Payload Logo
8-468820251125185927603.jpg
Dilihat 0 kali

Ilustrasi (dok: freepik)

OPINI: World News Day untuk Jurnalis atau Buzzer Politik?

Penulis: | Editor: Agu
29 September 2025

Penulis: Afizah Nur Afkarina (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman)

KALTIM — September Hitam belum usai, 28 September datang dengan ironi pahit yakni World News Day. Hari yang seharusnya merayakan kemenangan jurnalisme justru terasa seperti menari di atas kuburan media massa.

Saat buzzer politik merajai timeline dengan bayaran jutaan rupiah, wartawan profesional malah dipaksa bersaing dengan akun anonim yang tak punya tanggung jawab moral.

Kalau kita menengok situasi di Indonesia beberapa bulan terakhir, kita bisa melihat dengan jelas bagaimana media sosial jadi arena pertarungan narasi yang luar biasa panas.

Masih segar diingatan demonstrasi besar-besaran bulan Agustus sampai September 2025, Semua bermula dari rasa muak masyarakat terhadap sikap elite politik. Video anggota dewan berjoget di tengah situasi krisis, lalu disusul penyataan kontroversial soal gaji, langsung meledak di lini masa.

Sebagian masyarakat yang tadinya acuh pun pada akhirnya ikut panas. Apalagi setelah muncul kabar tragis tentang seorang pengemudi ojek online yang meninggal terlindas kendaraan taktis saat aksi. Detik-detik peristiwa itu viral di mana-mana, memicu solidaritas, sekaligus amarah tinggi.

Namun, hal yang membuat keadaan semakin runyam adalah hadirnya buzzer politik. Di Indonesia keberadaan buzzer politik dapat diketahui melalui akun-akun media sosial yang tidak memiliki identitas yang jelas dan kerap membuat narasi-narasi provokatif, intimidatif, dan cenderung pada narasi bombastis pada kelemahan atau kelebihan figur atau target politik.

Alih-alih membantu memperjelas informasi, mereka justru memperkeruh suasana dengan berbagai narasi tandingan. Ada yang mencoba meremehkan korban, ada yang sibuk mengalihkan isu, ada pula yang justru memperbesar provokasi. Intinya, buzzer mempermainkan emosi publik demi kepentingan politik tertentu.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana buzzer bukan lagi aktor kecil di pinggiran. Buzzer di sosial media juga dapat disebut sebagai opinion makers atas peran sentral dan sifatnya yang dinamis.

Mereka menampilkan informasi yang dibungkus melalui foto atau poster digital, video dan cerita yang didesain menarik dan mudah dipahami. Hal ini bertujuan agar netizen/masyarakat dunia maya melihat atau membacanya tertarik dengan sendirinya dan mengikuti nalar dari pembuat informasi atau buzzer.

Mereka memiliki jaringan, dana, dan sering kali bergerak rapi. Dan celakanya, ada media yang justru ikut terbawa arus. Alih-alih menegakkan standar jurnalistik, mereka menayangkan berita tanpa verifikasi, bahkan menuruti pesanan tertentu. Hasilnya, media yang seharusnya jadi jangkar kebenaran, malah jadi bagian dari mesin propaganda.

Inilah alasan kenapa World News Day harus kita maknai serius. Ada tiga hal penting yang perlu terus diingat. Pertama, media harus kembali ke prinsip dasar, yakkni akurat, verifikasi, dan independen. Publik butuh informasi yang bisa dipercaya, bukan kabar buru-buru yang hanya memancing klik.

Jika media terus-menerus mengejar sensasi, pada akhirnya mereka akan kehilangan kredibilitas. Dan begitu kredibilitas hilang, publik akan lari ke sumber informasi alternatif yang sering kali lebih berbahaya karena tidak punya standar etika sama sekali.

