Payload Logo
y-899820251125184840319.jpg
Dilihat 378 kali

Pejabat Kutai Timur dan Kota Bontang (dok: kolase/agu/katakaltim)

Ulasan Lengkap Polemik Kampung Sidrap: Dari Andi Faiz Minim Etika Politik, hingga Ardiansyah Kehilangan Taktik

Penulis: Redaksi | Editor:
7 Agustus 2025

KATAKALTIM — Kampung Sidrap jadi rebutan. Sudah sejak lama persoalan ini tidak terselesaikan. Tidak tuntas. Tidak ada solusi. Sampai-sampai menjadi polemik basi.

Pemerintah Kota Bontang juga berkali-kali bolak-balik bertemu Mahkamah Konstitusi. Tentu saja pakai uang. Kan? Entah sudah habis berapa. Hitung saja sendiri. Mungkin cukup untuk nikah 17 kali lagi.

Walau begitu, sampai sekarang belum ada titik terang. Tapi mereka sudah mediasi pada akhir Juli 2025, Minggu lalu.

Mediasinya ramai-ramai. Di Jakarta lagi. Ujung-ujungnya survei lokasi. Katanya Agustus, minggu depan, mereka akan survei langsung.

Namun, setelah mediasi, sampai hari ini juga, para birokrat di Kutai Timur masih ogah sekali memberikan “sejengkal” tanah pun di kawasan Desa Martadinata itu.

Pemerintah Kota Bontang juga ngotot agar kawasan tersebut diserahkan oleh Kutai Timur. Katanya demi pelayanan. Supaya tambah maksimal. Dan masyarakat lebih sejahtera.

Polemik panjang ini barangkali sudah menjadi “stempel buruk” di atas lembaran sejarah dua “anak kandung” Kabupaten Kutai ini.

Belum lagi kebutuhan dasar warga Kampung Sidrap yang sangat mendesak. Dari sisi infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan dasar lainnya. Tahunan, bahkan bulanan, mereka selalu menjadi objek pembahasan.

Tanah sedikit itu berdekatan dengan dengan perusahaan raksasa di Indonesia, Pupuk Kaltim. Hampir bersentuhan dengan kediaman Wakil Wali Kota Bontang. Kalau tidak salah, tepat di belakang rumahnya.

Mungkin itu lah salah satu alasan Wakil Wali Kota paling getol, supaya Kampung Sidrap masuk dalam wilayah administrasi Kota Bontang.

Itu masih kemungkinan. Seperti biasanya, seorang tetangga yang sedang prihatin terhadap kehidupan tetangga lainnya.

Polemik Panjang: Andi Sofyan Takut Dituduh Bawa Perasaan

Polemik ini sejak zaman “Penguasa” pertama Kota Bontang, Andi Sofyan Hasdam. Saat ini dia duduk di kursi empuk DPD RI. Pun demikian, sesekali dia menyinggung masalah tapal batas ini.

Alasan dirinya tak meraung-raung menyuarakan polemik usang ini, takutnya dianggap hanya perkara perasaan, bukan aturan. Apalagi kemanusiaan. Karena memang Andi Sofyan adalah pasangan sejati Wali Kota Bontang saat ini, Neni Moerniaeni.

Meski begitu, sebelum Neni jadi orang nomor wahid di Kota Taman, Andi Sofyan mengaku sejak dulu prihatin terhadap warga Kampung Sidrap. Tentu saja lagi-lagi soal pelayanannya.

Andi Sofyan sampai sekarang masih heran. Dia sempat melontarkan pertanyaan sederhana: Kenapa Kutai Timur betul-betul tidak mau menyerahkan Kampung Sidrap. Padahal, wilayah yang dikomandoi Ardiansyah Sulaiman itu akan terbelah menjadi Kutai Utara?

Bahkan, informasi yang diperoleh redaksi, pemekaran Kutai Utara saat ini akan dibahas di meja Kementerian Dalam Negeri. Bahkan mau dibicarakan juga bersama Wakil Presiden RI, anak Jokowi.

Ada apa sebenarnya? Kenapa rencana pemekaran Kutai Utara bisa diamini oleh daerah induk (Kutai Timur)? Bahkan sudah disepakati oleh Bupati dan Ketua DPRD setempat?

