KUTIM – Fraksi Partai Golkar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Timur (Kutim) mendesak pimpinan dewan dan Badan Kehormatan mengusut tuntas dugaan absensi fiktif dalam rapat paripurna virtual 21 November 2025
Dalam daftar hadir, sejumlah anggota fraksi tercatat mengikuti sidang, tetapi Golkar memastikan mereka tidak pernah masuk dalam rapat tersebut.
Golkar menilai pencatutan nama itu sebagai pelanggaran serius yang merusak legitimasi forum dan berpotensi menggugurkan keabsahan quorum.
Fraksi meminta data absensi dinyatakan tidak sah dan diperbaiki sesuai fakta. Mereka juga mendorong evaluasi menyeluruh terhadap sistem absensi rapat daring agar akuntabilitas lembaga tetap terjaga.
Sorotan itu disampaikan Kari Palimbong, melalui Pandangan Umum terhadap Nota Keuangan RAPBD Kutim 2026 pada rapat paripurna, Senin (24/11/2025).
Dalam kesempatan tersebut, fraksi turut mengajukan serangkaian kritik terkait prediktabilitas anggaran daerah.
Golkar menyoroti perubahan signifikan proyeksi KUA-PPAS 2026, dari Rp4,86 triliun menjadi Rp5,73 triliun pada tahap akhir pembahasan.
"Perbedaan mencolok tanpa waktu uji tuntas yang memadai dianggap menimbulkan asimetri informasi antara TAPD dan legislatif, sehingga fungsi pengawasan DPRD berpotensi hanya menjadi formalitas," jelasnya.
Struktur pendapatan daerah turut mendapat catatan. Dari total estimasi pendapatan Rp5,73 triliun, komponen Pendapatan Transfer mencapai 90,86 persen atau Rp5,21 triliun, sementara PAD hanya Rp431,8 miliar.
Golkar menilai ketergantungan ekstrem ini menunjukkan rendahnya kemandirian fiskal Kutim dan meminta pemerintah membuat strategi diversifikasi pendapatan yang konkret.
Fraksi Golkar mengkritisi dominasi Belanja Operasi yang mencapai Rp3,37 triliun dalam RAPBD 2026. Bila tidak menghasilkan output yang berdampak pada kualitas SDM dan pelayanan publik, pos ini dinilai berpotensi menjadi belanja rutin–konsumtif. Penyertaan modal Rp25 miliar kepada BUMD juga ditegaskan harus memiliki target ROI dan indikator kinerja yang jelas.
Isu paling teknis dan dinilai krusial adalah penggunaan Kontrak Tahun Jamak (MYC) pada belanja infrastruktur. Golkar menyebut keberadaan MYC tidak memiliki landasan hukum karena Perda MYC belum disahkan.
Tanpa payung hukum, komitmen pembayaran tahun 2027 dan seterusnya dianggap sebagai “komitmen fiktif” yang rawan sengketa dan melanggar asas legalitas. Tidak adanya rincian proyek MYC dalam nota keuangan juga dinilai menabrak prinsip transparansi.
Fraksi Golkar menilai MYC berpotensi menciptakan kekakuan fiskal yang membatasi ruang anggaran ketika kebutuhan mendesak muncul, meski pos Belanja Tidak Terduga dialokasikan Rp20 miliar.
Golkar meminta pemerintah menunggu pengesahan Perda MYC sebelum menjalankan proyek multi-year, menyertakan rincian proyek serta analisis risiko dalam pembahasan RAPBD, serta melakukan efisiensi Belanja Operasi. Penyertaan modal BUMD, lanjut fraksi, harus dilengkapi KPI dan target ROI.
Fraksi Partai Golkar menyatakan tetap menyetujui Nota Keuangan RAPBD Kutim 2026 untuk dibahas lebih lanjut sesuai mekanisme pembahasan anggaran.(adv)










