BONTANG -- "Ini adalah lompatan besar dalam hidup saya. Tak ada misi pribadi dalam lompatan ini. Saya hanya mengikuti kemauan kecil di dalam hati kecil ini. Kemauan kecil yang saya tahu nantinya akan berdampak sangat besar.”
Demikianlah yang disampaikan Udhin Dohang, sosok kritis yang hingga saat ini berani memperjuangkan hak-hak masyarakat.
Baca Juga: Sejumlah Warga Kelurahan Gunung Elai Keluhkan Dampak Pemasangan Drumpikon
Pernyataan itu ditegaskannya dalam satu kesempatan berbincang saat berkunjung ke rumahnya di Salebba, Bontang Utara.
Pria kelahiran Luwu, Sulawesi Selatan itu memang cinta akan diskusi. Kegemaran diskusinya ditunjukkan dengan cara menyulap halaman belakang rumahnya menjadi wadah perbincangan isu-isu penting menyangkut kebutuhan warga.
Melalui halaman belakang rumahnya itu lahir media Klik Bontang. Dari halaman belakang itu pula, organisasi Forum Jurnalis Bontang (FJB) mencuat. Udhin Dohang, adalah ketua pertama organisasi wartawan tersebut.
Di Bontang, Dohang adalah wartawan senior. Kota ini merupakan wilayah penugasannya yang kedua. Dia menjadi wartawan Tribun Kaltim melalui seleksi di kantor utamanya di Balikpapan.
Hanya satu bulan berkarir di sana, Dohang dipindahtugaskan ke Kutai Timur. Empat tahun di Sangatta, kemudian ia ditarik ke Bontang hingga saat ini.
Dohang memulai karir jurnalistiknya di Balikpapan, hanya beberapa bulan setelah menyelesaikan pendidikan strata satu di Jogjakarta.
Di Balikpapan, dia tinggal dengan kawan mahasiswanya di Manggar, Balikpapan Timur. Manggar merupakan kawasan pesisir di Balikpapan. “Di sana saya mendirikan lembaga advokasi nelayan bersama teman-teman,” katanya.
Bersama Aliansi Masyarakat Nelayan (AMN), dia mengadvokasi ribuan nelayan melawan pemerintah. Isu utamanya adalah coastal road. Pemkot Balikpapan ketika itu baru memulai proyek coastal road. Proyek itu akan melintasi wilayah pesisir. Nelayan di Manggar terkena imbas langsung.
Dari advokasi nelayan itulah dirinya berjumpa dengan Tribun Kaltim. Ketika itu dia berpikir, perlawanan yang dilakukannya tidak bakal maksimal bila tanpa penyebarluasan. Dia berhasil bergabung dengan Tribun Kaltim dan mulai menulis artikel tentang nelayan di Manggar.
“Perlawanan itu adalah cara saya merawat nalar. Ada ribuan nelayan yang terganggu dengan pekerjaan besar pemerintah itu. Harus ada solusi untuk mereka. Nalar menuntun saya untuk membela para nelayan itu,” tegasnya.
Merawat nalar adalah diksi yang kerap digunakan para aktivis untuk menyinggung pemerintah. Bila pemerintah melakukan aksi paksa, para aktivis akan mulai menggaungkan merawat nalar. Dimaksud untuk menyinggung pemerintah agar menggunakan nalarnya dalam bertindak.
Ketertarikannya dengan dunia jurnalistik dimulai sejak kuliah. Dia bergabung dengan organisasi pers mahasiswa dan menjadi pimpinan redaksi. Di kampus, bakat “cerewetnya” diasah. Dia menjadi sangat peka dengan sebuah isu. Dia tak pernah puas dengan jawaban.
“Hahaha, saya tahu orang itu berbohong dari jawabannya terhadap pertanyaan,” katanya. (*)