Di samping itu, kawasan Kampung Sidrap yang diminta oleh Pemerintah Kota Bontang, yang diketahui luasnya tidak juga cukup 200 hektar, tidak bisa juga dapat diserahkan?

Apakah karena masalah gengsi? Demikian tanya Andi Sofyan, seraya meyakinkan bahwa tanah yang sedikit itu agar diberikan kepada Kota Bontang.

Pada kenyataannya, polemik ini berlangsung sejak dulu. Sejak lebih dari 20-an tahun lalu. Sesekali mencuat ke publik. Bikin panas para birokrat. Entah apa tujuan intinya. Emas? Berlian? Batu bara? Atau, atas dasar nurani manusia? Entahlah!

Saling Tanggap Wakil Rakyat

Sekarang redaksi mengajak sidang pembaca budiman meninggalkan dulu untuk sementara komentar dan pertanyaan Andi Sofyan. Ada baiknya menyimak beberapa tanggapan wakil rakyat dari kedua belah pihak.

Ketua DPRD Kota Bontang, Andi Faizal Sofyan Hasdam, sempat melayangkan pernyataan cukup kontroversial. Atau bahkan sangat kontroversial.

Dia meminta agar Wakil Rakyat Kutim banyak-banyak belajar. Bahkan Andi Faiz menilai pimpinan parlemen di Bukit Pelangi, Sangatta, tidak paham ber-DPR.

Dia juga menyeru Wakil Rakyat di sana turun langsung melakukan reses atau pertemuan agar mereka bisa menyerap aspirasi warga Kampung Sidrap. Biar tau apa masalah yang sebenarnya.

Kekesalan Andi Faiz itu mencuat usai mendapat informasi yang keluar dari mulut Ketua DPRD Kutim. Waktu itu adalah Joni. Politisi PPP. Ditemui pada Agustus 2024 silam di ruangannya.

Joni bilang, wacana tapal batas ini adalah dampak politik daerah. Selain niat memperluas wilayah, soal Kampung Sidrap kembali menggelinding lantaran ada momen tertentu seperti Pilkada dan Pileg.

Komentar Joni itu menyembul memang dalam masa-masa kampanye calon Kepala Daerah untuk kontestasi Pilkada November 2024.

Prinsipnya menurut Joni begitu. Bahkan Joni meminta agar masyarakat Sidrap tidak “buta mata” atas janji-janji politik yang dilontarkan oleh orang-orang Bontang. Intinya, ini hanya persoalan politik saja. Katanya sembari memasang wajah meyakinkan.

Tapi Andi Faiz membantah: Bahwa ini bukan soal apapun selain dari bentuk pelayanan kepada masyarakat Kampung Sidrap. Mereka butuh perhatian serius mengenai hak-hak dasar mereka.

Warga Sidrap bahkan sebagian besar ber-KTP Bontang. Ribuan. Ini menandakan masyarakat di sana memberikan hak demokrasinya untuk memilih para pejabat di Kota Bontang. Artinya, sebagian besar dari mereka mau sekali jadi warga Bontang seutuhnya.

Pun demikian, dari segala macam komentar tersebut, Andi Faiz meminta agar pihaknya di DPRD Bontang tidak “diadu banteng” dengan DPRD Kutim. Dia mau ada solusi jelas ihwal masalah ini.

Terhadap pernyataan Andi Faiz, jagat publik di Kutai Timur pun sontak. Agusriansyah Ridwan misalnya. Dia mantan DPRD Kutim, sekarang di Karang Paci, mewakili rakyat Kaltim. Dia menilai Andi Faiz cukup arogan.

Pasalnya, Andi Faiz mengomentari kinerja Pemkab Kutim. Katanya para birokrat Kutim kurang memerhatikan pembangunan di Sidrap.

Bahkan, Agusriansyah menilai sikap politisi Golkar itu sepertinya kurang memahami apa yang sudah dilakukan legislator Kutim, dan akhirnya meminta untuk melakukan reses di Kampung Sidrap.

Lebih jauh lagi, politisi PKS itu menyatakan Andi Faiz pada kenyataannya minim etika politik. Intinya Andi Faiz kembali harus belajar etika politik. Mengingat apa yang dikatakannya itu sangat provokatif.

