KUTIM — Pada ruang paripurna yang dipenuhi wajah serius dan tumpukan agenda, Fraksi Persatuan Indonesia Raya (PIR) hadir dengan satu pesan inti: APBD Kutai Timur (Kutim) 2026 bukan sekadar angka, melainkan cermin arah pembangunan yang harus dibaca dengan jeli dan dikawal dengan disiplin.
Dalam penyampaiannya yang padat dan terstruktur, fraksi ini menempatkan diri sebagai pengingat bahwa pertumbuhan daerah tidak lahir dari dokumen—tetapi dari ketepatan eksekusi.
Kata Sekretaris Fraksi, Baya Sargius, Struktur RAPBD 2026 memperlihatkan proyeksi pendapatan sebesar Rp5,73 triliun, disokong dominan oleh transfer pusat, sementara PAD masih bertahan pada kisaran Rp431 miliar.
Pada sisi lain, belanja ditetapkan melekat pada angka Rp5,71 triliun, dengan kebutuhan operasional yang tetap menjadi porsi terbesar.
Perimbangan ini menunjukkan ruang fiskal yang ketat—cukup untuk bergerak, namun tidak banyak memberi kelonggaran.
Justru pada titik inilah Fraksi PIR menarik garis sorot. Ia mengingatkan bahwa kualitas pengelolaan lebih penting daripada sekadar besaran alokasi.
"Efektivitas, harus dimulai sejak penyusunan Raperda hingga implementasi tahap akhir," jelasnya.
Sementara, transparansi, pengawasan, dan evaluasi berkala menjadi tiga pilar yang diminta untuk ditegakkan tanpa kompromi. Tujuannya, agar anggaran tak berhenti sebagai deret nominal di atas kertas.
Menurut PIR, percepatan penyelesaian proyek fisik harus beriringan dengan penyempurnaan manajemen belanja—bukan hanya untuk menstimulasi ekonomi, tetapi memastikan manfaat pembangunan benar-benar dirasakan masyarakat.
Mereka menegaskan pentingnya daya serap yang optimal, terutama agar efek berganda (multiplier effect) pembangunan dapat menggerakkan sektor lain di Kutim, dari desa hingga kota, dari pesisir hingga pedalaman.
Bagi PIR, sistem ini bukan sekadar perangkat administratif, tetapi simpul strategis yang menentukan kualitas perencanaan. SIPD yang bekerja setengah hati berarti data yang terputus, usulan reses yang tersesat, hingga laporan yang tak sinkron.
Dengan begitu, fraksi meminta pemerintah memastikan SIPD berjalan utuh—merekam seluruh usulan, menyatukan informasi pembangunan, dan menjadi basis pengambilan keputusan yang akurat.
Pada akhirnya, pandangan Fraksi Persatuan Indonesia Raya ini bukan sekadar daftar catatan, melainkan sebuah ajakan: agar APBD 2026 tidak hanya sah diparipurnakan, tetapi juga dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan masyarakat.
Di tangan pemerintah dan DPRD, kata mereka, anggaran tahun depan harus menjadi instrumen yang bekerja—bukan mengendap.
Di tengah roda politik dan administrasi yang kerap padat, suara PIR mengingatkan bahwa pembangunan daerah tidak boleh kehilangan arah.
Sebab ketika semua angka yang telah dijumlahkan, yang tersisa untuk diuji adalah keberpihakan: apakah APBD ini benar-benar kembali kepada rakyat. (Adv)










