Logo
-7020251125190926721.jpg
Dilihat 378 kali

RDP yang digelar Bupati bersama Dinakertrans, Ketua DPRD, juga PT Pama Persada Nusantara, atas dugaan pelanggaran normatif ketenagakerjaan terkait kebijakan OPA, Kamis 13 November 2025 (dok:caca/katakaltim)|Edi Purwanto (tengah) bersama kuasa hukum (kanan) (Dok: Caca/katakaltim)

Catatan Penting Rapat Bersama PT PAMA: Karyawan Seperti “Robot”

Penulis: Salsabila Resa | Editor: Agu
13 November 2025

KUTIM — PT Pama Persada Nusantara diduga lakukan pelanggaran normatif ketenagakerjaan ihwal kebijakan Operator Personal Assisten (OPA).

Pekerja merasa tidak mendapatkan haknya. Pada gilirannya diberi Surat Peringatan ketiga (SP3). Bahkan Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK.

[caption id="attachment_38318" align="alignnone" width="1170"] Edi Purwanto (tengah) bersama kuasa hukum (kanan) (Dok: Caca/katakaltim)[/caption]

Dengan kesal pekerja tidak menahan diri melapor situasi ini ke Bupati Kutim, Ardiansyah Sulaiman.

Adalah Edi Purwanto, mengaku tidak mendapatkan hak bekerja lantaran masalah kesehatan. Nahas berujung pada SP3.

Mulanya

Masalah bermula saat Edi tak mampu mencukupi sistem jam OPA milik PAMA yang mulai operasi sejak Mei 2025.

Alat itu memang keren. Bentuknya smartwatch, Dapat memantau detak jantung, tidur, dan kondisi fisik operator. Intinya, bisa paham kondisi pekerja.

Edi pun dianggap tidak cakap mengoperasikan alat kerja, dan diberi saran oleh perusahaan agar berobat ke dokter dan psikiater.

Hingga pertengahan September, Edi masih belum diperkenankan beroperasi di PAMA.

Tapi pada tanggal 19 September 2025, ada konfirmasi Kabag untuk standby (tetap) hingga 22 September 2025.

“Dikonfirmasi oleh Kabag saya untuk standby dulu sampai tanggal 22 September 2025 dan tetap saya dianjurkan untuk tetap berobat," kata Edi, Kamis 13 November, dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Sangatta.

Belakangan dirinya mendapat SP3 dari pihak manajemen. Sementara dia sudah memenuhi segala prosedur pengobatan yang diminta PAMA, dan dibuktikan dengan keterangan dokter dari rumah sakit PKT.

Bahkan, di hadapan Bupati Kutim, Edi mengungkapkan bahwa dirinya sudah bekerja di PAMA selama 21 tahun, dengan pola tidur yang sama sebelum menggunakan Jam OPA.

"Dan semuanya berjalan lancar, saya tidur 3 jam lebih biasanya, dan baik-baik saja," kata edi.

Tanggapan PAMA

Human Capital Department Head PT PAMA, Tri Rahmat, bersikukuh bahwa surat peringatan yang dikeluarkan pihaknya disertai bukti keterangan dokter yang tidak valid.

Sehingga tidak masuknya Edi sejak tanggal 8 hingga 22 September dinilai mangkir dan lalai.

"Itu hanya surat keterangan berobat, bukan salah satu bentuk surat keterangan untuk izin tidak masuk bekerja," jelasnya.

Sehingga putusan itu sesuai dengan perjanjian kerja bersama bab 14 pasal 92 ayat 2, yang berbunyi mangkir selama 4 hari kerja berturut atau 5 hari kerja tidak berturut dalam 1 bulan kalender berjalan.

Tanggapan Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh

Pihak Kongres menyoroti surat keterangan yang dinilai manajemen PAMA tidak memenuhi kualifikasi.

Menurut mereka, apabila memang sejak awal surat tersebut salah, seharusnya per 8 September Edi sudah dievaluasi dan melakukan perbaikan.

