Payload Logo
PPU

Durajat, Kabid Paud dan Pendidikan Non Formal. (Dok: Berby/Katakaltim)

Disdikpora PPU Akui Implementasi MBG Mandiri Rumit, Terkendala Pola, Regulasi, dan Sarpras

Penulis: Berby | Editor: Afri
2 Desember 2025

PENAJAM — Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) mengakui bahwa pelaksanaan Menu Bergizi (MBG) Mandiri di sekolah-sekolah masih menghadapi banyak persoalan teknis dan regulasi.

Hal itu disampaikan langsung oleh Kepala Bidang Pembinaan Disdikpora PPU, Durajat, saat dimintai penjelasan terkait kesiapan daerah dalam menjalankan program tersebut.

Durajat menegaskan bahwa persoalan utama bukan pada kesiapan sekolah, melainkan pada pola pelaksanaan MBG Mandiri yang dinilainya tidak sejalan dengan mekanisme program pusat, yakni BGN (Badan Gizi Nasional).

“Kalau sekolahnya sih siap. Yang bikin bingung itu polanya. Tujuannya sama, tapi polanya beda. Kalau BGN jelas melalui SPPG, sementara di sekolah misalnya kantin terus siapa yang mengecek kesehatannya? Dinas kesehatan atau siapa? Pola yang berbeda itu yang membuat kami rumit,” jelasnya, Selasa (2/12).

Ia mengungkapkan salah satu kendala besar adalah anggapan bahwa kebutuhan sarana MBG Mandiri, seperti nampan dan perlengkapan penyajian, dianggap sebagai duplikasi anggaran. Hal ini membuat pengadaan tidak dapat dilakukan.

“Produknya dianggap duplikasi. Itu kendala yang sudah tidak bisa apa-apa lagi. Anggarannya yang harus siapkan tapaknya, nampannya itu saja belum ada,” ujarnya.

Durajat menyebut pihaknya sebenarnya telah mendapatkan akses aplikasi untuk memantau pelaksanaan MBG, termasuk daftar SPPG, lokasi, hingga nama penerima. Namun semua itu belum cukup tanpa kepastian regulasi.

“Nanti di aplikasi itu lengkap. Nama penerima, titiknya, pengelolanya. Tapi tetap saja, tanpa landasan aturan, kami tidak bisa bergerak,” katanya.

Masalah lain muncul saat membahas status sarana yang harus dibeli. Jika dibelikan untuk sekolah, hal itu dipersoalkan karena dianggap bukan aset sekolah. Jika dicatat sebagai aset dinas, fungsinya juga tidak tepat.

“Itu yang jadi persoalan. Nampan kalau dibeli aset siapa? Kalau aset sekolah, bapak saja menyimpan simpan. Kalau aset dinas, untuk apa kita nyimpan barang seperti itu? Sementara yang boleh punya hanya lapas. Kalau nanti diperiksa? Baru tambah ruwet,” tegasnya.

Ia menyebut opsi menyewa peralatan juga pernah dibahas, namun tidak mengatasi masalah.

“Sewa atau beli sama saja. Sewa mahal. Kalau beli, jumlahnya ratusan. Untuk apa nanti? Ini yang bikin persoalan semakin panjang,” ucapnya.

Durajat menegaskan bahwa persoalan terbesar adalah ketiadaan dasar hukum yang kuat. Jika Peraturan Bupati (Perbub) ditolak provinsi, maka juknis pun tidak bisa diterbitkan.

“Kalau perbubnya ditolak provinsi, bagaimana? Juknisnya siapa yang berani buat? Ini sebenarnya tujuannya untuk MBG Mandiri, saya paham. Tapi normatifnya tidak kuat,” katanya.

Ia menambahkan bahwa proses MBG dari pusat berjalan bertahap. Namun untuk MBG Mandiri, hitungan waktunya pun tidak efisien.

“Programnya hanya dua bulan. Dari 28 hari turun jadi 11 hari. Sementara pengadaannya seperti ini. Itu jadi persoalan,” ungkapnya.

Meski penuh kendala, Durajat menegaskan pihaknya tetap menjalankan tugas sesuai instruksi pimpinan.

“Karena itu perintah, ya kami jalankan. Saya tahu normatifnya seperti apa. Kalau ditugaskan, ya kami proses,” tutupnya. (Adv/Bey)