Penulis: Fikri Salim Azizi, Mahasiswa UIN Saizu Purwokerto
KATAKALTIM — Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk membangun peradaban. Ungkapan Nelson Mandela itu seakan menemukan relevansinya kembali saat pemerintah Indonesia menetapkan Revitalisasi Sekolah sebagai program prioritas nasional.
Sebab, kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh kurikulum atau metode pembelajaran, melainkan juga oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang layak.
Bagaimana mungkin kita berharap lahir generasi unggul, bila anak-anak belajar di ruang kelas yang atapnya bocor, toilet tidak berfungsi, atau laboratorium yang tak pernah bisa dimanfaatkan dengan baik?
Melalui Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025, pemerintah berkomitmen melakukan percepatan revitalisasi sekolah.
Tahun 2025 menjadi tonggak penting, sebanyak 10.440 satuan pendidikan ditargetkan mendapat sentuhan perbaikan, baik di tingkat PAUD, SD, SMP, maupun SMA. Bahkan jika dihitung bersama madrasah, jumlah yang disentuh program ini mencapai 13.000 sekolah dan madrasah.
Angka itu memang belum menjawab seluruh
kebutuhan karena menurut Data Pokok Pendidikan (Dapodik) masih ada sekitar 980 ribu ruang rusak sedang hingga berat, tetapi langkah ini memberi pesan tegas dimana negara hadir untuk memastikan setiap anak Indonesia berhak atas ruang belajar yang layak dan nyaman.
Revitalisasi sekolah tidak berdiri di ruang hampa. Fokus utama diarahkan pada ruang-ruang vital, yaitu kelas, ruang guru, ruang administrasi, perpustakaan, toilet, laboratorium, dan Unit Kesehatan Sekolah (UKS).
Semua itu adalah simpul-simpul penting dalam proses pembelajaran. Sebuah kelas yang layak dengan pencahayaan cukup, toilet yang bersih, hingga laboratorium yang memadai bukan hanya fasilitas fisik, melainkan prasyarat psikologis bagi tumbuhnya minat belajar dan budaya akademik di sekolah. Selain memperbaiki kerusakan, revitalisasi juga membuka akses baru.
Pembangunan ruang kelas baru dan penyediaan fasilitas standar nasional pendidikan diarahkan untuk menjawab lonjakan kebutuhan pendidikan, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) yang selama ini kurang tersentuh pembangunan.
Besarnya komitmen ini tercermin dalam alokasi anggaran sebesar Rp17,1 triliun yang digelontorkan pada 2025. Anggaran ini sebelumnya dikelola Kementerian Pekerjaan Umum, kini dialihkan ke Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen).
Pergeseran itu bukan tanpa alasan. Pemerintah ingin agar pengelolaan dana lebih dekat dengan kebutuhan sekolah, lebih transparan, serta lebih partisipatif. Dana tersebut bukan hanya deretan angka, melainkan amanah publik.
Karena itu, mekanisme yang dipilih adalah swakelola, uang ditransfer langsung ke rekening sekolah, lalu dikelola secara mandiri oleh satuan pendidikan bersama masyarakat. Model ini bukan eksperimen baru.
Selama lebih dari dua dekade, pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sudah menjadi ruh pengelolaan pendidikan. Kini, semangat itu diperkuat lagi agar revitalisasi sekolah tidak hanya melahirkan bangunan baru, tapi juga menumbuhkan gotong royong.
Agar proses berjalan sesuai aturan, setiap sekolah membentuk Panitia Pembangunan
Satuan Pendidikan (P2SP). Anggotanya terdiri dari kepala sekolah, guru, komite, orang tua
siswa, dan masyarakat.
Bahkan di beberapa daerah, orang tua ikut membantu mengecat ruang kelas atau membangun pagar sekolah. Dari sini tumbuh rasa kepemilikan (sense of belonging) yang penting untuk keberlanjutan pemeliharaan sekolah. Selain itu, sekolah tidak dibiarkan bekerja sendiri.
Ada pendampingan teknis dari perguruan tinggi, dinas pendidikan, serta tenaga ahli konstruksi yang direkrut kementerian. Tujuannya jelas untuk menjaga mutu, mencegah penyimpangan, dan memastikan pembangunan sesuai standar.
Salah satu kritik terhadap program besar pemerintah adalah kerentanan terhadap praktik kecurangan. Pemerintah tampak sadar akan hal ini.
Karena itu, jalur pengawasan diperkuat dengan laporan keuangan wajib disusun bertahap, mekanisme pengaduan dibuka melalui hotline 177, posko pengaduan, hingga email resmi.
Bahkan sanksi tegas menanti bagi sekolah
yang melanggar, mulai dari teguran, pengembalian dana, hingga blacklist penerima bantuan.
Prinsip ini sangat penting. Revitalisasi sekolah tidak boleh tercederai oleh praktik KKN. Ia harus menjadi wajah baru birokrasi pendidikan yang bersih, transparan, dan berpihak pada kepentingan anak.
Perlu diingat, revitalisasi sekolah bukan perihal bangunan semata. Ia adalah strategi menyeluruh membangun SDM unggul.
Pemerintah menautkan program ini dengan agenda lain, penguatan karakter siswa melalui 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, transformasi guru lewat PPG massal dan beasiswa RPL, hingga digitalisasi ruang kelas dengan smart classroom.
Semua ini saling terkait: sarana yang baik, guru yang berdaya, dan siswa yang berkarakter akan melahirkan generasi emas yang siap bersaing secara global.
Revitalisasi sekolah adalah investasi peradaban. Ia membangun ruang kelas sekaligus membangun harapan.
Ia menghadirkan toilet yang layak sekaligus menjaga martabat anak- anak bangsa. Ia melibatkan masyarakat sekaligus menggerakkan ekonomi lokal.
Oleh karena itu, revitalisasi sekolah tidak boleh dilihat sebagai proyek lima tahunan. Ia adalah tanggung jawab kolektif pemerintah pusat, daerah, perguruan tinggi, dunia usaha, hingga masyarakat.
Hanya dengan kolaborasi lintas sektor, pendidikan bermutu untuk semua bisa menjadi kenyataan.
Revitalisasi sekolah adalah janji masa depan. Mari kawal bersama, agar janji itu tidak berhenti di atas kertas, tapi benar-benar hadir di ruang-ruang kelas tempat anak-anak kita menata mimpinya. (*)












