Tampak anak-anak Palestina setelah Lebaran di Gaza (dok: eye.on.palestine)

Nestapa Perayaan Lebaran di Gaza, Tak Berjumpa Keluarga, Pesimis Keadaan Kembali Semula

Penulis : Agu
10 April 2024
Font +
Font -

Gaza -- Di masa damai, jalanan Gaza ramai saat perayaan Idul Fitri, diiringi lantang suara takbir tatkala masyarakat bersiap menyambutnya. Tahun ini tradisi tersebut tak akan ada lagi.

Di reruntuhan kota Gaza, pasar Al Remal dan Al Saha yang amat digemari, dulunya dipenuhi kerumunan orang berbelanja pakaian baru untuk anak-anak mereka, serta coklat dan permen Idul Fitri, namun kini keduanya benar-benar hancur, jalan-jalan diblok dan toko-toko pun masih tutup.

Tidak ada seorang pun yang hendak membeli, lantaran tak banyak dari mereka yang keluar dari rumahnya, kecuali untuk tugas berbahaya mencari pengiriman bantuan, di tengah krisis kelaparan yang terus-terusan.

Baca Juga: Palestina marah kepada Perusahaan karena mengizinkan warganya perang bersama Israel (foto: Reuters)Peru Izinkan Warganya Perang Bersama Israel di Gaza, Palestina Geram

“Idul Fitri adalah tentang anak-anak, dan Gaza telah kehilangan lebih dari 5.000 anak. Bagaimana kita bisa merayakan Idul Fitri? Bahkan jika tentara Israel mundur dari kota, hati kami dipenuhi kesedihan dan keputusasaan,” ungkap Mona Yousef, mengutip The National, Rabu (10/4).

Baca Juga: Ilustrasi masyarakat Arab (dok: darus.id)Makna dan Keutamaan serta Asal-usul Hari Raya Idul Fitri, Diambil dari Budaya Jahiliyah

Yousef (50) saat ini bermukim di rumah sahabatnya di lingkungan Al Nasser kota Gaza sejak rumahnya di Tal Al Hawa, Gaza selatan, dihancurkan pasukan Israel.

"Ada kesedihan dan keputusasaan di wajah masyarakat, dan mereka lebih banyak diam. Cucu saya, yang berusia 10 tahun, bertanya kepada saya apakah anak-anak di negara Arab lainnya merasakan hal yang sama dengan kami?” tanya dia.

Mohammed Aziz (10) tinggal bersama saudara perempuannya yang telah menikah di salah satu sekolah yang dikelola PBB di Jabalia, Gaza Utara, sejak kehilangan orang tuanya dan salah satu saudara laki-lakinya.

Kota kecil – yang sebagian besar merupakan kamp pengungsi – telah dibom secara besar-besaran oleh tentara Israel. Insiden itu menyebabkan banyak korban jiwa.

“Sebagian besar anak-anak di sekitar saya memiliki orang tua, dan saya merindukan ayah dan ibu saya. Ibu saya dulu mengajak saya membeli baju baru untuk Idul Fitri,” kata Mohammed.

Selama bulan pertama perang, Mohammed pergi membeli kentang untuk ibunya ketika rumah mereka hancur lebur dan orang tua serta saudara laki-lakinya terbunuh dalam serangan udara Israel.

Adiknya berusaha mengisi kekosongan yang ditinggalkan ibu mereka, namun kesulitan karena dirinya juga merindukan keluarga mereka di saat-saat sulit ini.

Hanneen Hinawi, pengungsi dari kota Gaza dan sekarang tinggal di tenda Rafah, kota paling selatan Gaza, menuturkan anak-anaknya memahami bahwa mereka sedang mengalami masa-masa sulit dan tidak bakal ada perayaan Idul Fitri di wilayah tersebut tahun ini.

“Saya membelikan biskuit Idul Fitri untuk mereka, karena mereka menyukainya dan ingin memakannya pada hari pertama setelah Ramadhan, seperti yang selalu mereka lakukan,” kata Hinawi kepada The National.

“Idulfitri adalah saat berkumpulnya keluarga, anak-anak bermain di taman, memberi mereka uang, dan membeli mainan, namun mereka telah merampas kebutuhan dasar kita," tambahnya.

Ibu Hinawi, yang tinggal di tenda bersama suami dan dua anaknya, terpisah dari keluarganya, dan anak-anaknya tidak berjumpa dengan sepupu mereka selama enam bulan.

Ia mengatakan, apa yang mereka inginkan hanyalah berkumpul dengan teman dan kerabat mereka di Gaza.

“Semangat kami lelah dan kami tidak sanggup lagi menanggung situasi ini. Kami dulu sangat menikmati semua perayaan, namun sekarang yang bisa kami fokuskan hanyalah terus menjalani hidup kami," ucapnya.

Umm Hassan Al Massri (65) bersikeras memasak somakia dan membagikannya ke tetangganya di Deir Al Balah, Gaza tengah.

Somakia merupakan makanan tradisional yang kerap dimasak warga Gaza pada hari terakhir Ramadan dan disantap di hari pertama Idulfitri.

“Saya biasa memasak somakia setiap Idulfitri, dan saya akan terus melakukannya, tapi tanpa daging karena harga daging sekarang terlalu mahal,” kata Al Massri kepada The National.

Sekitar 20 anggota keluarganya tinggal di rumahnya, terpaksa mengungsi dari wilayah lain di Gaza. “Ini bukan pertama kalinya kami tidak merayakan Idul Fitri. Kami sudah terbiasa dengan situasi ini, kami kehilangan kegembiraan. Setiap rumah tangga dan keluarga telah kehilangan selama perang ini,” kata Al Massri.

“Bahkan ketika perang berakhir, hidup kami tidak akan kembali seperti semula," ungkapnya. (*)

Font +
Font -