Bahkan Agusriansyah menilai sikap Andi Faiz tersebut akibat dari kualitas pemahaman tentang bagaimana berpolitik.

Entah lah. Bagaimana standar etika politik menurut Agusriansyah. Apakah politik ala Aristoteles, Al-Farabi, atau Machiavelli?

Tapi memang, sepanjang penelusuran redaksi, Pemkab Kutim, dalam hal ini Ardiansyah Sulaiman, baru 5 atau 6 kali berkunjung langsung ke Kampung Sidrap.

Terakhir saat rombongan birokrat berbarengan dengan Satpol PP dan Badan Pertanahan Nasional Kutim, datang bagi-bagi 83 sertifikat tanah sambil curhat bersama warga di sana.

Bahkan, dalam pertemuan itu, kalau tidak salah pada Rabu 18 Juni 2025, Ardiansyah berjanji akan memekarkan wilayah tersebut, dengan julukan “Desa Pepaya”. Dia tegas mengaku sudah memberi perhatian kepada wilayah itu.

Ternyata rencana pemekaran itu terhambat. Alasannya, rata-rata warga di sana ber-KTP Bontang. Ada lebih dari 3.000-an orang.

Itu lah mungkin yang dinyatakan Andi Faiz, bahwa warga di sana cukup rela menyerahkan hak demokrasinya kepada birokrat Bontang.

Sama-sama Belajar lagi!

Tepat pada Senin 19 Mei 2025, Wakil Wali Kota Bontang Agus Haris mencak-mencak. Melayangkan komentarnya yang begitu pedas. Dialamatkan langsung kepada Bupati Kutai Timur, Ardiansyah Sulaiman.

Dia meminta supaya Ardiansyah belajar lagi ihwal pemerintahan. Lelaki yang tengah menjalani dua periodenya itu diminta agar paham-paham sedikit soal hukum.

Alasan Agus Haris meminta dia belajar lagi jelas. Sebab objek (Kampung Sidrap) yang sedang dalam proses sengketa, tidak bisa diapa-apakan. Apalagi ada wacana Kampung Sidrap ingin dimekarkan.

Di tengah uji materi Undang-undang, menurut Agus Haris, sebenarnya tidak boleh ada gerakan tambahan. Dalam hal ini, langkah Ardiansyah dinilai sudah keluar dari “jalur”.

Belum lagi komentar soal minimnya pemberian pelayanan terhadap warga Kampung Sidrap oleh Pemerintah Kutai Timur. Kenapa tidak dari dulu? Tanya Agus Haris.

Terhadap komentar pedas Agus Haris itu, para birokrat di Bumi Untung Benuah naik pitam. Mereka geram. Tidak selayaknya Agus Haris perintahkan Ardiansyah belajar lagi soal pemerintahan dan aturan.

Sebab diketahui, Agus Haris baru juga menjabat sebagai eksekutif. Tidak kalah berpengalaman dengan Ardiansyah, yang sudah puluhan tahun berkecimpung dalam dunia pemerintahan.

Komentar-komentar itu juga datang dari salah satu pimpinan KNPI Kutim. Mereka turut nimbrung. Mungkin sangat tidak menerima pernyataan Agus Haris yang menyuruh “junjungannya” kembali belajar lagi.

Bukan saja dari pemuda. Wakil Bupati Kutim, Mahyunadi, juga angkat bicara. Kritikannya memberondong Agus Haris pada Mei 2025 lalu.

Mahyunadi sangat tidak menerima. Bahkan dia sempat menyampaikan, sebenarnya para birokrat di Kota Bontang itu sedang “tidur” lelap. Tidak begitu paham dengan apa saja yang Kutim sedang lakukan.

Apalagi figur yang mengkritik Ardiansyah itu baru saja menjabat sebagai Wakil Wali Kota Bontang. Belum cukup satu tahun. Jadi komentarnya tidak begitu berpengaruh.

Terlepas dari itu, Mahyunadi menimpali, dan mengaku tegas bahwa pemerintah Kutai Timur sudah sangat serius memberi perhatian kepada Kampung Sidrap. Jangan dibilang tidak. Itu tidak menghargai namanya.

