Bontang — Adalah Kota Taman, singkatan dari Kota Tertib, Agamis, Mandiri, Aman, dan Nyaman. Demikian sebutan Kota Bontang. Namun, berbagai persoalan kunjung datang.
Salah satu dari banyak masalah di Kota yang Aman itu adalah Perkara Ghaib. Demikian yang diutarakan Ketua Pengadilan Agama (PA) Kota Bontang, Nor Hasanuddin. Dirinya membeberkan masalah ini juga penting untuk dibicarakan dan diselesaikan.
Baca Juga: Bontang Kota Layak Anak? dr Fakhruzzabadi: Miris, Kita Harus Evaluasi
Perkara Ghaib, kata dia, merupakan perkara gugatan/permohonan yang terdaftar di PA, yang mana identitas alamat pihak Termohon/Tergugat tidak diketahui di seluruh wilayah Republik Indonesia.
“Ada fenomena menarik ni, itu Perkara Ghaib. Yaa mungkin karena banyak pendatang ya di sini. Itu (perempuan) ditinggal sampai 2 tahun nggak ada kabarnya itu (laki-laki). Yaaa ini di Kota Bontang kadang-kadang mencapai 10 sampai 15 perkara dalam satu tahun dari ratusan perkara perceraian,” beber Hasanuddin kepada katakaltim, Selasa (30/4).
“Jadi gini, mereka menikah ada anak satu, anak 2, lepas itu hilang dia (laki-laki). Enggak tahu rimbanya entah kemana. Setega itu dengan anaknya. Nahh untuk kasus ini, sidangnya ditunggu 4 bulan dulu, karena harus diumumkan dulu kan (mencari orang itu),” sambungnya.
Bahkan, dikatakan Hasanuddin, untuk kasus di Bontang ada beberapa yang tidak mengenal mertuanya. Hasanuddin pun menyayangkan bila ditemukan kasus demikian.
“Nahh di Bontang ini, ada yang kita ndak tau mertuanya, bahkan yang perempuan ndak kenal mertuanya. Jadi repot kan. Kasihan kan dia dan anaknya, siapa yang kasi tanggungan,” tuturnya lagi dengan nada menyayangkan.
Lebih jauh Hasanuddin juga membeberkan kasus semacam itu di Kabupaten Penajam. Dikatakannya bahkan melebihi perkara di Kota Bontang.
“Nahh waktu saya di Penajam, bahkan jauh lebih banyak lagi. Karena kayaknya banyak transmigrasi ya di sana. Waktu itu tahun 2018, dalam setahun bisa sampai 70-an perkara,” ungkapnya.
Karena itu ia berharap agar kasus seperti ini tidak lagi terjadi di mana pun. “Kita harapkan sekali tidak ada kasus begini,” katanya.
“Walaupun mungkin kasusnya sedikit, tapi kan bicara kemanusiaan, itu bukan melihat banyak dan sedikitnya, tapi melihat haknya. Artinya berbicara hak tidak bisa dibeda-bedakan, karena memang haknya kan,” pungkas dia. (*)