Bahkan yang menjadi lucu adalah saat masa Aksi Agustus-September 2025, banyak masyarakat yang justru melakukan report ke media-media internasional akibat dari hilangnya pergerakan media lokal (bisa jadi algoritma mereka tidak sampai atau kalah cepat dengan pergerakan buzzer)

Kedua, media harus berani menjaga jarak dari buzzer dan kepentingan politik. Media yang tunduk pada pesanan buzzer bukan lagi pers yang merdeka, melainkan corong propaganda. Kalau praktik ini terus berlanjut, publik akan semakin sulit membedakan mana berita yang asli, mana yang rekayasa.

Pada akhirnya, kepercayaan terhadap media bisa runtuh total. Ketiga, media memang perlu beradaptasi dengan era digital. Media sosial membuat informasi bergerak begitu cepat, dan media dituntut untuk responsif. Tapi adaptasi bukan berarti kehilangan misi.

Media tidak boleh sekadar jadi pabrik konten receh yang viral sesaat. Justru di tengah banjir informasi inilah publik semakin butuh liputan mendalam, investigasi, dan laporan yang benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat.

Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik sudah menegaskan bahwa kebebasan pers datang bersama tanggung jawab. Artinya, media bebas memberitakan apa saja, tapi tidak bebas menyebarkan kebohongan.

Pasal 2 UU Pers yang menyatakan kemerdekaan pers sebagai perwujudan kedaulatan rakyat yang berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Sayangnya, di lapangan sering kita lihat media yang lupa pada kewajiban ini karena tekanan bisnis atau kedekatan dengan kekuasaan, mereka mengorbankan prinsip jurnalisme.

Teman-teman bisa lihat sekarang ini banyak media pemberitaan yang hanya berisikan agenda pemerintah. Bahkan ada yang hanya berisi narasi "dewan a mengecam tindakan b" tanpa memberikan saran atau evaluasi nyata.

Sebagai masyarakat, kita pun punya peran. Literasi media penting supaya kita tidak gampang termakan isu palsu , jangan asal percaya hanya karena sesuatu viral. Kita perlu belajar memilah informasi, membandingkan sumber, dan lebih kritis.

Publik yang cerdas bisa jadi penekan agar media tidak semena-mena. Namun, tanggung jawab utama tetap ada pada media. Maka dalam momentum World News Day ini, seruan yang paling penting adalah media harus tetap tegak pada hukum pers dan kode etik jurnalistik.

Jangan tergoda engagement semu, jangan tunduk pada pesanan buzzer atau kekuasaan politik yang tidak etis. Media konvensional khususnya harus menjaga martabatnya, karena publik masih menganggap mereka sebagai sumber informasi yang lebih terpercaya dibanding jagat maya yang penuh kabut.

Kita perlu ingat sejarah panjang pers di Indonesia. Dulu pers pernah jadi alat propaganda rezim, pernah juga dibungkam dengan sensor. Reformasi 1998 membuka ruang kebebasan yang luas. Tapi kini, tantangannya berbeda, ancaman bukan lagi hanya dari represi negara, tapi juga dari dalam tubuh media itu sendiri.

Mulai dari orientasi pasar, polarisasi politik, dan jebakan clickbait. Kalau media gagal menjaga diri, kita bisa kembali pada masa di mana masyarakat kehilangan pegangan pada informasi yang benar.

Pada akhirnya, World News Day 2025 seharusnya jadi titik balik, media jangan hanya menjadi saksi sejarah, tapi harus berperan aktif menjaga akal sehat publik. Jurnalisme bukan sekedar pekerjaan, melainkan tanggung jawab sosial.

Kita butuh pers yang berani berkata "tidak" pada buzzer, pada pesanan politik, dan pada sensasi murahan. Kita butuh pers yang kembali teguh pada misinya untuk menyuarakan kebenaran, mengawasi kekuasaan, dan berpihak pada rakyat.

Jika media menyerah pada godaan klik/views dan pesanan politik, demokrasi kita yang jadi taruhannya. Tapi jika media tetap teguh, maka ia bisa jadi benteng terakhir melawan arus disinformasi. Pada akhirnya, masa depan demokrasi Indonesia akan sangat ditentukan oleh keberanian media hari ini. (*)