KALTIM — DPD RI saat ini berencana merevisi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Ketua Komite I DPD RI, Andi Sofyan Hasdam, menerangkan bahwa dulu, UU Nomor 5 Tahun 1974 adalah UU tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dinilai sangat ideal.
Tapi UU ini diganti karena tak sesuai perkembangan keadaan dan prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah.
Baca Juga: Pembangunan Kota Bontang Beberapa Tahun Terakhir, Sofyan Hasdam: Yahhh Banyaklah
“Ketika pak Harto Presiden, UU ini sangat ideal. Tapi orang mengatakan otonomi daerah itu lepas kepala, pegang buntut,” katanya kepada awak media di Kota Bontang, Minggu 23 Maret 2025.
Ketua Komite I DPD RI, Andi Sofyan Hasdam, saat melakukan kunjungan dapil dan konferensi pers di Kota Bontang, Minggu 23 Maret 2025 (dok: agu/katakaltim)
Andi Sofyan pun meminta jangan sampai ada upaya mengembalikan sistem ini ke Orde Baru. Pasalnya, orang mau jadi kepala daerah di zaman Orde Baru, hanya ada 5 nama yang wajib disetor ke DPR.
“Kemudian Mendagri mencoret 2. Nah di sini udah pasti jelas, harus ada setoran,” katanya.
Begitu ada pilihan 3 orang, Presiden kemudian memesan. Fakta ini dialami langsung oleh Andi Sofyan saat berada dalam dinamika politik Pilgub Kaltim.
“Saya ketua Fraksi waktu itu, saya pendukungnya pak Sulaiman. Nah di Golkar itu pecah. Begitu kita tunggu besok mau Pilgub, eh langsung ada petunjuk yang dikehendaki pusat adalah pak Suwarna, yang kita tidak kenal,” bebernya.
Mantan Wali Kota Bontang itu lebih jauh menyampaikan semenjak adanya UU Nomor 5 Tahun 1974, kekayaan Kaltim habis dirampas.
“Habis hartanya Kaltim, hasil buminya, kayunya habis. Dulu banyaknya perusahaan kayu di sini. Sekarang sudah hilang semua saat kayu di Kaltim habis,” tandasnya tampak geram. “Yang kembali ke Kaltim hanya tetesan saja,” sambungnya.
Untung saja, kata dia, terjadi reformasi yang melahirkan UU Nomor 22 tahun 1999 di era Presiden Habibi.
“Nah di sini lah otonomi daerah yang paling menguatkan daerah,” tuturnya.
Ada wacana wakil rakyat yang memilih pemimpin. Permintaan itu sah saja, kata Andi Sofyan. Namun orang menilai permintaan tersebut tidak demokratis.
“Saya setuju itu,” tukasnya. “Tetapi Anda perlu ketahui, Amerika Serikat lebih 100 tahun berdemokrasi. Tapi 50 tahun itu bertahap,” jelasnya.
Tahapannya bermacam-macam. Mulai dari memberi hak pilih kepada orang berkulit hitam. Kemudian kepada perempuan dan sebagainya.
Setelah rakyat dinilai sudah cerdas-cerdas, maka prinsip one man one vote atau satu kepala satu suara, dapat dilaksanakan.
“Kalau kita tidak, tahun 1999 pemilihan oleh DPR. 2004 waktu SBY maju jadi presiden muncul keinginan supaya dipilih oleh rakyat, itu disetujui,” jelasnya.
“Muncul lagi permintaan kenapa tanggung-tanggung nggak semuanya aja? Nah bayangkan masyarakat kita waktu itu yang masih banyak buta huruf tiba-tiba dikasi (pemilihan) langsung, apa tidak pesta ria?,” paparnya.
Politisi senior Kaltim itu mengaku ingin mengembalikan marwah demokrasi. Di mana UU Pemda saat ini dinilai sudah sentralistik.
Dulu, katanya, tambang urusannya Bupati/Wali Kota. Kemudian lahir UU Nomor 32 Tahun 2004, yang mengamanatkan tambang diambil alih oleh provinsi.
Namun, sekarang ini, provinsi pun tidak ada kewenangannya sejak zaman Bahlil Lahadalia. Dan ini tidak lagi terkait UU Pemda, tetapi dibuatkan UU pertambangan.
“Habis,” ucapnya.
Bayangkan, kata Andi Sofyan, dulu wilayah laut, 0 sampai 4 mil, masih kewenangan Bupati/Wali Kota. Sekarang sudah tidak ada.
“Sementara kalau itu laut rusak, dampaknya di masyarakat daerah tersebut,” tegasnya.
Kemudian, kata Andi Sofyan, dulu SMA ditangani oleh Wali Kota/Bupati. Sekarang ditangani oleh provinsi.
“Nah dulu kalau dimarahi oleh Kepala Dinas, paling pindahnya di SMA terdekat. Sekarang, kalau dimarahi, pindahnya ke mana? Kutai Barat,” ucapnya terpingkal.
“Itu anak-anak, itu rakyat, tepat di
depan hidungnya Bupati/Wali Kota. Kenapa mesti diurusi Gubernur?” cecar dia meyakinkan bahwa UU Pemda memang harus direvisi.
Ini lah penataan otonomi daerah, “Yang saya kira perlu diubah,” tegasnya. (*)