Penulis: Naufal Ahmad Afifi (Pengamat Ekonomi dan Pendidikan Jabodetabek Raya)
KATAKALTIM — Tes Kemampuan Akademik (TKA) bukan sekadar instrumen penilaian. Ia adalah respons konkret terhadap kesenjangan evaluasi capaian belajar antarsekolah yang telah lama terjadi di Indonesia. Selama ini, nilai rapor menjadi acuan utama dalam seleksi pendidikan lanjutan. Namun, nilai 90 di satu sekolah tidak bisa serta-merta disamakan dengan nilai yang sama di sekolah lain. Tidak adanya tolok ukur yang terstandar secara nasional menyulitkan institusi pendidikan untuk melakukan seleksi secara objektif dan adil.
TKA hadir sebagai pemecah kebuntuan tersebut. Dengan instrumen tes yang dikembangkan secara nasional, hasil TKA memberikan gambaran objektif dan terstandar terhadap kemampuan akademik siswa. Artinya, seleksi berbasis prestasi menjadi lebih akuntabel, tidak lagi semata bertumpu pada rapor yang kerap tidak sebanding antar-satuan pendidikan. Menurut data Kemendikbudristek, lebih dari 65% sekolah di Indonesia masih mengalami kesulitan menyusun sistem evaluasi capaian belajar yang mampu diukur lintas sekolah.
Selain itu, kehadiran TKA juga dapat menjadi katalisator penguatan kualitas ujian sekolah. Sekolah-sekolah yang konsisten dan jujur dalam melaksanakan evaluasi akan cenderung menunjukkan korelasi kuat antara hasil ujian sekolah dan TKA. Sebaliknya, jika terjadi ketimpangan mencolok, itu bisa menjadi alarm agar pihak sekolah meninjau ulang sistem pembelajaran dan penilaiannya.
Dasar yuridis pelaksanaan TKA tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sementara pendekatan filosofisnya berpijak pada gagasan bahwa pendidikan harus inklusif, terukur, dan akuntabel. Secara historis dan sosiologis, Indonesia memerlukan sistem evaluasi yang tidak hanya terpusat pada angka, tapi juga berkeadilan. TKA menjadi jawaban dari tantangan ini.
Kolaborasi Lintas Sektor: Menghindari Sentralisasi, Menghidupkan Kepemilikan Daerah
Dalam pelaksanaannya, TKA tidak hanya dikembangkan oleh pusat. Khusus untuk jenjang SD dan SMP, pemerintah pusat berkolaborasi dengan pemerintah daerah dalam merancang instrumen soal. Ini bukan hanya persoalan teknis penyusunan soal ujian, melainkan bentuk nyata dari desentralisasi pendidikan yang sehat. Melibatkan pemerintah daerah dalam proses penyusunan instrumen memberi ruang bagi pengayaan konteks lokal dan membangun rasa memiliki yang lebih besar terhadap kebijakan ini.
Sebagai contoh, pada 2023, lebih dari 380 kabupaten/kota terlibat dalam penyusunan dan pelatihan perangkat TKA. Kolaborasi ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak bisa dikerjakan oleh pusat semata, melainkan harus bersifat gotong royong. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, guru, dan masyarakat perlu duduk bersama untuk memastikan sistem ini berjalan efektif dan adaptif terhadap konteks daerah masing-masing.
Keterlibatan lintas sektor ini juga memperkuat posisi TKA sebagai bagian dari upaya kolektif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pusat dan daerah. Oleh karena itu, sinergi antarpemangku kepentingan bukan hanya idealisme, tetapi kebutuhan struktural. Komitmen ini selaras dengan arah kebijakan nasional yang menargetkan peningkatan angka partisipasi murni (APM) jenjang SMA/SMK dari 62% (2021) menjadi 70% pada 2025.
Menuju Pendidikan Bermutu dan Berkarakter
Salah satu keunggulan utama dari TKA adalah pendekatannya yang tidak menekan guru dan siswa. TKA tidak menentukan kelulusan, melainkan menjadi pelengkap penilaian sekolah. Guru tetap menjadi aktor utama dalam mengevaluasi muridnya. Dengan begitu, TKA tidak menggantikan, tetapi memperkuat sistem yang sudah ada. Kehadiran TKA juga memberi cermin bagi guru untuk melihat sejauh mana integritas evaluasi yang mereka lakukan selama ini.
