KUTIM — Asisten Administrasi Umum Setkab Kutim, Sudirman Latif, menyampaikan problem pendidikan yang kini dihadapi, khususnya di Kutim.
Selain kualifikasi guru, Sudirman Latif menilai juga dari sisi jumlah guru. Awalnya memang Kutim kekurangan guru, namun sering berjalan waktu, guru semakin banyak
“Dari segi jumlah guru. Kedua soal kualifikasi. Di awal memang kita masih banyak kekurangan. Karena banyak sekolah yang dibangun,” Sudirman Latif kepada katakaltim di Sangatta, Senin (25/11/2024).
Baca Juga: Ingin Perjuangkan Sektor Perkebunan dan Pertanian Kutim, Yusri Yusuf Minta Duduki Komisi B
Dirinya menilai bahwa pertambahan jumlah penduduk di Kutim berbeda dengan daerah lain. Karena itu, jumlah guru juga semakin bertambah.
Baca Juga: Pjs Bupati Kutim Tekankan Akurasi Data Merupakan Pondasi Perencanaan dan Pelaksanaan Program
“Kenapa, karena pertambahan jumlah penduduk di Kutim agak berbeda dengan daerah lain. Jadi jumlah pertambahan penduduk itu juga harus diiringi dengan meningkatnya jumlah sekolah,” terangnya.
Lebih jauh Sudirman Latif mengatakan bahwa selain penambahan sekolah, dukungan sarana prasarana juga sangat penting.
“Di samping jumlah sekolah, sarana prasarana juga harus didukung. Itulah sebabnya Pemkab Kutim mengambil kebijakan mandatory spending terkait dengan anggaran 20 persen,” tukasnya.
Sudirman mengaku bersyukur lantaran Pemkab Kutim telah melaksanakan kewajiban tersebut untuk memenuhi dan menumbuhkan kualitas pendidikan.
“Alhamdulillah sudah terlaksana. Tinggal pos-pos-nya apa saja yang dibutuhkan. Kemudian jumlah personel guru memang harus dihitung berdasarkan analisis kebutuhan. Berdasarkan rombong belajar,” katanya.
Misalnya, kata dia, sekolah harus dihitung berapa kelas paralelnya. Kalau sekolah itu punya 6 kelas, berarti relatif guru yang dibutuhkan adalah 6 guru kelas. “Lalu kemudian ada guru penjas. Lalu guru agama. Itu minimal,” ucapnya.
“Itulah sebabnya saya berharap di dalam pemenuhan kebutuhan guru di Kutim tidak hanya berdasarkan jumlah penduduknya. Karena ada sekolah yang jumlah muridnya tidak berjumlah maksimal,” sambungnya.
Misalnya di wilayah terpencil yang jumlah muridnya mungkin hanya beberapa orang. Sehingga, kata Sudirman, ini tidak boleh digabung.
“Sehingga saya dulu mengusulkan agar kebutuhan guru tidak hanya mengacu kepada jumlah murid, tetapi berdasarkan kebutuhan rombong belajarnya,” imbuhnya. (Adv)