"Pertanyaannya, saudara manajemen PT PAMA yang menerima surat konfirmasi Pak Edi, dia paham tidak kalau surat itu tidak memenuhi kualifikasi?,” cecarnya.

Pernyataan tersebut dibenarkan oleh PAMA, bahwa atasan Edi memang tidak memahami hal itu, dan telah diberikan sanksi.

"Sehingga ini murni kelalaian dari yang menerima surat keterangan dokter," tegas KASBI Kutim.

Respons Ardiansyah

Sementara itu, Bupati Kutim Ardiansyah Sulaiman menilai ada kejanggalan dalam sanksi yang diberikan ke Edi.

Kata dia, Edi diberi sanksi karena Jam OPA yang terus menerus tidak cukup.

Politisi PKS itu mengaku, selama dia jadi Bupati, jam tidurnya juga hanya 3 sampai 4 jam. Dan itu dianggapnya normal.

“Saya terus terang selama bekerja jadi Bupati ini paling enggak 3, 4 jam itu paling bentar tidur. Tapi rasa-rasanya normal saja pekerjaan saya," terang Bupati.

Selain itu, kekhawatiran awal karena jam tidur tak cukup, tidak dapat dijadikan landasan yang berujung pada SP3.

"Harusnya kalau ada kecelakaan di jalan mungkin itu yang menjadi alasan, Jadi kalau orang mau bekerja, saya harus bekerja dulu. Kalau ada hal yang terjadi terkait dengan tugas yang tidak pas mungkin itu kesalahan daripada pekerjaannya," tandasnya.

Apa Kata Kuasa Hukum

Sementara, Kuasa Hukum Edi, Tabrani Yusuf, menyebut Instrumen OPA Operator Performance Assessment bersifat evaluatif, bukan sanksional.

Maka, hasil OPA tidak boleh dijadikan dasar menilai kelalaian disiplin atau menentukan hak-hak ketenagakerjaan.

Misalnya hak tunjangan dan bonus, tanpa dasar perjanjian kerja atau PKB perjanjian kerja bersama.

"Berdasarkan hasil review dan bukti medis pekerja Edi Purwanto tidak terbukti lalai dalam melaksanakan kewajiban kerja," jelasnya.

Hal ini karena gangguan tidur tercatat dalam OPA terjadi lantaran faktor kesehatan, hipertensi, stres, dan konsultasi medis, bukan karena kelalaian pribadi.

Seperti Robot

Sementara itu, Ketua DPRD Kutim, Jimmi menilai sistem tersebut terlalu mengekang dan berpotensi melanggar privasi pekerja.

Menurutnya, penerapan OPA perlu dikaji ulang agar tidak menimbulkan kesan bahwa pekerja diperlakukan seperti “robot” yang seluruh aktivitasnya diawasi tanpa mempertimbangkan aspek manusiawi.

“Kesannya bahwa ini sifatnya menjadikan manusia setengah robot sebenarnya,” ujarnya.

Jimmi mencontohkan, pekerja yang bangun malam untuk ibadah atau memiliki urusan keluarga, bisa saja dianggap kurang tidur dan otomatis dinilai tidak layak bekerja.

Jimmi menilai, penerapan sistem jam OPA ini mirip dengan mekanisme pengawasan terhadap narapidana wajib lapor di luar negeri.

Kebijakan semacam itu justru berpotensi mengekang kebebasan pribadi pekerja dan menimbulkan kesan bahwa mereka terus diawasi.

“Ini kan kesannya kita seperti dijaga. Kurang lebih tidak punya kebebasan sosial dan privasi. Itu kan sangat mengganggu kita. Secara batin itu akan terdampak kepada jam kerja kita juga sebenarnya,” tegasnya.

Untuk itu Jimmi meminta agar kebijakan tersebut dievaluasi dan disosialisasikan secara menyeluruh.

“Saya kira ini penerapannya mesti betul-betul bisa disosialisasikan dan diterima semua pihak sebelum diterapkan sebenarnya,” tukasnya. (Cca)