Beda dengan Mahyunadi, Ardiansyah Sulaiman saat ditemui redaksi di Sangatta, pada 20 Mei 2025 lalu, dia tidak begitu mau terlibat dalam polemik panas ini.

Apalagi menanggapi pernyataan Agus Haris yang menyuruhnya belajar lagi. Ardiansyah tidak mau. Itu urusan Agus Haris saja, katanya singkat sekali.

Pun demikian, Ardiansyah menerangkan sebenarnya tidak ada sengketa antara Bontang dan Kutim. Karena memang jelas secara de jure (tertulis), Kampung Sidrap adalah wilayah Kutim.

Bahkan, menurut Ardiansyah, malah Bontang lah yang ngotot ingin merebut wilayah itu. Jadi, sekali lagi, ini bukan sengketa seperti yang diklaim Agus Haris.

Tapi lagi-lagi birokrat Bontang bersikeras. Bahwa ini harus diselesaikan. Bahkan sudah berkali-kali ke Mahkamah Konstitusi. Terakhir pada Kamis 31 Juli 2025, mereka bertemu dengan jajaran Kutim di Kantor Perhubungan Jakarta.

Bontang ingin Kutim agar menyerahkan wilayahnya seluas 164 hektar. Kata Wali Kota Bontang, Neni Moerniaeni, ini untuk kemanusiaan. Untuk pelayanan kepada masyarakat.

Tapi, pertemuan itu menghasilkan kesimpulan agar lokasi Kampung Sidrap disurvei langsung oleh Gubernur Kaltim.

Setelah survei, Gubernur Kaltim akan menyerahkan hasilnya kepada Mahkamah Konstitusi. Mereka lah yang memutuskan “perkara” ini.

Meski begitu, Ketua DPRD Kutim, Jimmi, yakin sekali sejengkal pun tanah di Kampung Sidrap tak akan diserahkan.

Dia juga berjanji akan terus menyuarakan kesejahteraan kepada pemerintah untuk seluruh wilayah di Kutim.

Jimmi juga menyinggung Pemerintah Bontang dalam mediasi itu meminta Kutim agar secara ikhlas menyerahkan “secuil” wilayah Kampung Sidrap. Namun dia tegas. Tidak bisa!

Nyanyian Ardiansyah

Tanpa emas dan berlian, Kampung Sidrap akan terus dipertahankan Ardiansyah Sulaiman. Buktinya mereka dalam beberapa kesempatan berkunjung ke Kampung Sidrap. Memberikan perhatian kepada masyarakat.

Pun demikian, tampaknya Ardiansyah Sulaiman kehilangan taktik mengenai masalah ini. Mungkin juga sudah bosan dengan polemik ini.

Bahkan dalam kesempatan tertentu, dia menanggapinya dengan nyanyian. Lagunya enak. Mars Kutai Timur. Begini potongan liriknya:

Kutai Timur bumiku yang subur

warisan leluhur pusaka tercinta

Kan kujaga dan akan kubela

dan akan kubangun

makmur dan sentosa

Oh…Kutai Timur sumber kehidupan

kesejahteraan serta kemakmuran

Alasan itu lah yang membuat Kutai Timur tak ingin melepaskan sejengkal pun tanah di Kampung Sidrap. Mereka akan menjaganya. Membelanya. Memakmurkannya, hingga membuat warga sentosa.

Tak ada alasan lain. Ini harga diri. Katanya. Bahkan, tak ada kompromi. Dia mematuhi aturan dan nurani. Bukan gengsi. Regulasinya jelas. Kampung Sidrap milik Kutim.

Meskipun, pelayanan masih minim. Setidaknya itu menurut para politisi di Kota Bontang.

Tapi, kembali ke pertanyaan Andi Sofyan: Kenapa Kutim tak mau menyerahkan wilayahnya yang kecil itu? Sementara Kutai Utara sudah disetujui oleh mereka?

Mungkin karena konteksnya berbeda. Kutai Utara adalah pemekaran daerah. Sementara Kampung Sidrap adalah “perebutan wilayah”. Atau, di Kampung Sidrap ada apa? (*)