Tantangan selanjutnya adalah memastikan bahwa TKA tidak menjadi momok baru seperti halnya Ujian Nasional di masa lalu. Namun, hal ini dapat dihindari melalui komunikasi publik yang jernih dan masif. Pemerintah perlu memastikan bahwa TKA disosialisasikan sebagai alat bantu, bukan beban tambahan. Penekanan bahwa TKA tidak bersifat wajib dan hanya menjadi referensi dalam seleksi akademik perlu terus dikampanyekan.
Tak kalah penting adalah kesetaraan akses. Murid dari latar belakang ekonomi lemah sering kali berada pada posisi kurang diuntungkan dalam menghadapi tes seperti ini. Oleh karena itu, pemerintah harus menyiapkan sistem dukungan, termasuk modul belajar gratis, platform pembelajaran daring, hingga program pendampingan belajar berbasis komunitas. Saat ini, Kementerian mencatat bahwa baru 48% siswa dari sekolah menengah di daerah tertinggal yang memiliki akses cukup terhadap bahan belajar berbasis digital.
Melalui pendekatan kebijakan yang inklusif, TKA justru berpotensi menjadi jembatan penguatan karakter siswa. Murid tidak lagi hanya menghafal materi, tapi juga ditantang untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis, problem solving, dan literasi dasar. Ini sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka yang menekankan pada capaian kompetensi, bukan sekadar hafalan.
Komitmen pemerintah dalam menjalankan kebijakan strategis pendidikan tercermin dalam beberapa program prioritas Kemendikdasmen, seperti perluasan Program Indonesia Pintar, digitalisasi sekolah, serta peningkatan kompetensi guru melalui Platform Merdeka Mengajar. Semua ini saling terkait dalam menciptakan pendidikan bermutu dan berkarakter untuk semua.
Penutupnya, TKA bukan sekadar alat ukur, melainkan bagian dari upaya membangun kepercayaan terhadap sistem evaluasi capaian belajar yang adil dan berintegritas. Ia hadir tidak untuk menggantikan peran guru, tetapi mendukungnya. Ia bukan alat seleksi yang menyiksa, tetapi referensi objektif yang memberi keuntungan bagi siswa dan lembaga pendidikan. Melalui pelibatan lintas sektor, pemanfaatan data kuantitatif yang terstandar, dan penguatan karakter siswa, TKA bisa menjadi titik tolak menuju sistem pendidikan nasional yang inklusif, adil, dan bermutu.
Dengan arah kebijakan yang tepat, dukungan semua pihak, serta komunikasi publik yang terus-menerus, Indonesia dapat memastikan bahwa TKA bukan hanya alat teknis, tetapi tonggak penting dalam peradaban pendidikan kita yang lebih baik. TKA hadir bukan sebagai beban, tetapi sebagai pijakan untuk melompat lebih tinggi dalam membangun generasi masa depan yang cerdas, adil, dan berkarakter.
Penutup
Tes Kemampuan Akademik (TKA) hadir bukan untuk menggantikan peran guru atau memonopoli evaluasi pembelajaran, melainkan memperkuat ekosistem pendidikan yang transparan, terukur, dan kolaboratif. Dalam konteks pendidikan karakter, TKA bisa menjadi refleksi sejauh mana sekolah menjunjung nilai kejujuran, objektivitas, dan akuntabilitas.
Jika diimplementasikan secara bijak, TKA akan mendorong satuan pendidikan untuk terus memperbaiki proses pembelajarannya, bukan hanya mengejar skor tinggi, melainkan membangun kualitas pembelajaran yang adil dan bermutu. Kolaborasi lintas sektor pun menjadi elemen penting agar kebijakan ini tidak terkesan top-down, melainkan lahir dari semangat gotong-royong antara pemerintah pusat, daerah, sekolah, guru, hingga orang tua siswa.
Maka, TKA bukan sekadar alat ukur akademik. Ia bisa menjadi jembatan menuju pendidikan yang lebih berkarakter, lebih bermakna, dan lebih siap menjawab tantangan zaman. Pendidikan bermutu adalah tanggung jawab kolektif—dan TKA bisa jadi titik tolak yang membawa kita ke sana. (*)













